Sabtu, 24 November 2012

Cinta itu Kendaraan Pribadi, bukan Angkot

2

Malam ini hari Sabtu, hari di mana banyak orang keluar rumah, pergi melepas penat yang dirasakan. Aku pun malam ini juga pergi, tapi bukan untuk melepas penat, tapi melepas baterai jam tangan alias ganti baterai. Jam tangan ini satu-satunya yang aku punya, karena modelnya pas untuk dipakai kapan saja, untuk acara apa saja, jadi kenapa harus punya banyak kalau satu saja sudah bisa untuk banyak kebutuhan. Mmm, tapi intinya bukan itu sih, aku bukannya mau membicarakan jam tangan kesayanganku. Hehe

Di perjalanan pulang, aku melewati salah satu halte yang aku suka. Ini halte biasa sih, ada tempat duduknya, ada atapnya, dan seperti halte pada umumnya, halte ini juga berwarna biru. Aku memang suka warna biru, tapi bukan karena itu aku suka halte ini. Tapi, halte ini dikelilingi kincir angin kecil-kecil di sekeliling atapnya. Kincir-kincir itu berputar-putar terkena angin dari pengendara yang lewat. Itu yang membuat aku menyukainya, lucu. :)

Melihat halte, aku jadi memikirkan hal konyol. Kira-kira, apa ya hubungannya halte sama cinta..

Hahahaha, nggak nyambung banget kan? :p

Tapi tunggu deh, halte itu kan tempat pemberhentian, tempat di mana orang turun untuk pindah dari angkot satu ke angkot yang lain.. Jadi, adakah yang sudah bisa menebak hubungan antara halte, angkot, dan cinta?

Cinta itu ibaratnya kendaraan pribadi, bukan kendaraan umum alias angkot.. Kok bisa gitu?

Kalo kita naik kendaraan umum (anggep aja angkot), kita pasti berhenti di suatu tempat kan, anggep aja kita berhenti di halte. Setelah itu, kita bakal ganti ke angkot yang lain. Begitu seterusnya, sampe kita nyampe ke tujuan kita. Begitulah ketika kita bertemu dengan orang yang salah. Orang itu ya angkot, kita bersamanya cuma sampe batas waktu tertentu aja, kemudian kita berhenti, karena ternyata orang itu meninggalkan kita. Kemudian kita menunggu angkot yang lain. Begitu seterusnya..

Beda banget ceritanya kalo kita sudah bertemu dengan orang yang tepat, anggaplah itu kendaraan pribadi. Kalo kita naik kendaraan pribadi, kita nggak butuh tempat untuk berpindah. Kita nggak mengenal apa yang disebut dengan halte. Kendaraan pribadi yang terus menerus bersama sama kita, ke manapun, kapanpun. Kendaraan pribadi yang nemenin kita, mau panas, mau hujan, mau ada angin, atau apapun, sampai kita kembali ke rumah.

Memang bertemu dengan orang yang tepat, merasakan cinta yang sebenarnya, nggak semudah kita memilih kendaraan pribadi mana yang mau kita beli. Terkadang, kita justru harus naik angkot dulu, untuk kerja sehari-hari, sampai akhirnya dapet duit. Lalu, naik angkot lagi buat nyampe showroom, baru deh, dapet kendaraan pribadi yang kita idam-idamkan. Kalau sudah begitu, yang bisa kita lakukan adalah, setidaknya, benar-benar mempelajari rute yang akan kita tempuh. Jangan asal naik angkot tanpa tahu tujuannya ke mana, yang ada nantinya cuma rasa lelah.

Tulisan ini hanyalah sekelumit pemikiran yang terjadi ketika aku naik angkot di malam hari, dan melewati halte kesukaanku. Buatku, cinta itu memiliki begitu banyak penafsiran. Oleh karenanya, setiap orang memiliki pemahamannya masing-masing tentang cinta, dan memiliki kebebasan untuk itu. Ini pemahamanku, bagaimana dengan kamu?


semoga segera mendapatkan kendaraan pribadi yaa, begitupun dengan aku.. :)

salam :)

Sabtu, 17 November 2012

Persiapan, Bukan Kesiapan :)

2

Berawal dari salah satu akun favorit saya, @nulisbuku yang ngadain twit-event #puisimalam bertema "hujan". Entah saya kesambet apa, sampai-sampai bisa ngtweet begini:

@nulisbuku: hujan akan tetap turun tak peduli siapa yang bawa payung. karena hidup adalah persiapan, bukan kesiapan. #puisimalam

Setelahnya saya masih kerasa biasa aja. Saya baru menyadari bahwa ada sesuatu dalam tweet itu, setelah twit saya itu diretweet puluhan kali. Saya pun mencoba membaca kembali tweet tersebut, mencoba mendalami lagi maknanya. Sampai akhirnya saya terbawa dalam satu pemikiran panjang...

hidup adalah persiapan, bukan kesiapan..

Ya, hidup memang tentang persiapan, bukan kesiapan. Mulai dari yang sederhana aja sih, masalah ujian sekolah, atau ujian tengah semesternya anak kuliahan. Ujian itu tetep akan dilaksanakan sesuai jadwalnya kan, nggak peduli kitanya udah siap apa belum, udah menguasai materi apa belum, udah hapal rumus apa belum. Sidang skripsi. Sidang bakal tetep berjalan sesuai waktu yang udah ditentukan, kan. Nggak peduli kitanya udah siap mental apa belum, nggak peduli kita udah selesai nyiapin slide buat presentasi apa belum. Ditinggalin pacar, bakal tetep ditinggal juga kan kalo dia memang bukan jodoh kita. Nggak peduli kitanya masih sayang, masih cinta, belum bisa lupa, dan sebagainya.

That's why, kita yang harus memahami semua itu dengan cara melakukan persiapan yang matang. Karena bukan kondisi dan situasi yang akan menyesuaikan dirinya dengan kita, tapi sebaliknya. Yang lagi UTS, ya persiapkanlah dengan cara belajar yang bener. Yang udah deket-deket sidang skripsi, siapkanlah mental, dan segala sesuatunya supaya bisa bener-bener siap dan semua berjalan lancar. Yang lagi punya pacar, siapkanlah hatimu, tanamkan di dalamnya, bahwa segala sesuatu hanyalah titipan-NYA, termasuk perasaan sekalipun..

Pada dasarnya ini hanyalah sebuah pemikiran yang timbul akibat hal sepele, ngetwit. Tapi, yah, semoga bisa berguna dan jadi bahan pengingat. Utamanya buat saya, dan syukur-syukur berguna buat yang membaca juga.

Jangan lihat siapa yang bicara, tapi apa yang dibicarakan :)

Oh ketinggalan..

Actually, bukan hanya hidup yang butuh persiapan, tapi kematian pun juga, jadi, persiapkan juga mulai sekarang ya.. *ngomong sama kaca

Kamis, 15 November 2012

Sabtu, 03 November 2012

Nyanyian untuk Maria

0

Aku datang lagi sore ini, seperti biasa dengan membawa gitar kesayangan yang kubeli sekitar 5 tahun yang lalu. Rumah ini juga tidak banyak berubah semenjak dua tahun lalu aku mulai sering mengunjunginya, menapaki teras yang sekelilingnya ditumbuhi bunga-bunga beraneka warna. Rumah ini begitu teduh, sama seperti seseorang di dalamnya, yang selalu memberi keteduhan untuk gersang kehidupanku sebagai anak rantau yang jauh dari sanak saudara.

Aku mengetuk pintu beberapa kali sampai akhirnya perempuan ini keluar. Masih dengan tatanan rambut favoritnya, rambut dicepol sekenanya, kadang dengan tusuk konde, kadang bahkan hanya dengan sebatang pulpen. Sebarisan giginya yang rapi dan sepasang lesung pipinya menyambut kedatanganku. Aku memilih duduk di teras rumah, menikmati senja yang sebentar lagi akan berganti malam.

Maria, nama perempuan yang sedang menata dua cangkir berisi teh hangat di sebelahku, diletakkannya juga sepiring kecil biskuit rasa kelapa kesukaanku. Aku bercerita tentang apa saja yang kualami seharian. Tentang aku yang terlambat masuk kuliah, tentang bos tempatku bekerja paruh waktu yang hari ini uring-uringan, bahkan aku menceritakan tentang anak kecil yang mengumpat karena aku tak sengaja menyenggol sepedanya dengan leher gitarku dalam perjalanan ke rumah Maria.

Sebentar kemudian, aku memeluk gitarku di depan dada, aku sedang bersiap menyanyikan sebuah lagu. Hari ini ulang tahun Maria dan aku sama sekali tidak membawa hadiah, bodohnya, aku baru ingat ketika aku baru sampai di depan rumahnya.

"Aku nyanyi aja ya buat kamu..", kataku. Maria pun tersenyum dan mengangguk.

If there were no words
No way to speak
I would still hear you

If there were no tears
No way to feel inside
I'd still feel for you

Aku meminum tehku sedikit, lalu kupandangi wajah Maria. Wajah ini, yang selalu aku rindukan setiap hari. Senyuman Maria yang bisa membuat amarahku yang cepat meledak ini seketika menghilang. Maria yang selalu mendengarkan aku, apapun yang aku ceritakan.

Dan Maria lah, perempuan yang selalu mendengarkan apapun yang aku nyanyikan dengan gitarku. Aku berjanji pada diriku sendiri supaya terus menyanyi untuknya, biar dia dia mendengar apa yang aku rasakan, biar ia tahu semua cinta yang kujadikan nyawa dalam tiap nada, sekalipun ia tidak akan pernah bisa menyanyi bersamaku..

And even if the sun refuse to shine
Even if romance ran out of rhyme
You would still have my heart
Until the end of time
You're all i need
My love, my valentine

terlambat

0

"Selamat ya, cerpenmu dimuat lagi..", kataku pada Lova. Gadis cantik ini sedang duduk di sebelahku, sama-sama menunggu jam kuliah berikutnya yang masih sekitar satu jam lagi.

"Makasih, Gery! Aku seneng banget, deh! Oh iya, dulu pas pertama kali dimuat, aku ga jadi bisa traktir kamu, kan, nanti, kalo aku ambil honor yang kali ini, kamu aku traktir ya!", jawabnya riang. Mata lebarnya menyipit, tawanya lepas. Aku begitu sulit untuk tidak terpesona padanya, khususnya pada saat-saat seperti ini. Saat kebahagiaan begitu jelas terpancar dari raut wajahnya.

"Gampang lah itu, hehe..". Aku menjawab ajakannya singkat. Aku sedang menimbang-nimbang lagi susunan kata yang sudah kupilih tadi malam. Sekitar satu tahun aku selalu berada di samping Lova. Mendampinginya dalam tiap tawa, sedih, dan saat-saat terberat dalam hidupnya. Berada di samping Lova membuatku semakin ingin untuk terus menjaganya. Sampai detik ini, rasa cinta itu pun semakin membesar dan memenuhi rongga-rongga hatiku.

"Kamu kenapa, Ger? Kok kayak ngelamun terus dari tadi? Kamu ada masalah? Cerita, dong!", tegur Lova membuyarkan lamunanku. Lova menghadapkan kepalanya tepat di hadapanku. Sumpah, aku grogi!

"Nggak kok, nggak papa.. Kamu sendiri keliatannya girang banget, jangan-jangan ada yang bikin girang selain karena cerpenmu dimuat ya?", candaku.

"Aaaa, keliatan banget ya? Mukaku merah ya? Hahahaha..", Lova menghindari pandanganku dan menutup mukanya dengan telapak tangan. Seketika aku merasa ada yang sudah terjadi tanpa sepengetahuanku.

"Mmm, tadi malem, aku jadian sama Arlan..", katanya malu-malu. Seketika kurasakan dadaku seperti mau runtuh.


Di saat ku mencoba merajut kata
Dan berharap semua jadi sempurna
Tiba-tiba ada yang lain yang mencuri hatinya
Hilang sudah kesempatanku dengannya

Jumat, 02 November 2012

Ini Bukan Aku -- Payphone

0

Aku terpaku, dari tadi kita membisu. Wajahmu, menunduk, memelas, sambil sesekali memandangi mataku. Aku sendiri masih bertanya-tanya dalam hati, bagaimana bisa?

*          *          *

"Arina, kamu ini cantik, tinggi, modal yang lebih dari cukup untuk bisa jadi seorang model. Besok, aku kenalin sama Dido, dia sahabat baik aku, papanya punya agency model.."

"Tapi, Ndre, aku.."

"Aaah, udah deh, sekarang kamu coba baju yang ini, atau yang ini? Eee, mbak, tolong cariin yang pas ya buat pacar saya..", kata Andre pada salah satu pegawai butik. Siang ini aku batal mengirimkan cerpen, Andre mengajakku berbelanja ke sebuah butik besar di kotaku. Sudah kukatakan aku tidak pernah pergi ke butik atau semacamnya, itu bukan gayaku. Tapi, entahlah, akhir-akhir ini, obsesinya menjadikan aku seorang model menjadi lebih menggebu seribu kali lipat. Aku cuma bisa menurut, aku tahu, Andre hanya berusaha membuatku menjadi lebih "wanita". Dan kurasa tidak ada salahnya aku mencoba untuk menjadi model. Iseng saja lah, lagipula aku sudah semester akhir, kesibukanku tidak terlalu banyak.

"Waaahh, kamu cantik banget, Yang.. Sumpah!", Andre menatapku lekat-lekat, matanya seperti mau keluar. Minidress biru muda dengan aksen pita ini memang bagus sekali. Ya, walaupun rasanya ingin sekali kutambahi panjang ujungnya beberapa centimeter.

"Habis ini, kita ke studio foto ya..", Andre memasukkan baju belanjaanku ke mobil, lalu berjalan menuju kursi depan.

"Ngapain?", tanyaku sambil membetulkan sabuk pegaman.

"Ya foto dong, Sayang.. Nanti kamu foto sama baju-baju tadi, biar besok bisa aku kasih ke Dido.."

"Aduh, tapi aku kan nggak bisa make-up-an, ntar fotonya jelek.."

"Gampanglah, nanti bisa minta tolong orang studionya kok. Kamu nggak usah khawatir, ya..", katanya sambil melihat ke arahku, seakan meminta persetujuan. Aku tersenyum dan mengangguk.


*          *          *

"Kamu nggak bisa ngertiin aku banget sih, Rin! Aku bilang nggak bisa ya nggak bisa!", bentak Andre padaku. Malam itu aku mendapat kabar bahwa dua hari lagi, aku akan show di luar kota. Sempat terlintas untuk mengajak Dinar, adikku, tapi dia sedang dalam minggu-minggu UAS. Akupun tak sampai hati minta ditemani mama yang sehari-hari sudah sibuk dengan urusan kerja dan rumah tangga. Aku bisa saja mengajak Nessa, sahabatku untuk ikut, tapi sekarangpun dia bekerja paruh waktu di kantor penerbitan. Aku tentu tak bisa seenaknya menyuruh dia membolos kerja. Pilihan terakhir jatuh pada Andre, toh dia yang biasanya mengurusi show-ku, di manapun itu. Tapi kali ini dia menolak. Untuk yang ke lima kalinya.

"Ya tapi kenapa? Aku belum pernah ke Jakarta sendirian. Show-ku yang kemarin-kemarin kamu selalu bisa, tapi kenapa akhir-akhir ini kamu selalu nolak, sih?", tanyaku penasaran.

"Kamu kan tahu, aku sekarang jadi manajernya Cherryl juga. Dia juga ada show di Jogjakarta. Makanya aku nggak bisa nemenin kamu!"

Deg! Cherryl, perempuan cantik luar biasa, yang bisa membuat lelaki manapun terpesona, tampaknya sudah menancapkan pesonanya di hati Andre. Aku sudah menangkap gelagat mencurigakan dari keduanya. Beberapa kali aku menemukan mereka berdua sedang makan malam di restoran dekat butik langgananku. Tadinya kupikir itu hanya sebatas hubungan kerja. Dan sebenarnya, sampai detik ini, aku masih berharap instingku salah.

"Oh gitu, jadi sekarang kamu lebih prioritasin Cherryl?"

"Aku capek ngomong sama kamu, Rin!"

"Aku nggak pernah minta jadi model. Aku nggak pernah suka dandan dari dulu. Aku emang nggak biasa pake baju-baju yang bagusnya selangit. Aku juga nggak pernah tahan diliatin orang, jadi pusat perhatian, jalan lenggak-lenggok di depan orang banyak. Tapi selama ini aku kesampingkan itu semua. Demi siapa? Demi kamu, Ndre. Aku seneng ngeliat kamu semangat pengen daftarin aku jadi model. Aku suka liat kamu yang seneng banget waktu aku beneran diterima jadi model. Kamu harus tahu, Ndre, selama aku jadi model, yang bikin aku bertahan ya cuma kamu..", panjang lebar aku memuntahkan semua yang aku rasakan. Di tempat ini, tidak ada yang bisa mendengarkan kami. Aku dan Andre sengaja memilih tempat duduk yang ada di balkon. Kami suka restoran ini, karena ada balkon, balkon tempat kami biasa makan beratapkan langit.

"Yaudahlah, nggak usah cengeng gitu. Pokoknya aku nggak bisa nemenin kamu, titik.", Andre tetap saja dingin. Entah apa yang ada di pikiran dan hatinya, dia sama sekali tidak tersentuh sedikitpun dengan apa yang aku bicarakan.

"Aku bukan cengeng, aku cuma.."

"Yaudah, kalo kamu nggak mau berangkat!", cepat sekali Andre memotong kata-kataku. Malam ini aku seperti makan malam bersama orang lain. Tiba-tiba handphone Andre berbunyi.

"Halo. Iya, udah kok. Tunggu ya, bye..", setengah tertawa dia menjawab panggilan itu. Aku bisa mendengarkan dengan jelas, perbedaan nada bicara yang baru saja dia tunjukkan.

"Cherryl?", tanyaku to the point.

"Bukan urusan kamu. Aku pulang duluan.", Andre memakai jaketnya kemudian meniggalkan aku sendiri. Aku memandangi punggungnya yang menjauh. Perlahan aku mendekati tepi balkon, dan melongok ke bawah. Itu Andre, dijemput Cherryl. Dan ya, aku melihat dengan jelas tangan Andre yang melingkar mesra di pinggang Cherryl. Ini sudah terlalu jelas, batinku. Lalu hujan pun turun, dari kedua mataku.

I'm at a payphone trying to call home
All of my change I spent on you
Where have the times gone, baby it's all wrong
Where are the plans we made for two?

*          *          *

"Jadi sebenarnya apa yang bikin kamu ke sini? Apa yang bikin kamu punya keberanian untuk menemui aku lagi?", tanyaku pada sesosok manusia yang sedari tadi mengatupkan bibirnya di depanku. Lelaki itu hanya diam. Mungkin dia merasa bersalah, atau malu?

"Maafin aku, Rin. Tapi, aku bener-bener masih sayang sama kamu.."

"Masih? Lalu ke mana kamu setelah malam itu? Pergi ke mana kamu setelah membentak-bentak aku? Jangan pikir aku nggak tahu.". Gigi-gigiku gemeletuk pelan, aku sedang menahan amarah yang begitu hebat. Amarah yang sudah lama hilang, sebelum pemicunya datang ke rumahku sore ini.

"Aku minta maaf, Rin. Aku mau kita ulang semuanya dari awal lagi.."

"Kenapa? Karena sekarang aku jadi penulis hebat? Karena karirku dulu sebagai model nggak secemerlang karirku pas jadi penulis seperti sekarang? Iya? Udahlah, Ndre, lebih baik kamu pulang. Nggak ada tempat buat kamu di sini. Apalagi di hati aku."

I gave you my love to borrow
But you just gave it away
You can't expect me to be fine

Sekali lagi Andre melihat ke dalam mataku, mencoba menemukan sisa-sisa cinta di sana. Tapi kupastikan dia tidak akan menemukan apapun. Semuanya sudah hilang. Perasaan mendalamku yang dia sia-siakan. Dan aku tidak cukup bodoh untuk mau bertahan untuknya. Akhirnya Andre pulang. Aku menarik napas panjang. Mimpi apa aku semalam sampai-sampai dia berani mendatangiku?

Aku melangkah menuju ruang kerja kecil di lantai 2. Kuambil laptopku di salah satu sisi rak. Selintas aku mengamati buku-bukuku yang sudah menjadi Best Seller. Aku kemudian menyadari kebodohanku selama ini. Bukan sepenuhnya salah Andre, aku yang mengiyakan keinginan Andre supaya aku menjadi model. Hanya saja, dia memperburuknya dengan pengkhianatan.

Tapi aku bersyukur, karena dari sanalah aku menemukan aku yang lama hilang. Aku dengan kecintaanku menulis di waktu senja. Aku dengan kecintaanku pada ketenangan. Aku dan kecintaanku terhadap susunan kata dan diksi, dan permainan perasaan lewat alfabet. Sampai akhirnya aku kembali lagi ke sini.

Aku membuka laptopku dan duduk di kursi. Sebentar aku mengamati diriku sendiri. Celana pendek, kaos oblong kedodoran. Ah, aku mencintai diriku. Dari balkon ini, aku bisa melihat langit yang kemerahan. Senja, aku datang. Jemariku pun mulai menari, gemulai bersama mimpi..