Minggu, 31 Januari 2016

Dear Past,

0

Dear past,

Sore ini aku memikirkan siapa yang akan kukirimi surat cinta untuk pertama kalinya. Belum terpikirkan satu namapun. Jadi aku memutar otak untuk sedikit nyeleneh, membuat surat cinta untuk sesuatu yang abstrak. Lalu, terlintaslah kamu, masa lalu.

Di pikiranku, aku bahkan belum memilih masa lalu yang mana yang akan aku kirimi surat ini. Yea, you know, i mean, masa lalu berarti luas sekali kan. Kemarin itu masa lalu, 24 tahun yang lalu itu juga masa lalu. Jadi, jangan marah kalau aku akan menyamaratakannya saja semua. Biar lebih singkat.

Pertama aku ingin ucapkan terima kasih padamu, karenamulah aku bisa ada di titik yang sekarang. Berdiri dengan dua kakiku sendiri, mandiri. Kamu memang sudah menempaku sedemikian keras. Mendidikku dengan harapan, dan entah bagaimana caranya kamu berhasil membuatku untuk terus bersemangat dengan harapan-harapan itu, sejak dulu. Sejak aku hanyalah anak kelas 1 SD yang menangis gara-gara jatuh dijegal temanku, kemudian jadi murid pindahan di sekolah baru dan langsung jadi kesayangan guru-guru, lalu mulai berani menjajal ikut organisasi ketika SMP, makin sering ikut kepanitiaan saat SMA, dan puncaknya adalah berani mengikuti seleksi pengurus HIMA waktu kuliah, dan sampai saat ini, berjuang di tanah rantauan.

Kamu tahu, aku kadang bete kalau orang-orang berkomentar "Ah anak tunggal, pasti kamu dimanja ya.", ada juga yang bilang "Ah anak tunggal, udah nggak usah pusing mikirin modal nikah berarti", atau bahkan "Ya ampun, anak tunggal kok kerjanya jauh amat sampai Jakarta segala".

Simply just because, aku bukanlah versi anak tunggal yang mereka bicarakan. Tapi aku cuma membalasnya dengan senyuman.

Sudahlah, tidak semua perjuangan harus dikisahkan, dan tidak semua kisah juga harus diceritakan, kan? Intinya aku ingin berterimakasih karena kamu membuatku makin kuat dari hari ke hari.

Selanjutnya, hmm, apa lagi ya. Mmm, mungkin permintaan maaf. Maaf kalau aku menjalanimu dengan kurang sempurna. Ah, tapi kutebak kamu pasti paham, kamu kan saranaku untuk belajar. Aku membuat kesalahan, dan itu membuatku belajar ke depannya. Akan begitu untuk seterusnya.

Oh iya, kamu tak usah takut aku melupakanmu. Kuberi tahu ya, aku punya long term memory yang kadang membuatku susah sendiri. Aku susah sekali lupa sama yang namanya masa lalu. Apalagi orang-orang yang ada di dalamnya. Aku jadi bingung harus bersyukur atau bagaimana.. *sigh*

Baiklah, mungkin surat kali ini aku cukupkan saja. Kamu tetaplah di tempatmu, ya. Aku akan menengok, mungkin sesekali saja. Jangan marah, aku kan memang harus fokus pada apa yang ada di depan nanti. Oke? :)



Sincerely,
Aulia

Sabtu, 30 Januari 2016

(another) Untitled

0

Ada satu senja yang ingin kulewatkan
Ada saat hujan yang tak mau kunikmati terlalu lama
Ada nyanyian yang sengaja tak lagi kuputar ulang

Karena semua membawa ke satu ingatan
Sementara cerita membawa kita berlainan arah

Kamis, 28 Januari 2016

Book Review: Rencana Besar by Tsugaeda

2


pict taken from goodreads.com



Belum lama ini saya menuntaskan baca buku ke dua-nya Tsugaeda, lalu karena penasaran akhirnya memutuskan untuk segera baca buku pertamanya yang berjudul Rencana Besar. Novel Rencana Besar masih punya nafas yang sama dengan Sudut Mati, yaitu konfliknya sekitaran masalah korporasi. Kalau sudah baca Sudut Mati, di sana disebut-sebut nama sebuah Bank, namanya Universal Bank of Indonesia atau disingkat UBI. Nah, di novel Rencana Besar ini, saya jumpa lagi dengan UBI, tapi bukan hanya sebagai setting sampingan, malah, UBI dalam novel ini menjadi keseluruhan nyawa.

Dikisahkan UBI sedang diguncang kasus hilangnya sejumlah uang dari pembukuan perusahaan secara misterius. Setelah melalui penyelidikan rahasia, diperoleh tiga nama yang diduga menjadi tersangka, Rifad, Reza, dan Amanda. Ketiga pegawai itu memiliki karakter yang sangat berbeda satu sama lain. Reza pegawai yang sedang mengalami demotivasi, Amanda adalah pegawai teladan nan cemerlang karirnya, sementara Rifad adalah pemimpin Serikat Pekerja UBI yang kharismatik dan punya ribuan pengikut setia. Kasus yang awalnya sepele, ternyata punya latar belakang yang amat rumit. Perjuangan bertahun-tahun untuk sebuah pengungkapan. Dengan kata lain, kasus uang raib itu hanyalah kasus pembuka.

Membaca novel ini, saya kembali dibuat terkagum-kagum oleh Tsugaeda. Menurut saya, berbeda dengan Sudut Mati yang gaya penceritaannya cepat, Rencana Besar memiliki ritme yang naik turun. Ritme akan sangat lambat di bagian awal, makin cepat hingga (seperti) klimaks di bagian tengah, lalu saya diajak untuk slow down memahami latar belakang konflik yang terjadi. Novel ini membuat saya belajar sabar. Dengan alur maju-mundur, setiap konflik dalam novel ini dapat dipahami dengan baik, nyata, dan sangat rasional.

Sepertinya sudah menjadi ciri khas Tsugaeda, menciptakan banyak tokoh, konflik yang njelimet, dan menghadirkan letupan-letupan kejutan yang membuat pembacanya tak sabar untuk menuntaskan halaman demi halaman dalam sekali baca saja. Lagi-lagi saya memundurkan waktu tidur karena baca novel ini, haahaha. I think you'll do the same thing with me when you got this book on your hand :p

Tidak ada cara lain memecahkan kasus dalam Rencana Besar, selain menuntaskan bukunya sampai halaman akhir. Pelakunya benar-benar unpredictable! Anyway, novel ini adalah novel ke dua setelah 5 cm, yang bisa membuat saya terhanyut sampai merinding haru. Di bagian mananya? Kalian harus baca sendiri untuk tahu di bagian mananya! :D

Harus saya katakan, sekarang Tsugaeda menjadi salah satu penulis yang saya nantikan karya-karyanya kedepan nanti.. :D

Sabtu, 23 Januari 2016

Book Review: Sudut Mati by Tsugaeda

4

pict taken from goodreads.com

Tempo hari menengok koleksi buku yang masih terplastik rapi alias belum dibaca, lalu langsung mantap memilih buku Sudut Mati karya Tsugaeda. Buat saya, ini adalah genre uji coba, karena berbeda dengan genre yang selama ini saya baca, yang nggak jauh-jauh dari novel filosofis, perenungan hidup, metropop, dan sejenisnya. Novel Sudut Mati ini berkisah tentang perkara-perkara yang timbul karena adanya konflik korporasi. Novel yang penuh intrik di sana-sini, sampai-sampai bikin saya rela menunda tidur malam hanya demi menuntaskan novel ini dalam sekali baca!

Saya nggak ada ekspektasi apapun dengan buku ini, karena nama penulisnya juga saya baru dengar, belum pernah baca karyanya yang lain pula. Tapi begitu membaca, satu bab, dua bab, tiga bab, mata seperti nggak mau lepas dan pengen cepet-cepet nuntasin, karena bikin penasaran banget! 

Saya kagum dengan cara Tsugaeda menuturkan konflik-konflik dalam novel ini, runtut, rumit, banyak, tapi nggak bikin pusing, dan tetap terasa masuk akal. Tsugaeda juga menciptakan banyak tokoh dalam novelnya, tapi perbedaan karakter tokohnya bisa terlihat sangat jelas. Dengan gaya penceritaan melalui sudut pandang orang ke tiga, saya seperti diajak melihat keseluruhan cerita dari sudut pandangnya, seperti naik helikopter dan melihat kejadian-kejadian yang terjadi bersamaan, merasa lebih banyak tahu daripada satu per satu tokoh di dalam bukunya. And thats cool! :D

Tokoh utama dalam novel ini adalah Titan, seorang anak dari pengusaha ternama, yang kembali ke tanah air dari studinya di luar negeri, demi satu misi:

mengembalikan apa-apa yang salah kembali ke jalan yang benar.

Heroik sekali ya? Dan demi mewujudkan misi itu, dia harus melalui banyak hal, mengambil banyak risiko, berada dalam keadaan bahaya, dan banyak ancaman lain yang harus dihadapi. Mampukah Titan? No, aku nggak akan ngasih tahu, kalian harus baca sendiri.

Ah iya, salah satu part favorit saya dalam novel ini adalah ketika Titan membuat 32 strategi keuangan palsu dan menyebarkannya pada seluruh direktur utama anak perusahaan untuk bisa mengetahui kebocoran dalam holding raksasanya, untuk menemukan siapa antek Ares yang ada dalam lingkungan internalnya. Itu langkah keren yang nggak terduga banget! Itu cuma salah satu, masih banyak action keren lain dalam novel ini. Masa kalian nggak penasaran? :p


Buat saya pribadi, buku ini termasuk must read!

Kamis, 21 Januari 2016

Blessfull Birthday :')

0

Di jam-jam segini, 25 tahun yang lalu, sepertinya Mama sudah ada di ruang bersalin, menahan sakit yang amat sangat, menuggu kelahiran putri tercintanya. Saya masih dalam perut, jam segini. Saya baru melihat dunia dan menangis nanti, lewat jam 11 malam.. :)

Saya masih ingat, dulu sekali, ketika usia masih belasan, saya mencita-citakan banyak hal di usia ini. Di angan saya waktu itu, saya pada usia sekarang ini telah menikah, mungkin sedang hamil atau bahkan sudah punya satu anak. Dalam khayalan saya, saya tengah menjalani beberapa peran sekaligus, sebagai seorang karyawati, seorang istri, dan seorang ibu. Hingga pagi tadi datang, lalu saya sadar, angan semasa remaja itu belum sepenuhnya menjadi kenyataan.

Saya masih single-single aja sampai sekarang, hahaahaha.

Duh salah fokus, saya kan mau nulis tentang momen ultah, bukannya curhat colongan :p

Tapi, terlepas dari angan masa remaja saya dulu, saya malah mensyukuri banyak hal. Menurut saya pribadi, saya malah meraih banyak hal, lebih banyak dari apa yang pernah saya angankan dahulu.

Di usia ini, Alhamdulillaah sudah bisa hidup mandiri, membantu keluarga, jalan-jalan ke banyak tempat, kerja di tempat yang Insya Allah mapan. Masya Allah, begitu banyaaaak karunia Allah untuk saya selama dua puluh lima tahun hidup di dunia.

Pada akhirnya, skenario Allah memang yang paling baik, dan yang paling indah.. :)

Di usia ini, saya punya banyak keinginan. Keinginan yang baru-baru saja saya rancang, dan ingin saya wujudkan di usia yang sekarang. Di usia ini, saya punya beberapa rencana jangka panjang (for the first time in my life, akhirnya punya rencana jangka panjang, hahaha). Tahun 2016, di usia yang ke 25, saya ingin menyelesaikan satu buah novel, saya ingin memenuhi target pos-pos tabungan yang sudah ada, saya ingin pergi ke Belitung (seriously, tahun lalu sudah gagal dan saya nggak mau itu terulang tahun ini), saya ingin lebih sering posting di blog ini, saya ingin balik ke bobot fourty-something (hahaha), dan saya ingin berhijrah selalu menjadi Aul yang lebih baik lagi dan lagi. Keinginan-keinginan sederhana yang tingkat eksternalitasnya rendah, alias kunci keberhasilannya 90% ada pada keteguhan niat dan komitmen diri sendiri. Menikah? Ah ya tentu aja saya juga pengen menikah, tapi karena belum tampak hilal jodohnya, mari menyiapkan bagian yang bisa disiapkan oleh diri sendiri dulu, nyiapin ilmu, misalnya.

Sedangkan untuk rencana-rencana jangka panjang dan keinginan yang lain, biarlah saya menyimpannya sendiri :)

Anyway, ini ulang tahun ketiga saya di perantauan. Alhamdulillaah, Allah Maha Baik, Allah senantiasa menempatkan saya di sekitar orang-orang yang baik. Orang-orang di kantor adalah keluarga ke dua. Kantor adalah rumah ke dua. Maka saya bersyukur tiada habisnya diberikan keluarga ke dua yang menyenangkan. Terima kasih untuk puding cokelatnya, terimakasih untuk ucapan selamat, nyanyian happy birthday, dan segala keriangan hari ini. Terimakasih untuk surprise-nya ya, Bapak-bapak, Mbak-mbak, Mas-mas, dan Silvi ! :D

Doa yang paling lazim terucap adalah doa agar segera dipertemukan dengan jodoh. Tentu saja, saya juga bilang aamiin paling kenceng kok, kalau lagi ada yang ngedoain tentang ini, hahaha. Jodoh, masih selalu diperdebatkan, harus dikejar ataukah ditunggu. Tapi yang jelas, jodoh harus diperjuangkan. Caranya? Senantiasa muhasabah, memperbaiki diri lagi dan lagi, ibadah, berusaha, dan pastinya berdoa sama Allah banyak-banyak. Itu menurut saya, sih. Saya percaya, jodoh tidak akan tertukar. Saya percaya, jika memang sudah ditakdirkan, dia tidak akan tersesat, pasti tahu jalan untuk menemukan saya, dan saya pun pasti tahu kemana harus menemukannya. Allah lebih Tahu siapa dan kapan waktu yang tepat. Dan janji Allah, lelaki yang baik adalah untuk wanita yang baik, tidak akan pernah meleset. Saya yakin.

Well, sudah jam 11 lewat, sudah resmi beneran 25 tahun, nih, berarti. Hahahaha. Kembali lagi ingin mengucap:

terimakasih untuk Mama Ibuk dan keluarga di Surabaya yang saya yakin doanya tak pernah putus, semoga saya masih diberi usia dan waktu untuk punya andil menjadi alasan kalian merasa bahagia.. :)

terimakasih untuk keluarga KND 2 yang sudah repot-repot beliin puding dan nyanyi selamat ulang tahun, 

terimakasih untuk semua teman SD, SMP, SMA, kuliah, teman-teman DJKN 72, teman KKN, teman Prajab, teman kantor, yang sudah meluangkan waktunya mengucap selamat dan memberi doa di hari spesial ini,

terimakasih untuk sahabat-sahabat terbaik yang betah dan bertahan hingga detik ini,

terimakasih untuk orang-orang tak terduga, yang ternyata memberi ucapan selamat dan turut mendoakan,

terimakasih, semoga setiap doa baik diijabah Allah untuk saya, kamu, kalian, kita semua :)

Saya sepenuhnya sadar, ini bukan momen pertambahan usia. Sebaliknya, ini adalah tanda berkurangnya jatah hidup di dunia.

Tapi, saya hanya merayakan syukur karena Allah masih memberikan saya nafas untuk melanjutkan kehidupan.. :)

Selamat datang di seperempat abad, semoga Allah senantiasa ridha di setiap ayunan langkah ;D 

knd 2 family :)




21 Januari 2016

Selasa, 19 Januari 2016

Selamat Tahun 2016

0



Residence hotel, tempat saya menginap ketika di Medan, atmosfer kekeluargaannya sangat terasa. Seorang Ibu yang kadang ada di bagian resepsionis, selalu bertanya tiap saya titip kunci kamar..

"Mau jalan2 mba? Naik apa? Ada yg ngantar?" :)

Kala itu adalah pertama kalinya saya menjejakkan kaki di tanah Sumatera, seorang diri, hehe. Awalnya memang deg-degan, bertanya-tanya dalam hati, bakal kayak gimana nantinya, bakal berinteraksi dengan orang-orang yang seperti apa. Padahal sih di sana juga ada temen baik, tapi tetap aja ada kekhawatiran tersendiri kalau mau pergi ke tempat baru.

Lalu seringnya, kekhawatiran itu cuma ada dalam kepala kita sendiri, dan seringnya (lagi) adalah tidak terbukti.

Saya bertemu dengan banyak orang baik selama di Medan. Penginapan murah ala backpacker dengan pemilik yang ramah, mas pemandu di Masjid Raya yang rela ngambil kunci ruang utama masjid di rumah temannya karena ngelihat saya nungguin pintunya dibuka (padahal sih sayanya aja yang datengnya kepagian, haha), berbagi cerita sama bapak penjaga masjid yang ternyata asli Aceh (sejak tsunami, bapaknya pindah ke Medan), dan berkenalan sama mbak Gina yang ternyata punya irisan urusan kerjaan dengan saya (terus malah cerita segala macem kayak sahabat yang lama nggak ketemu).

Trip ke Medan membuat saya lebih banyak mendengar daripada berbicara. Saya mendengarkan kisah masa kecil orang lain, mendengarkan kekhawatiran pemilik hotel yang layaknya kekhawatiran ibu pada anaknya, mendengarkan pengalaman kerja seseorang, dan mendengarkan kata hati sendiri.

Jangan takut dengan sesuatu yang baru. Jangan takut melakukan perjalanan ke tempat baru. Jangan takut bertemu dengan orang baru. Jangan takut belajar hal baru. Seringnya kekhawatiran akan kondisi buruk itu hanyalah skenario yang kita karang sendiri di dalam pikiran. Percaya, deh :)

Kembali ke penginapan yang letaknya dekat sekali dengan Masjid Raya, tibalah waktunya saya kembali ke Jakarta.

Ketika saya pamit balik, sang Ibu bahkan memeluk saya sembari berdoa biar saya bisa mampir ke Medan lagi kapan-kapan :D

Tiap tempat punya cerita. Ketika perjalanan membawa kita menjejak ke suatu tempat, kita sedang membuat cerita baru di sana.. :)

Selamat tahun baru 2016, selamat melakukan banyak perjalanan ;)