Jumat, 27 Oktober 2017

Terima Kasih, Gio

0

Ada rasa grogi yang tiba-tiba merayapi hati ketika kumasuki kelas pertama pagi itu. Di event yang sama, setahun yang lalu, aku gagal total menghandle anak-anak kelas 2 SD. Ada yang bertengkar, ada yang menangis, pun ada yang lompat-lompatan dari satu meja ke meja yang lain. Tahun ini, aku mencoba menantang diriku sendiri, mengikuti event yang sama, lalu dengan sengaja memilih kelas 1 sebagai salah satu kelas yang menjadi tanggung jawabku.

Ransel abu-abu yang nangkring sempurna di punggung, satu lembar karton besar bergambar peta Indonesia, dan satu tas jinjing yang penuh dengan materi untuk mengajar hari ini, itulah bekalku sampai sekitar jam setengah 12 siang nanti. Pintu kelas semakin dekat, deg-degan pun semakin menjadi, kulafalkan Bismillah dalam hati. Aku telah mengerjakan semua ini dengan sepenuh hati, maka semoga mereka akan menerimaku dengan sepenuh hati juga.

"Assalammu'alaikum warohmatullahi wabarokatuh," sapaku. Kemudian kukembangkan senyuman selebar mungkin. Alhamdulillah, salamku dijawab dengan ceria. Rasa percaya diriku mulai muncul ke permukaan.

Setelah perkenalan sebentar, aku lanjutkan dengan sesi pemasangan headband yang sudah kami (para relawan) siapkan. Karena bentuk headband-nya harus ditaliin/dipitain dulu, maka sudah pasti anak-anak ini minta tolong dipasangin. Cute sekali ketika mereka berebut minta tolong dipasangin headband-nya, rasanya kayak dikerubutin fans gitu, hihihi.

ice breaking
pasang headband
Ah iya, aku sudah belajar banyak dari pengalaman tahun sebelumnya, jadi kali ini aku pakai media untuk membuat anak-anak ini aktif bergerak, instead of meminta mereka mendengarkan atau menyimak penjelasan. Sesuai dengan tugas dan fungsi instansi tempatku bekerja, Direktorat Jenderal Kekayaan Negara, maka aku ingin memperkenalkan apa saja yang termasuk kekayaan negeri ini, dan bagaimana menjaganya. Aku memilih puzzle sebagai media pembelajaran. Ada gambar gedung-gedung, pelabuhan, sungai, sampai hutan dan seisinya.

main puzzle
 Aku membagi anak-anak ini menjadi 4 kelompok, masing-masing kelompok aku berikan satu puzzle yang harus mereka kerjakan bersama-sama. Nah, di tengah kesibukan merangkai potongan puzzle, salah satu murid bernama Gio memanggilku, dan terjadilah percakapan berikut:

Gio: Ibu ini gimana kepala monkey nya kurang satu.. (dengan nada merajuk)

Aku: Mana? Coba Ibu lihat dulu ya.. (mencoba tetap terlihat cool, padahal udah deg-degan takut bikin nangis bocah)

Gio: Nggak ada kan.. Nggak aku sembunyiin kok.. (makin kesel dianya)

Aku: Wah iya. Maaf yaa, sebentar Ibu ganti dulu pakai puzzle yang baru..

Sesi pasang-pasang puzzle pun kembali kondusif. Sampai waktu istirahat tiba, ketika anak-anak lain mulai keluar kelas untuk istirahat, Gio malah menghampiri aku.

Gio: Bu mau main puzzle lagi dong. Masih ada nggak puzzle nya?

Aku: Puzzle nya ada, Gio. Tapi kan habis ini Ibu ngajar ke kelas-kelas lain, jadi nanti puzzle nya juga buat temen-temen Gio yang lain. Maaf ya, nggakpapa kan?

Gio: Oh gitu, yaudah nggakpapa.. (senyum maniiiis)

Aku langsung terharu.

Anak-anak memang begitu cepat melupakan dan memaafkan kesalahan orang lain :")

Masih kuingat jelas wajah dan nada suara bete-nya ketika beberapa saat lalu puzzle-nya kurang dan kuganti dengan yang baru. Ternyata itu nggak membekas di hatinya, Gio malah dengan ramahnya menghampiriku dan ingin main puzzle lagi.

Seiring bertambahnya usia, mungkinkah kemampuan untuk memberi maaf itu berkurang?

Koreksi diri lagi dan lagi. Soal beginian saja kadang malah kalah sama anak kecil T.T

Belajar bisa dari mana saja, dengan siapa saja. Buka mata, hati, telinga (kayak lagunya Maliq aja), supaya kita bisa menangkap hikmah-hikmah dan pelajaran kecil yang mungkin seringkali kita lewatkan begitu saja. Kali ini, aku belajar banyak tentang memaafkan, dari seorang anak lelaki berusia 7 tahun.. :")


Terima kasih, Gio :)

Sabtu, 14 Oktober 2017

Benteng Baja

0

Image result for tol jagorawi
pict from: mediatataruang.com

"Kenapa jadi cuma kita berdua yang berangkat pakai mobil?" tanyaku.

"Lu nggak lihat itu perlengkapan bejibun di kursi belakang?", Haikal menjawab tanpa menoleh sedikitpun. Pandangannya fokus ke depan, kedua tangannya mencengkeram kemudi kuat-kuat.

"Itu tapi masih muat buat satu orang lagi, kayaknya."

"Kanaya bawel, ah."

"Hahaha, ampun bos, jangan marah," jawabku sambil cekikikan.

Minggu ke dua bulan Mei, acara gathering kantor kami rupanya jadi digelar. Setelah sempat beberapa kali berganti opsi tempat karena kuota yang nggak sesuai, terpilih juga salah satu tempat outbond yang ada di Bogor. Seperti biasa, selalu ada pioneer yang berangkat duluan naik mobil beberapa jam sebelum rombongan bus berangkat dari kantor. Dan di sinilah kami, rombongan pioneer yang cuma dua gelintir.

Di kala weekend, jalan tol Jakarta-Bogor tidak akan konsisten dengan nama lainnya, jalan bebas hambatan. Makanya, pergi pagi-pagi banget itu wajib hukumnya. Aku dan Haikal sudah sepakat untuk berangkat jam setengah enam pagi untuk mengantisipasi bawaan molor Haikal yang nampaknya sudah mendarah daging. Syukurnya sih lumayan berhasil, kami berangkat jam enam dari kantor. Tetep ya molor setengah jam -_-

Di luar matahari tampak semangat bersinar, tapi Haikal tampak kuyu.

"Begadang yak nyelesaiin videonya?" tanyaku sambil memilih-milih track musik.

"Iya, sampai jam 3. Bayangin, tuh."

"Dih, kalau ngantuk mah melipir aja dulu. Jangan dipaksain."

"Iya, bentar lagi kita melipir ya. Berat banget mata gua."

Mobil terus melaju, Jagorawi memang lumayan bersahabat di pagi hari. Rest Area KM 35 mulai nampak hilalnya.

"Lu mau turun atau nunggu di dalem mobil?" Haikal sudah melepas sabuk pengamannya, bersiap turun.

"Hmm, kamu mau beli apa?"

"Gua mau beli es krim."

"Hah? Es krim?"

"Ya nggak lah, beli kopi, Ka! Kan lagi ngantuk.. Ah lu ada-ada aja dah pertanyaannya."

"Kamu kalau ngantuk galak, ya. Yaudah aku turun juga deh, tapi nggak ikutan kamu beli kopi."

"Yaudah, nanti ketemu di sini lagi, ya. Yakin kamu nggak nyasar balik ke sini?"

"Kan ada google maps," jawabku ngasal. Haikal tergelak.

Kami berjalan ke arah yang berlawanan. Haikal perlu kopi, aku butuh cemilan. Perutku belum kemasukan makanan sedikitpun, belum sempat sarapan dulu sebelum berangkat. Rest area belum begitu ramai, jadi aku leluasa untuk mengedarkan pandangan ke segala arah. Aku pun nggak perlu susah-susah berjinjit untuk mengamati tenant-tenant jajanan yang tersebar di sini, seperti yang biasa kulakukan kalau rest area sedang ramai.

Salah satu yang membuatku suka dengan rest area Sentul ini adalah banyaknya variasi makanan yang bisa dicoba. Ada pisang molen, tahu gejrot, bahkan sampai es dawet ayu. Semuanya tersedia! Semuanya enak!

Lima belas menit berlalu, aku kembali ke mobil. Rupanya Haikal sudah duluan ada di dalam.

"Beli apa, lu?"

"Tahu gejrot, hehehehe," sahutku sambil nyengir.

Beberapa menit kami terdiam, sibuk dengan kopi dan tahu gejrot masing-masing. Aku sedang menimbang-nimbang sesuatu.

Cerita atau nggak, ya?

"Lu mikirin apa, Ka?"

Aku tersentak. Haikal lama-lama kayak cenayang.

"Kok kamu tau aku lagi mikir sesuatu?"

"Soalnya tahu gejrot-mu nggak habis-habis, hahahaha."

Aku melengos.

"Yaelah sensi. Lu mikirin apaan sih?"

"Nggak sih, nggak penting sebenernya."

"Justru karena nggak penting, lu harus cerita sama gua. Kalau hal penting biasanya bukan level gua untuk ngasi solusi, haha."

"Itu, temenmu, Vero."

"Oh. Kenapa Vero?"

"Belakangan dia sering ngechat."

"Cieeee.. Ngechat apaan?"

"Macem-macem."

"Iya macem-macem tuh, apa? Ngajak jalan?"

"Iya, salah satunya."

"Trus lu mau?"

Merasa aneh dengan pertanyaan Haikal barusan, aku menoleh.

"Eh, anu, maksudnya, lu jadi jalan sama dia?"

"Enggak."

"Kenapa enggak?"

"Kamu tumbenan kok kepo banget, sih, Kal?"

"Dih, siapa juga yang kepo. Kalau lu nggak mau cerita juga nggakpapa, sih."

"Kamu habis ngobrol apa sih sama Vero?"

Beberapa detik hening.

"Kal?"

"Nggak ada ngobrol apa-apaan. Kenapa lu ngga mau jalan sama dia?"

"Yaa ngapain. Ketemu juga cuma sekali yang waktu kita liburan itu. Terus tiba-tiba dia ngontak, ngobrolin beberapa hal, terus ngajakin jalan. Buat apa."

"Dia tertarik sama lu, kali."

"Tertarik kok ngajak jalan. Tertarik ya ngajak taarufan, lah."

"Dia belom sampai ke level itu lah, Ka. Mungkin dia pengen kenal lu lebih deket dulu."

Matahari meninggi, tahu-ku tinggal tiga potong lagi. Kopi Haikal sudah hampir habis.

"Kenal lebih deket? Kalau cuma untuk itu, dia bisa lah cukup tanya-tanya ke kamu aja, Kal. Kan kita udah lama kenal, kamu tau lah aku orangnya kayak gimana."

"Yaa, nggak asik juga kali kalo cuma tahu dari gua. Vero pengen interaksi langsung sama lu, ngobrol langsung sama lu."

"Cukup deh, Kal. Kan kamu tahu juga kalau aku udah nggak mau lagi yang namanya pacaran, deket, temen jalan, or anything you named it lah. Aku udah pernah ngerasain semuanya, dan nggak pernah happy ending."

"Iya, iya, jangan marah-marah, lah. Nanti pas nge-MC malah jelek mood lu."

Haikal menyalakan mobil. Kopi di gelas kertasnya sudah tandas. Kami harus melanjutkan perjalanan, jangan sampai rombongan bus malah tiba lebih dulu di tempat acara. Kalau sampai itu terjadi, apalah fungsi kami sebagai pioneer?

Beberapa kilometer berlalu dari rest area, giliran Haikal yang tampak gelisah.

"Kenapa, Kal?"

"Hah?"

"Iih, jangan sok pura-pura bego gitu, deh."

Aku mendengar helaan napas panjang Haikal.

"So sorry, Ka. Gua yang bilang ke Vero kalau nggak mau bantu dia soal lu."

"Maksudnya?"

"Feeling gua belum bisa lmenangkap keseriusan Vero waktu dia ngomongin lu."

Aku diam. Haikal menurunkan volume mp3 sampai tak terdengar sama sekali.

Lalu katanya,

"Gua nggak berani ikut campur, Kanaya. Kalau hati dan perasaan lu yang jadi taruhannya."