Minggu, 29 September 2013

Mencintai Aku yang Lain

0

Aku mengenalnya pertama kali kurang lebih setengah tahun yang lalu. Saat itu, aku sedang menunggu bus, sepulang kuliah. Aku yang paling tidak betah menunggu, memang selalu menyiapkan sesuatu. Entah itu mp3 player atau novel, pasti bisa selalu ditemui di dalam tasku. Rasanya, mending aku ketinggalam bawa buku kuliah daripada harus nganggur ketika menunggu bus setiap hari. Bukannya aku tak bisa naik kendaraan pribadi, hanya saja, aku sudah memutuskan untuk naik kendaraan umum kalau ke kampus, sejak tahun lalu, saat di mana parkiran kampus sudah sangat penuh sesak dan seringkali mengharuskan aku parkir di fakultas lain.

Ah iya, jadi, sore itu, ketika aku sedang menunggu bus, tiba-tiba, ada seseorang yang menyentuh bahuku. Akupun menoleh, terlihatlah olehku sesosok laki-laki berbadan tinggi, berambut lurus dengan poni yang agak berantakan seperti habis dijamah angin karena berlari-lari. Dan sungguh aku tidak bisa melupakan matanya. Matanya indah sekali. Mata bulat, berwarna cokelat, dinaungi sepasang alis tebal dan tersembunyi di balik kaca matanya.

Dia menanyakan suatu alamat padaku, yang ternyata alamat itu juga dilewati oleh bus yang akan kutumpangi. Jadilah hari itu, untuk pertama kalinya, aku memasukkan novel ke dalam tas dan melepas earphone-ku ketika menunggu bus-ku datang.

Hari inipun sama. Aku dan dia sedang duduk di halte, menikmati gerimis dan menunggu kedatangan bus yang sama. Entahlah, waktu selalu terasa menyenangkan ketika bersamanya.

Sampai tiba-tiba gerimis berubah menjadi hujan deras, bus tak kunjung datang.

"Rin, kamu bawa payung?"

"Bawa, kenapa?"

"Tiba-tiba jadi pengen ngopi bentar di Circle K, ke sana yuk.. Kan nggak jauh dari sini", ajaknya. Aku mengangguk dan mengeluarkan payung berwarna biru dari dalam tas. Aku mengulurkan tangan, memberikan padanya.

"Mmm, bukannya kamu pernah cerita kalo kamu suka hujan, ya, Ar??"

Arman diam, dia membuka payung dan menggamit tanganku menembus hujan. Dengan payung.

***

Ada hari lain di mana matahari bersinar lebih terik dari biasanya. Maka penghuni halte ini berganti perilaku. Sama dengan ketika hari hujan, payung dibentangkan. Kertas, buku, map, apa saja dipakai untuk melindungi kepala dari sengatan sinar. Sinar dari matahari yang begitu berjasa.

Bus-ku belum datang, Arman juga belum nampak batang hidungnya. Ah, aku berbohong. Sebenarnya, bus-ku sudah datang, tadi, tapi aku sengaja tetap duduk di sini. Berharap Arman muncul dan langsung duduk di sampingku seperti biasanya. Tak ada sms-ku yang dibalas, entah apa yang dilakukannya sekarang. Mungkin ada kuliah pengganti, entahlah.

Tiba-tiba seseorang menyenggol lengan kananku. Refleks aku memelototinya, berani-beraninya, batinku.

Lalu lelaki itu membuka topinya sambil tertawa.

"Arman! Sejak kapan kamu di sini?", tanyaku kaget. Aku bahkan tidak melihatnya lewat di depanku.

"Hahahaa, serius amat sih baca novelnya.."

"Kamu sih, tumbenan juga pake topi segala. Kemarin-kemarin juga panas tapi kamu nggak pake topi.."

"Hari ini panas banget, Rinda.. Kamu ngerasa nggak sih?"

"Mmm, iya juga, sih.. Tapi kan.."

"Tapi apa?"

"Nggak jadi, hehehe.. Nggak papa.. Eh, itu bus-nya dateng! Yuk!"

Aku terdiam sambil mencoba mengingat-ingat. Seingatku, dia pernah bilang kalau dia cinta matahari, pemberi kehidupan, katanya.

***

Rumah megah ini begitu berbeda dengan rumahku yang hanya tipe standar. Ada dua pilar besar di kanan dan kirinya. Ada garasi mobil yang ukurannya hampir menyamai rumahku. Ada pagar yang sangat tinggi di depan rumah. Semua ini semakin membuatku bertanya-tanya, apa yang membuat Arman lebih memilih untuk naik bus tiap hari.

Hari ini aku diajak Arman berkunjung ke rumahnya. Aku kehabisan kata-kata. Seketika aku merasa ada jurang pemisah yang amat jauh antara aku dan Arman.

Kami mengobrol banyak hal di taman dekat ruang keluarganya.

Tapi tidak lama, sampai angin berhembus sedikit lebih kencang dari biasanya.

"Rin, masuk aja, yuk.. Anginnya kenceng.."

"Ah, nggak kenceng-kenceng banget, kok, Ar. Di sini aja nggakpapa.."

"Nggak ah, kita masuk aja. Yuk.."

"Bukannya kamu kalo duduk di bus selalu minta di pinggir jendela? Biar kamu kena angin? Kan kamu suka angin?"

Arman lagi-lagi hanya menggamit tanganku, mengajakku duduk di ruang keluarga.

***

"Aku cinta sama kamu", kata Arman padaku.

Hari itu, seperti biasa, kami sedang dalam perjalanan menuju halte. Aku terdiam beberapa menit. Bingung.

Sampai kami duduk di halte, aku baru berani membuka mulut dan bicara padanya. Syukurlah halte sedang sepi, mungkin karena ini jam nanggung, jadi halte ini sepi tanpa penghuni. Kecuali kami.

"Aku.. Aku takut, Ar.."

"Hah? Takut apa??"

"Kamu bilang cinta hujan, tapi kamu menggunakan payung saat berjalan di bawahnya.
Kamu bilang cinta matahari, tapi kamu mencari tempat teduh ketika ia bersinar.
Kamu bilang cinta angin, tapi kamu tutup jendelamu ketika ia berhembus.
Itulah mengapa aku takut ketika kamu bilang kamu cinta aku."

Arman terdiam, seperti tak paham.

"Aku takut, kamu tidak bisa mencintai sisi lainku yang tidak sesuai dengan harapanmu. Sama ketika hujan turun lebih deras daripada yang kamu mau. Sama ketika matahari bersinar lebih terik dari yang kamu perkirakan. Sama juga, ketika angin berhembus lebih dingin dari batas toleransimu."

Arman memandang ke dalam mataku. Dia tak berbicara sepatah katapun.

Aku mencoba tersenyum. Ada yang pedih di hati ini. Ketakutan. Ketakutan jika orang yang aku cintai, tidak bisa mencintai sisi lainku yang mungkin belum dia ketahui.

Aku menggenggam handphone-ku yang bergetar-getar sejak tadi. Aku tahu, pasti Dokter Ilham mengingatkan aku untuk pergi check-up hari ini.


boleh kupinjam hatimu?

0

boleh kupinjam hatimu sebentar?
aku ingin masuk ke dalamnya
kubuka satu demi satu pintunya
berharap benar-benar ada ruangan dengan namaku di sana

boleh kupinjam hatimu sebentar?
aku ingin menelusuri ruanganku di situ
kalau memang ada
ingin kutahu seberapa banyak memori yang tersimpan
waktu-waktu yang kita lewati bersama
kau simpan ataukah hanya terlewat?

boleh kupinjam hatimu sebentar?
adakah namaku benar-benar terukir di sana?
ataukah aku hanya sebuah nama yang singgah
seperti angin, yang datang lalu pergi tanpa jejak

boleh kupinjam hatimu sebentar?
sebelum aku pergi
aku ingin mengambil kunci ruangan tempatku berada
agar kau selalu ingat
atau minimal agar aku tak pergi ke mana-mana
agar selalu ada tempat di mana kau bisa rindu dan sedikit mengenang
bagaimanapun aku pernah ada di sana
dan semoga terus selalu di sana
sekalipun keadaannya berbeda

Sabtu, 28 September 2013

aku akan memelukmu, luka

2

malam meninggi
menyayat diri dengan pisau sepi
bahkan tengadah ke langit membuatnya kembali menganga lebar

mungkin aku sedikit lupa caranya
tapi aku tak berkoar-koar bahwa aku kuat
aku tidak menolak air mata
aku tak mengingkari gemetar kata
aku tidak menyangkal perih yang datang

aku akan memelukmu, luka
aku akan menaklukkanmu dengan kelembutan
bukan dengan penghindaran
bukan dengan penyangkalan
bukan dengan lari dari segalanya

aku akan memelukmu, luka
sungguh aku akan memelukmu
aku akan memahami rasa sakitmu

aku akan memelukmu, luka
sungguh

Kamis, 12 September 2013

sesal

2

"Ini sudah ke berapa kalinya kamu selingkuh, sih?"

"Banyak!"

"Kamu nggak ngerti-ngerti juga, ya?"

"Ngerti apa ya? Kan selama ini kamu oke-oke aja, toh?"

Yak, sedikit lagi, beberapa detik lagi. Semoga dia benar-benar meledak dan meninggalkanku pergi!

"Selama ini aku bertahan sama kamu. Dan ternyata kamu emang nggak berubah."

"So? Dari awal aku udah peringatin kamu, kan? Aku udah bosen sama kamu. Kamunya yang nggak mau ngerti."

Oke, setelah ini. Setelah ini. Mungkin setelah ini dia akan menggebrak meja dan benar-benar membenciku. Syukurlah, ayo dipercepat. Kebebasaaan, aku dataaaangg!

"Oke kalo emang itu mau kamu."

"Jadi kita put... uss.. kan...? Nay?"

Aku bahkan tidak bisa mengerti dengan diriku sendiri. Sedetik yang lalu aku mati-matian berharap Naya membenciku da meninggalkanku, seperti yang kuinginkan sejak lama. Tapi.. Tapi.. Melihat matanya yang berkerjap-kerjap susah payah menahan air mata. Dan, entah ini perasaan macam apa. Tiba-tiba seperti ada sesuatu yang membuatku merasa bahwa... Sepertinya aku salah.

"Iya, kita putus."

Naya menghilang di balik pintu kafe. Sementara ada jerit tertahan di hati kecilku. Hati kecil yang tak pernah kudengarkan, bahwa sungguh cinta Naya adalah tempat ternyaman untuk pulang.

Aku terlambat.

aku sengaja, kau tahu?

2

Aku menatap meja kecil di samping tempat tidurku. Ada satu benda yang amat kukenali di sana. Bingkai foto kecil berwarna merah muda, dengan badannya full terbuat dari kayu. Biasanya, memandang bingkai itu bisa membuatku senyum-senyum sendiri, bahagia. Tapi sudah beberapa hari ini bingkai itu kubiarkan tertangkup. Menghadap ke bawah.

Aku sengaja menyembunyikanmu, kau tahu?

Aku bangun dari tempat tidur, berjalan menuju komputerku di sudut kamar. Aku mencari-cari cd musik kesayanganku di rak kecil di dekatnya. Dan, Oh-My-God, aku menemukan cd-mu. Tidak tidak, bukan celana dal**. Ini benar-benar cd, cd musik, yang kamu berikan tepat di hari anniversary kita yang pertama. Oke, bagus, ternyata aku masih mengingat semuanya dengan baik. Dengan satu gerakan cepat, aku melempar cd itu ke laci bawah tempat tidurku. Laci gudang, demikian aku menyebutnya.

Aku sengaja ingin melupakanmu, kau tahu?

Keterlaluan, hujan dan rindu memang sejoli yang tak terpisahkan.

Yeah yes
All I hear is raindrops
And I’m officially missing you

Senin, 09 September 2013

tanah vulkanik

2

tumpahi aku dengan panasnya lava

lelehi aku dengan membaranya lahar

rongrong aku dengan gemuruh magma

rajami aku dengan tajam batu-batuan yang jatuh dari langit

maka

akan kuberi kau satu padang lavender cantik warna ungu

akan kuhadiahi kau rimbun pohon hijau nan sejuk

akan kuperlihatkan kepadamu, abadinya cinta edelweis yang anggun


tertanda,


tanah vulkanik



Minggu, 08 September 2013

monologue

0

hai..
ingin memaksamu menemaniku menulis sesuatu di sini..
biasanya kau begitu pandai, menempatkan dirimu dalam satu situasi
satu skenario, merasakan sesuatu
mengumpamakan di sanalah titikmu

lalu terciptalah rasa yang diisyaratkan kata-kata

iya, biasanya kau begitu pandai

tapi tak apalah
aku tahu
mungkin kau sedang lelah, ya?
lelah karena bahkan akupun sempat tak memahamimu
memaksamu ingkar
memaksamu kuat

maafkan aku ya..

aku tahu sekarang
istirahatlah dulu
berhentilah dulu, sejenak

aku tahu kau baik-baik saja
karena, biasanya, tabiatmu berbeda ketika mengalaminya

kau lebih susah menulis ketika sedang bahagia, kan?

maka di sanalah kamu sekarang.

Senin, 02 September 2013

trave(love)ing

0

Hai-haiii lama nggak posting nih ya.. Hehehe.. Belakangan ini sedang sibuk banyak hal, tapi no problemo, hari ini aku akhirnya mengobati kerinduan untuk posting di akun ini. Postingan kali ini berupa review singkat mengenai novel yang baru selesai aku baca beberapa waktu yang lalu, judulnya TRAVE(LOVE)ING...

Buku ini mengisahkan perjalanan 4 orang teman yang dilandasi peristiwa patah hati. 4 orang dengan destinasi yang berbeda dengan 1 motivasi yang sama, yaitu move on!

Dendi Riandi, melakukan perjalanan ke Bangkok demi mengejar seseorang, dan mengalami serangkaian kejadian menarik dengan supir tuk-tuk.

Grahita Primasari liburan ke Bali bersama teman-temannya, mencoba menghabiskan waktu untuk melupakan.

Mia Haryono mendapatkan kesempatan emas pergi pelatihan ke Dubai, pergi jauh dengan tujuan utama menciptakan jarak untuk bisa lepas.

Roy Saputra berpetualang ke negeri tetangga bersama Arya, temannya.

Keempatnya sedang dalam suasana hati yang sama, patah hati. Banyak hikmah yang bisa diambil dari novel ini, terutama buat kalian yang sedang dalam usaha move-on.

Buat aku sendiri, ada something yang sangat menggelitik dalam novel ini..

Ada satu kesamaan, yaitu melakukan perjalanan sebagai pelampiasan gara-gara patah hati. Hahahaha, curcol ceritanya ini :p . Masih inget waktu dulu patah hati, untuk pertama kalinya jalan-jalan sendirian di mall. Dan yaa, lumayan efektif mengobati kegalauan hati, sih. 

Tapi, yang jelas, setiap orang punya caranya masing-masing untuk move-on. Misalnya, ada yang harus menemukan orang baru untuk dicintai, harus pergi jauh dari rutinitas, atau yang lain. Pada dasarnya, melupakan itu bukanlah solusi. Biasanya, semakin kita mencoba melupakan, malah semakin kuat kita mengingat.

Setiap orang yang pernah ada di hati kita, pada dasarnya akan tetap ada di sana. Hanya saja, mungkin mereka akan pindah ke ruangan yang berbeda.

Solusinya adalah melepaskan, mengikhlaskan..

Sebab, bagaimana kamu akan menangkap anugerah Tuhan yang lain, jika kamu belum mengosongkan tanganmu? :)