Selasa, 30 Oktober 2012

lelaki kirimanmu

0

Aku membenarkan letak dudukku. Di sini, di taman ini, aku sedang menikmati senja. Kali ini buku sktsaku ketinggalan, jadi aku tidak akan melukis senja seperti biasanya. Biasanya aku akan melukis hamparan awan-awan yang membentuk berbagai formasi di angkasa. atau sekedar mengabadikan warna merah senja yang selalu berhasil membuatku merasa damai. Tapi yang ada di tasku cuma notes kecil.

Aku membuka notesku. Entahlah, mungkin iya, aku masih belum bisa melupakannya. Serta merta jemariku menulis lagi tentangnya. Tentang kecuekannya, tentang kesukaannya pada musik rock, tentang rambut acak-acakannya, tentang jaket jinsnya yang dicuci dua bulan sekali, semua tentangnya. Sampai tak kusadari, air mataku menetes perlahan.

"Hei, kamu ngapain?", suara yang kukenal, telapak tangannya membelai pundakku lembut. Cepat kuhapus air mataku.

"Eh, Alfan, udah lama?", tanyaku.

"Nggak, barusan aja nyampe. Mendung nih, sayang, pulang aja, yuk..", ajak Alfan. Aku mendongak, melihat langit, ternyata benar, warnanya kelabu. Aku segera menutup notes kecilku, kemudian berjalan di sebelah Alfan.

Alfan menggamit tanganku, dan tersenyum. Demi Tuhan, ini senyum paling damai yang pernah kulihat. Senyuman ini yang pertama kali membuat tangisanku berhenti, di pusara kala itu.

Reno, aku harap kamu yang mengirimkan Alfan untuk menggantikan kamu di sisiku. Alfan, yang membuat hariku kembali berwarna, setelah kamu tiada..

dan kau hadir menrubah segalanya
menjadi lebih indah

perahu kertas :)

4

Nindi memutar-mutar gantungan handphone-nya. Gantungan kecil, talinya berwarna biru, sementara di ujungnya, digantungkan cincin manik-manik nerukuran kecil. Sekarang jam 12.15, seperti siang-siang yang kemarin, Nindi menghabiskan waktu di kantin. Alena dan Rika, dua sahabatnya, belum juga datang. Jadi Nindi hanya duduk diam, pandangannya menyapu seluruh kantin. Lalu, deg! Nindi menangkap sosok lelaki itu lagi. Belakangan ini, Nindi selalu bertemu dengannya, setiap jam makan siang. Nindi sama sekali tidak mengenal lelaki itu, tapi entah kenapa, ada sesuatu yang membuatnya begitu menarik di mata Nindi.

Lelaki itu duduk di hadapan Nindi, selisih 4 meja. Nindi berpura-pura mempermainkan gantungan handphone-nya, tapi pandangannya tidak lepas dari lelaki itu. Sebenarnya, lelaki yang diamatinya itu biasa saja. Potongan pendek dibelah pinggir, kemeja kotak-kotak oranye, dan celana jins. Sekilas tidak ada yang spesial, Nindi juga tahu itu. Yang Nindi tidak tahu, kenapa setiap melihat dia, Nindi merasa telah demikian dekat mengenalnya.

"Hayo ngapain?!", Alena mengagetkan Nindi.
"Ciye, Nindi, handphone-nya baru. Lihat dooong..", Rika serta merta menyambar handphone di tangan Nindi yang masih melongo kaget.
"Aaah, handphone baru tapi tetep aja, gantungannya yang itu, cincin manik nggak jelas.. Kamu masih ngarep ya?", ledek Alena sambil mulai menulis pesanan di kertas yang ada di meja.
"Biarin ah, Lenaa, gantungan gantungan aku juga, kok kamu yang ribet.. Udah ah, lagi nggak pengen ngomongin itu..", sahut Nindi. "Eh, kalian, ada yang tau nggak, cowok itu?", sambungnya sambil berbisik. Kedua sahabatnya pun langsung mengikuti pandangan Nindi. Sejenak kemudian, keduanya kompak menggeleng.
"Kenapa emangnya?", tanya Rika penasaran.
"Nggak papa sih, aku cuma ngerasa nggak asing aja sama dia, padahal kenal aja nggak. Hahaha, udah deh, nggak penting..", Nindi menertawakan dirinya sendiri.

*          *          *

Pikiran Nindi masih melayang ke kejadian di kantin tadi. Bukan, bukan kejadiannya, tapi lelaki itu. Lelaki yang belakangan ini selalu ditemuinya di jam makan siang. Lama kelamaan, Nindi penasaran juga, siapa sebenarnya orang itu.

"Astaga!", Nindi mengerem motornya. Untunglah, melamun sebentar tidak menjadikan refleknya kehilangan sensitivitas, tuas rem segera ditariknya sebelum menabrak mobil di depannya yang mengerem mendadak. Nindi mengelus dadanya. Baru saja ia akan tancap gas, dilihatnya seorang anak perempuan kecil yang terduduk di trotoar pinggir jalan. Dia memakai seragam, tentulah ada sesuatu yang membuatnya harus duduk sendirian seperti itu. Nindi pun akhirnya menghampiri anak kecil itu.

"Adek kenapa duduk sendirian di sini?", tanya Nindi sambil membuka helmnya.
"Aku kesasar, kak..", anak kecil itu nyaris terisak.
"Hah? Yaudah yuk, kakak anterin pulang. Rumah kamu di mana??"
"Mmm, perumahan Pemuda V, tapi nomernya Ica lupa.."
"Oooh, perumahan Pemuda, kakak tau daerah situ, ntar kita cari sama-sama ya rumah kamu. Yuk, naik, kakak bonceng.."

Nindi membatin, jauh juga anak kecil ini sekolah, padahal masih SD, tapi sudah sekolah jauh dari rumah. Nindi mengingat-ingat masa kecilnya yang indah di Bandung. Sampai Sekolah Dasar, sekolahnya selalu dekat rumah. Hal itu juga yang membuatnya selalu pulang terlambat, karena suka keluyuran dulu naik sepeda bersama teman-temannya.

"Kak, kakak namanya siapa?", tanya Ica  sambil melongokkan kepalanya ke bahu kanan Nindi. Dari spion, Nindi bisa melihat pipi gembul Ica yang putih menggemaskan.

"Wah, kakak belum kenalan ya? Hehe, nama kakak Nindi, kamu Ica kan? tadi kamu udah sebut nama kamu..", jawab Nindi.
"Makasi ya kak, uda mau nganterin Ica."
"Sama-sama, lagian, kamu kok bisa kesasar? Nggak dijemput?"
"Harusnya dijemput sama kakaknya Ica, tapi dia katanya ada kuliah sampai jam 2 siang, Ica kan capek nunggunya, lama.."
"Terus kamu mau pulang sendiri gitu?"
"Iya kak, Ica pikir Ica udah hafal jalannya, eh ternyata Ica lupa, hehehe"
"Dasar, lain kali jangan gitu ya, mending naik taxi aja, atau tunggu sampai dijemput sama kakakmu. Bahaya, kamu kan masih kecil. Kamu kelas berapa sih?", tanya Nindi.
"Kelas 1 kak.."
"Tuuh kan, jangan pulang sendiri deh, mending tunggu di sekolah aja sampe dijemput, ya?"
"Iya, kak!"

Sekitar setengah jam perjalanan, akhirnya sampai juga Nindi di perumahan Pemuda V. Sedikit lagi, sabar ya, perut, batin Nindi sambil mengelus-elus perutnya. Tadi siang dia cuma minum segelas cappuchino gara-gara terlalu sibuk mengamati "lelaki makan siang"-nya itu.

"Nah, kalo uda di sini, Ica hafal, kak! Nanti, depan itu belok kiri, terus belok kanan, tinggal nyari rumah yang pagarnya warna biru, cuma rumahku!", kata Ica lantang, dia tampak ceria sekali.

Benar saja, menemukan rumah Ica tidaklah susah, satu blok cuma rumahnya yang berpagar biru mengkilat. Nindi sebenarnya memutuskan untuk segera pulang, tapi Ica menahannya. Anak kecil itu menggamit tangan Nindi dan mengajaknya masuk ke ruang tamu.

"Kakak tunggu di sini bentar, ya. Ica mau panggil kakak Ica dulu..", lalu Ica meninggalkan Nindi sendirian. Nindi duduk di sofa berwarna merah maroon, disandarkannya kepalanya. Hari ini panas sekali, dan dia belum makan siang. Sambil menyandarkan kepala, Nindi menelusuri setiap sudut ruang tamu dengan kedua matanya. Tiba-tiba, ia merasa tertarik dengan bingkai foto berukuran tanggung yang ada di dinding. Isinya ada banyak sekali foto. Merasa sangat tertarik, Nindi setengah malas mengangkat badannya, melangkahkan kaki mendekati bingkai foto itu,  diamatinya satu per satu. Sampai pada satu foto, alisnya nampak bertaut, seperti sedang berpikir, mengingat-ingat sesuatu. Belum habis rasa penasarannya, Ica keluar sambil menggandeng kakaknya.

"Kak Ical, ini kak Nindi, yang udah nganterin Ica pulang..", kata Ica, kuncir duanya belum dilepas, menambah kelucuan gadis kecil itu.

"Oh, maaf ya, ngerepotin, makasih udah nganterin Ica pulang..", kata kakak Ica. Nindi setengah melamun memandang lelaki yang ada di hadapannya. Lelaki yang ada di seberang mejanya tadi siang.

"Oh, iya, sama-sama. Aku Nindi..", katanya sambil menjabat tangan kakak Ica.

"Aku Faisal, bentar ya, aku ambilin minum, kamu pasti kehausan..", Faisal berlalu meninggalkan Nindi yang masih terbengong-bengong. Kebetulan macam apa ini? pikirnya. Tak lama kemudian, Faisal kembali dengan segelas jus jeruk. Nindi tidak bisa menyembunyikan rasa hausnya, diminumnya jus itu sampai tinggal separuh. Faisal tertawa kecil melihat tingkah Nindi.

"Eh, maaf ya, hehe, aku haus banget..", kata Nindi malu-malu.

"Nggakpapa, kalo habis aku ambilin lagi. Kamu naik motor ke sini?"

"Iya. Mm, oh iya, aku boleh tanya sesuatu nggak?"

"Boleh, tanya apa emangnya?"

"Itu, foto itu, itu foto kamu waktu kecil?", tanya Nindi sambil matanya mengarah ke bingkai foto di pojok ruang tamu.

"Foto yang mana? Kan di bingkai foto itu ada banyak foto..", jawab Faisal. Nindi berdiri dari tempat duduknya dan menunjuk foto yang sedari tadi membuatnya penasaran. Faisal mengikuti Nindi dari belakang, dilihatnya foto yang ditunjuk Nindi.

"Oh yang itu, iya, itu foto kecilan aku, waktu masih TK, kenapa memangnya?"

"Dua perempuan yang di belakang kamu itu, guru kamu ya? Namanya Bu Mira sama Bu Anis, ya?"

"Lhoh, Nin, kok kamu bisa tau?", Faisal tampak kaget dan memandangi Nindi.

"Kamu, Faisal Andriawan? Dulu TK nya di TK Pembina 1, di Bandung?", tembak Nindi.

"Iyaaa.. Tunggu tunggu.. Mmm..", Faisal menggumam lirih sambil mengamati wajah Nindi lekat-lekat. Dipandangi seperti itu, Nindi jadi salah tingkah. Dia berdoa dalam hati, semoga wajahnya tidak berubah sewarna tomat.

"Jangan bilang kamu Nindi yang tukang nangis dulu itu??"

"Hahahaha, sial, kenapa kamu inget di bagian yang itu, sih?", Nindi tergelak, begitu juga Faisal. Tak butuh waktu yang lama, keduanya segera terlibat pembicaraan yang menyenangkan, mengenang masa kecil mereka.

*          *          *

Nindi masih tidak habis pikir dengan semua kejadian hari ini. Kebetulan yang menyenangkan, yang sama sekali tidak terduga. Di atas motor, Nindi tersenyum-senyum sendiri. Keyakinannya tidak pernah salah, itu yang selalu dia pegang.

Matahari sore perlahan mulai menghilang ke peraduannya. Menyisakan warna senja yang memerah indah. Sementara itu, fragmen kenangan bermain-main di pelupuk mata Nindi.

Seorang gadis kecil sedang menangis karena cincin mainannya direbut oleh temannya yang nakal. Kemudian anak laki-laki kecil itu datang, membawakan cincin manik-manik kecil. Seketika gadis kecil itu tersenyum, lupa akan tangisnya. Tapi, gadis kecil itu tidak pernah lupa, lelaki yang memberikan cincin manik-manik itu, lelaki pertama yang membuat tangisnnya berhenti...


ku bahagia kau telah terlahir di dunia
dan kau ada di antara milyaran manusia
dan ku bisa dengan radarku menemukanmu..

Sabtu, 27 Oktober 2012

when you're gone

0

Aku membawa baki kecil berisi secangkir teh hangat dan beberapa biskuit ke balkon kamar. Ini sore, sebentar lagi matahari turun dan pulang ke peraduannya. Pemandangan itu yang sedang sangat ingin aku lihat. Beberapa hal tidak berjalan baik hari ini, aku gagal masuk tim paduan suara, tugas kelompokku tidak selesai tepat waktu. Suaraku memang sedang sedikit serak sejak beberapa hari yang lalu, jadi seharusnya aku tidak begitu bodoh untuk tetap ikut audisi. Tapi nyatanya aku tetap ikut, audisi itu tepat di malam minggu, jadi apa lagi yang bisa kulakukan untuk membunuh waktu selain ikut audisi itu?

Senja di balkon ini memang senja paling nyaman dan indah. Sekarang aku bisa menyaksikan lagit sedang kemerahan, dengan beberapa ekor burung yang beterbangan kembali ke sarangnya. Angin berhembus sepoi-sepoi. Seketika saja aku merasa sendiri, amat sendiri. Biasanya di jam-jam ini, handphone-ku akan berbunyi, sekedar mengingatkan aku untuk keluar memandangi senja, biar aku merasa lebih baik. Tapi aku tahu hal itu tak akan terjadi lagi, jadi aku matikan handphone-ku sejak tadi.

Aku menyeruput teh hangatku pelan-pelan. Tiba-tiba aku mendelik, dan reflek menahan mulutku supaya tetap terkatup. Sial, aku rupanya salah memasukkan garam ke dalam tehku. Aku menutup mata dan memaksa menelan teh yang ada dalam mulutku. Cepat-cepat kumasukkan biskuit manis ke mulutku. Beberapa kunyahan, lalu aku sadar biskuitku tinggal satu. Hampir saja aku berdiri untuk mengambil biskuit lagi, tapi aku segera teringat. Tidak ada lagi yang akan menghabiskan biskuit yang tak habis kumakan.

Aku memang sedang tidak baik-baik saja, Rian. Aku masih saja berharap saat ini kamu ada di sampingku, melihat senja kesukaan kita, bersama-sama.

I've never felt this way before
Everything that I do reminds me of you

Melepaskan

0

Reva memandangi lelaki di hadapannya. Pandangan matanya datar, tanpa ekspresi. Tepatnya ia sudah lelah dan bosan. Lelaki ini, seperti tidak pernah punya rasa marah, sakit hati, dan sejenisnya. Reva tidak habis pikir, cara apa lagi yang harus ia gunakan, supaya lelaki ini sadar, kalau Reva tidak pernah sedikitpun menaruh hati padanya.

Bukan sekali dua kali lelaki itu menyambangi kampus Reva, mencari-cari Reva di antara ratusan mahasiswi yang ada. Dan dengan mudah, Reva pasti bisa ditemukannya. Bagaimana tidak, lelaki itu sepertinya punya radar khusus yang bisa menangkap keberadaan Reva. Sebanyak itu pula Reva harus menahan gejolak hatinya untuk tidak memarahi lelaki itu. Lelaki yang mengumbar perasaan cintanya di jejaring sosial, menyebut nama Reva, sampai-sampai teman-teman kampusnya tahu.

Tidak kurang pula pagar betis yang diberikan sahabat-sahabat Reva untuk menghalau lelaki itu. Entah sebatas membicarakannya, menyindir, atau pernah sekali, Heksa, sahabat Reva yang paling cablak, terang-terangan mengatakan bahwa Reva sudah punya pacar. Saat itu, untuk pertama kalinya, Reva dan sahabat-sahabatnya menangkap ada rasa kaget dan kecewa di raut lelaki pemuja Reva itu. Mungkin, hari itu akan hari terakhir untuknya menyimpan cinta untuk Reva, tapi ternyata itu salah besar. Karena, sekarang, lelaki itu sedang berdiri di hadapan Reva, membawa sebuket bunga sebagai hadiah ulang tahun Reva.

"Bawa pulang aja bunganya", kata Reva datar.
"Tapi, ini aku bawa buat kamu, Va..", katanya memelas.
"Aku nggak minta"
"Tapi aku mau ngasih"
"Aku nggak mau dikasih"
"Va, sampai kapan kamu mau ngerti kalo aku cinta banget sama kamu?"
"Diki, sampai kapan kamu mau ngerti kalo aku gak cinta sama kamu?!!", setengah kesal dijawabnya pertanyaan lelaki pemujanya itu.

"Reva, aku bakalan tetep nunggu kamu.."

"Denger ya, aku nggak pernah minta kamu tunggu. Dan sepertinya kamu perlu belajar lebih banyak, karena perasaan orang nggak akan bisa dipaksa, seperti aku yang nggak bisa suka sama kamu, sekuat apapun kamu maksa aku. Cinta itu ada beberapa sisi, kamu belum belajar salah satu sisinya. Melepaskan."

Reva berlalu meninggalkan Diki yang cuma bisa menunduk. Gagal lagi, entah yang ke berapa kali. Diki memandangi punggung Reva yang mulai menghilang di lorong kampus. Disimpannya kembali bunga untuk Reva.

"Mungkin lain kali", gumamnya sambil tersenyum dan mengamati foto Reva di dompetnya.

Lihat aku di sini
Kau lukai
Hati dan perasaan ini
Tapi entah mengapa
Aku bisa memberikan maaf padamu

Minggu, 21 Oktober 2012

terima kasih karena kau mencintaiku :)

0

"Fay, besok malem ini keluar yuk, aku udah beli tiket konsernya band favorit kita nih..", kata Dito bersemangat, berharap wanita di ujung telpon sana menyambut antusiasmenya itu dengan positif.

"Ha? Besok malem ya? Bentar-bentar, mmmm", Fayza terdengar menggumam. Sampai sekitar 5 detik lamanya, dia menjawab juga ajakan Dito.

"Maaf Dit, aku besok ternyata harus lembur, nggak tau sampai jam berapa..", kata Fayza pelan.

"Yaelah, sehari aja, kamu kan freelance juga toh di sana, masa ijin nggak lembur sehari aja nggak bisa?"

"Bukan masalah freelance atau nggak, kerjaanku emang numpuk, dan deadline-nya lusa, jadi besok udah harus selesai semua editannya. Kamu kan tau, beberapa hari ini aku ninggal kerjaan gara-gara diminta tolong nutorin adek-adek angkatan yang seminggu lagi UTS."

"Ini udah yang ke berapa kalinya coba, kamu selalu nggak bisa pas aku ajakin keluar. Kamu jangan sibuk-sibuk lah, mana waktu buat aku?", Dito mulai kesal, nada bicaranya seperti diburu emosi.

"Yaudah lah, kamu pergi aja sama Rumi, biasanya kalo aku nggak bisa kan kamu pergi sama Rumi.", sahut Fayza cuek.

"Lhoh?! Sebenernya yang pacarku tuh kamu atau Rumi, sih?!"

tut.. tut.. tut..

Dito memutuskan sambungan telepon. Sementara Fayza hanya bisa geleng-geleng, seolah sudah terbiasa. Gadis manis berlesung pipit itu menyeruput segelas kopi yang tinggal separuh, kemudian kembali berkencan dengan leptopnya.

*          *          *

Sabtu, 20 Oktober 2012

sebentar saja :)

0

sebentar saja
aku ingin kamu duduk di sampingku
sore ini, di tempat ini
tempat favoritku, di bawah rindang dedaunan
mungkin dengan secangkir teh
dan sebuah gitar yang dawainya akan membuat indah suara kita

sebentar saja
aku ingin masuk ke dalam ruang hatimu
membuka tirai di tiap sudut-sudutnya
sambil berdebar sendiri
mencoba menenangkan hatiku yang sedang mencari namaku di sana

sebentar saja
aku ingin kamu meneliti seharimu ini
apa saja yang kamu alami
apa saja yang kamu rasakan
ceritakan padaku
maka aku akan sabar, menunggu cerita tentang rindumu untukku

sebentar saja
aku ingin menelusuri jejak-jejak dalam matamu
menggeledah bayang yang pernah disimpan retinamu
barangkali aku akan menemukan bayanganku

sebentar saja
aku ingin berada di pantai ini denganmu
duduk di atas pasir halus
membiarkan kaki-kaki kita disapa riak-riak air
mungkin kita saling diam
tak masalah, sunset nya indah
langit oranye itu terasa hangat
oh, bukan langitnya, ternyata karena kamu

Kamis, 18 Oktober 2012

Alice Elize

0

Aku merasa asing memasuki tempat ini. Bukan sok suci, hanya saja, rasanya sudah lama sekali, sejak malam itu, aku sudah tidak pernah ke sini lagi. Mataku juga agak tidak terbiasa lagi dengan remang dan kelap-kelip semacam ini, pun musik yang berdentum kencang. Seperti ikut memukul-mukul jantungku rasanya. Semua perpaduan itu membuatku semakin tidak konsen untuk mencari sosok Alice.

Mungkin ada sekitar 15 menit aku mencari-cari, sampai akhirnya aku berhasil menemukan wanita itu. Tidak banyak berubah, batinku. Bahkan tidak berubah sama sekali sepertinya. Aku menghampiri mejanya, lalu segera saja dia menyambutku. Sambutan khas untukku, sejak 3 tahun yang lalu. Alice membentangkan kedua tangannya lebar-lebar dan memelukku erat. Ah tidak, sangat erat, aku sampai bisa merasakan seolah tubuhku mau ambruk ke belakang. Aku berusaha melepaskan pelukannya, dan aku bisa menangkap dengan jelas sorot mata keheranan yang dia berikan untukku. Biasanya, aku memang selalu memeluknya balik, mengelus rambutnya, dan mencium kedua pipinya. Tapi, itu sudah lama, sepertinya. 

Aku lalu duduk di depan kursinya. Aku mengamati setiap inci wajah Alice. Dia masih saja cantik, terlalu cantik untuk riasan-riasan yang kadang terlalu tebal itu. Matanya yang cokelat tua begitu serasi dengan hidung mancungnya. Lalu rambut ikal panjangnya membingkai sempurna wajah putih tirus dengan pipi yang merona. Melihat wajahnya saja sudah melahirkan kekaguman.

Kau bagaikan iblis, iblisku yg manis.

Jumat, 12 Oktober 2012

kamu (tak) harus tau

0

Aku menatap wajahnya lekat-lekat. Matanya, mata bulat yang selalu suka kupandangi dari kejauhan. Biasanya akan ada binar-binar yang cemerlang, yang pada akhirnya mampu kutangkap. Segera saja binar itu bisa membuat hatiku bahagia seharian. Bibirnya, bibir mungil yang nyaris selalu menyunggingkan senyuman. Aku selalu suka melihatnya tertawa, sampai kedua matanya menyipit. Dia begitu ramah dan menyenangkan.

Sore ini kuberanikan diri menemuinya. Jadi, di taman ini, aku sudah merencanakan semuanya. Aldi, sahabat baikku, yang juga temannya, banyak membantuku untuk membuat pertemuan ini. Sudah terlalu lama, aku menyimpan semuanya sendirian.  Menyimpan degup-degup yang kunikmati sendirian saja. Aku begitu kecil, dan selalu saja merasa tak pantas untuknya.

Kami bertatapan lama, mulutku serasa terkunci rapat. Kata-kata yang sedari tadi sudah kususun, seperti hilang seketika. Aku hanya diam, dan menatapnya.

“Aku suka kamu, Filia..”, akhirnya hanya itu yang bisa kuucapkan.

Aku bernapas lega, dan kuberikan kotak kecil padanya. Isinya, foto-foto Filia yang kupotret sejak dulu. Aku merasa berdosa terus menyimpannya, sementara dia tak tahu. Jantungku seperti berhenti berdetak sejenak ketika tangannya menyentuh tanganku sedikit dengan perantara kotak kecil berwarna biru.

Aku melangkah pergi. Meninggalkan Filia yang bengong tak mengerti. Biarlah, dia hanya perlu tahu aku suka sekali padanya. Tanpa harus tahu mengapa, sejak kapan, atau sampai kapan. Biarlah itu menjadi urusanku saja.


Dan kamu hanya
Perlu terima
Dan tak harus memahami
Dan tak harus berfikir
Hanya perlu mengerti
Aku bernafas untukmu

Minggu, 07 Oktober 2012

dengar bisikku :)

0

Sore merayap pelan, tapi pasti. Panas yang sedari tadi menyengat kulit, kini berganti dengan keteduhan. Sementara dua anak manusia sedang duduk bersebelahan. Tidak terdengar satu kata pun yang meluncur dari keduanya. Laki-laki dan perempuan itu hanya melihat ke arah laut, yang sebentar lagi akan ikut berwarna oranye, sewarna langit.

"Kamu nggak papa? Dari tadi bersin terus..", tanya lelaki itu.

"Nggak papa, Alan, aku nggak papa. Tapi entah kalau sepulang dari sini nanti..", jawab si perempuan sambil tetap saja menerawang jauh, seakan mencari-cari ujung lautan. Beberapa detik kemudian, dia tampak merapatkan jaketnya, berjaga-jaga bila hawa menjadi tak bersahabat.

"Ini bukan yang ke dua atau ke tiga kali kan, kita bertengkar.."

"Iya, terus?"

"Kamu nggak capek? Jujur aja aku capek, Lis..", Alan langsung menuju topik pembicaraan. Topik yang membawa mereka harus berada di tempat ini. Pantai tempat mereka saling menyatakan cinta, tempat mereka bernapas lega setelah mengetahui perasaan masing-masing.

"Kamu nyalahin aku?", tanya Elisa sambil menghela nafas panjang. Dihirupnya aroma laut, berharap bisa memberinya sedikit ketenangan.

"Kan, mulai lagi.."

"Apanya, Lan? Nada bicara kamu itu seolah aku yang selalu bikin kita bertengkar. Padahal aku juga udah jelasin kan penyebabnya apa..", bantah Elisa.

"Oke, yang kemarin ini, aku sengaja nggak bilang sama kamu kalo aku habis jalan sama Fara. Apa bedanya, kalo aku bilang, pasti kamu juga bakal marah kan? Padahal kamu juga tahu aku nggak pernah ngapa-ngapain sama dia, meskipun dulu dia pernah suka sama aku.."

"Setidaknya, kalo kamu bilang, aku akan marah sama diriku sendiri yang selalu cemburu, selalu nggak bisa nerima deketnya kamu sama dia. Setidaknya, aku nggak bakal marah karena kamu bohong sama aku.."

Lalu keduanya terdiam. Tidak ada yang tahu apa yang sedang berkecamuk di kepala dan hati masing-masing. Elisa dan Alan, dua manusia dengan karakter yang bertolak belakang. Alan yang cuek dan pelupa, sementara Elisa, perasaannya begitu halus dan sensitif. Tidak jelas apa yang bisa membuat mereka saling jatuh cinta dan bertahan sampai detik ini. Hari ini, seharusnya mereka sedang merayakan satu tahun jadian. Seharusnya, saat ini suasana hati mereka tidak dalam kondisi yang kacau. Perbedaan yang mencolok, membuat mereka seringkali bertengkar. Walaupun pertengkaran itu tidak pernah lebih dari satu hari. 

"Jadi mau kamu apa?", tanya Elisa.

Alan tidak menjawab. Untuk yang kesekian kalinya, kesunyian menyergap mereka berdua. Angin berhembus semakin liar, bukan hanya menyejukkan, tapi seperti ingin membekukan hati mereka. 

"Aku sayang sama kamu"

Kalimat itu terucap bersamaan, tanpa dikomando, bahkan mereka tidak saling melihat. Sampai beberapa detik lamanya, Alan dan Elisa sama-sama tertegun. Kemudian mereka saling memandang. Elisa tersenyum sambil berkaca-kaca, sementara Alan menatapnya lama. Senyuman ini yang selalu dicarinya, senyuman ini yang selalu memaklumi hal-hal kecil yang seringkali ia lupakan. Senyuman ini, yang membuatnya bertahan.

Segerombolan camar terbang di langit yang kemerahan, mereka pulang ke sarangnya. Alan dan Elisa juga pulang, saling pulang ke hati satu sama lain.

Dengar bisikanku oh dinda
Coba lapangkan dada kita
Trima aku apa adanya
Jujur hati yang kita jaga

Terdiam

5

"Ssst, dia lagi ngeliat kamu tuh, Nda..", Lina menyikut-nyikut tanganku sambil berbisik. Sementara aku tetap saja hanya berani menunduk.

"Heh, jangan berisik dong, Lin. Ntar dia tau, kan aku malu..", kataku mulai salting.

"Ciee ciee, aku panggilin orangnya ya?", Lina mulai usil. Kucubit lengannya yang gembul, biar tau rasa. Aku terkikik melihatnya meringis kesakitan.

Aku dan Lina sedang asyik ngobrol ketika kami berdua menjaga stand pendaftaran seminar nasional yang diadakan himpunan kami dua minggu lagi. Suasana corner sedang sangat ramai saat itu. Tapi, aku tak mengerti bagaimana bisa kedua mataku ini begitu jeli untuk menangkap sosoknya. Sosok laki-laki yang mencuri perhatianku sejak beberapa bulan yang lalu.

Semuanya bermula sejak hari itu, di mana mata kami bertemu secara tak sengaja. Aku sering menjumpainya di lobi kampus, tempatnya biasa bercengkrama dengan teman-temannya. Aku tak tahu namanya, tapi sosoknya, entah kenapa, mencuri perhatianku. Sejak saat itu, aku semakin sering mengamatinya. Sampai suatu hari lelaki itu memakai jaket angkatannya, ah aku jadi tahu jurusannya.  Mulailah aku mencari-cari informasi tentangnya. Dan akhirnya, akun facebook-nya kudapatkan.

Hari demi hari aku tetap saja merasa penasaran. Semakin lama, aku semakin sering dan suka mengamatinya. Melihatnya saja bisa membuatku salah tingkah. Begitu memalukan, aku tahu itu. Tapi, beginilah pembawaanku.

Sekarang aku berdua dengan Lina di sini, sementara Fahri, lelaki yang berbulan-bulan ini kuamati dari jauh, duduk sendiri di seberang kami. Aku jadi tak tenang. Sepertinya posisi dudukku selalu salah. Lalu kurasakan jantungku berdebar semakin kencang. Seperti ada rasa hangat yang menjalari tiap urat-urat tubuhku. Sejalan dengan sosoknya yang berjalan mendekat. Aku mencengkeram lengan Lina kuat-kuat. Mataku tidak berkedip.

"Eee, mau daftar seminar..", Fahri berdiri tepat di depanku. Mataku dan matanya bertemu secara sengaja.

Oh Tuhan, aku mau pingsan !

Mataku terus tertuju padamu
Ingin kusapa dirimu
Namun kumasih malu tuk hampiri dirimu
Ku terdiam aku menunggu
Aku terpaku

Jumat, 05 Oktober 2012

ini cinta

2

Aku duduk di depan Merlin. Perempuan ini begitu menakjubkan, pikirku. Handphone-nya tampak berdering terus menerus selama 15 menit kami berada di kafe ini. Kafe tempat kami biasa menghabiskan waktu bersama. Aku mengenal Merlin sejak semester 1. Keramahannya, membuatku selalu betah untuk berdekatan dengannya. Tahun ini tidak terasa, semester terakhir kami di tempat kuliah yang sama. Aku mengambil konsentrasi manajemen keuangan, sementara dia lebih memilih sumber daya manusia untuk didalami. Tentu saja, pilihan yang tepat. Merlin begitu mudah untuk menyeruak masuk ke kerumunan manusia, dan kemudian dengan penuh analisis mampu memahaminya.

"Hhh, akhirnya berhenti bunyi juga..", Merlin menghela napas sambil memejamkan mata sebentar. Aku tahu dia kelelahan. Tempat magangnya begitu banyak memberi pekerjaan.

"Udah, cepet dimakan tuh eskrimnya, leleh ntar..", saranku.

"Hehe, iyaa..", jawabnya. Segera saja ia begitu sibuk menyendoki eskrim mocca favoritnya. Sementara aku hanya tersenyum, dia seperti tidak makan selama beberapa hari, begitu lahap, sekalipun itu cuma eskrim. Aku begitu mengenalnya, eskrim tidak akan mampu membuatnya kenyang.

"Anyway, gimana skripsimu?", Merlin menanyaiku sambil mendelik lucu. Mata bulatnya itu, begitu jernih.

"Dosen pembimbingku lagi ke Perancis, nganggur dulu. Kamu sendiri?"

"Ini lagi ngerjain bab 3. Matilah aku kena statistik-statistik gitu, pas kuliah dulu sering ku bolosin..", kemudian Merlin pun tergelak. Aku juga, bagaimana aku tak bisa ikut tertawa melihatnya. Aku begitu suka melihatnya tertawa.

Mungkin ada sekitar satu setengah jam kami berbincang-bincang di sana. Aku sangat merindukan saat-saat seperti ini. Berada di dekatnya, membuatku damai. Mendengar lelucon-leluconnya, memperhatikan setiap detail cerita yang dia sampaikan. Sungguh, aku tidak pernah ingin kehilangan ini semua.

Sampai seorang lelaki menghampiri tempat duduk kami.

"Oiya, Edo,, kenalin, ini Farhan, pacar aku, hehe.. Lama kita ga ketemu, jadi baru sempet ngenalin sekarang deh..", kata Merlin ceria. Aku begitu suka melihat binar matanya yang seperti ini. Walaupun bukan karena aku.

Adakah diriku
Oh singgah di hatimu
Dan bilakah kau tahu
Kaulah yang ada di hatiku