Selasa, 30 Oktober 2012

perahu kertas :)

4

Nindi memutar-mutar gantungan handphone-nya. Gantungan kecil, talinya berwarna biru, sementara di ujungnya, digantungkan cincin manik-manik nerukuran kecil. Sekarang jam 12.15, seperti siang-siang yang kemarin, Nindi menghabiskan waktu di kantin. Alena dan Rika, dua sahabatnya, belum juga datang. Jadi Nindi hanya duduk diam, pandangannya menyapu seluruh kantin. Lalu, deg! Nindi menangkap sosok lelaki itu lagi. Belakangan ini, Nindi selalu bertemu dengannya, setiap jam makan siang. Nindi sama sekali tidak mengenal lelaki itu, tapi entah kenapa, ada sesuatu yang membuatnya begitu menarik di mata Nindi.

Lelaki itu duduk di hadapan Nindi, selisih 4 meja. Nindi berpura-pura mempermainkan gantungan handphone-nya, tapi pandangannya tidak lepas dari lelaki itu. Sebenarnya, lelaki yang diamatinya itu biasa saja. Potongan pendek dibelah pinggir, kemeja kotak-kotak oranye, dan celana jins. Sekilas tidak ada yang spesial, Nindi juga tahu itu. Yang Nindi tidak tahu, kenapa setiap melihat dia, Nindi merasa telah demikian dekat mengenalnya.

"Hayo ngapain?!", Alena mengagetkan Nindi.
"Ciye, Nindi, handphone-nya baru. Lihat dooong..", Rika serta merta menyambar handphone di tangan Nindi yang masih melongo kaget.
"Aaah, handphone baru tapi tetep aja, gantungannya yang itu, cincin manik nggak jelas.. Kamu masih ngarep ya?", ledek Alena sambil mulai menulis pesanan di kertas yang ada di meja.
"Biarin ah, Lenaa, gantungan gantungan aku juga, kok kamu yang ribet.. Udah ah, lagi nggak pengen ngomongin itu..", sahut Nindi. "Eh, kalian, ada yang tau nggak, cowok itu?", sambungnya sambil berbisik. Kedua sahabatnya pun langsung mengikuti pandangan Nindi. Sejenak kemudian, keduanya kompak menggeleng.
"Kenapa emangnya?", tanya Rika penasaran.
"Nggak papa sih, aku cuma ngerasa nggak asing aja sama dia, padahal kenal aja nggak. Hahaha, udah deh, nggak penting..", Nindi menertawakan dirinya sendiri.

*          *          *

Pikiran Nindi masih melayang ke kejadian di kantin tadi. Bukan, bukan kejadiannya, tapi lelaki itu. Lelaki yang belakangan ini selalu ditemuinya di jam makan siang. Lama kelamaan, Nindi penasaran juga, siapa sebenarnya orang itu.

"Astaga!", Nindi mengerem motornya. Untunglah, melamun sebentar tidak menjadikan refleknya kehilangan sensitivitas, tuas rem segera ditariknya sebelum menabrak mobil di depannya yang mengerem mendadak. Nindi mengelus dadanya. Baru saja ia akan tancap gas, dilihatnya seorang anak perempuan kecil yang terduduk di trotoar pinggir jalan. Dia memakai seragam, tentulah ada sesuatu yang membuatnya harus duduk sendirian seperti itu. Nindi pun akhirnya menghampiri anak kecil itu.

"Adek kenapa duduk sendirian di sini?", tanya Nindi sambil membuka helmnya.
"Aku kesasar, kak..", anak kecil itu nyaris terisak.
"Hah? Yaudah yuk, kakak anterin pulang. Rumah kamu di mana??"
"Mmm, perumahan Pemuda V, tapi nomernya Ica lupa.."
"Oooh, perumahan Pemuda, kakak tau daerah situ, ntar kita cari sama-sama ya rumah kamu. Yuk, naik, kakak bonceng.."

Nindi membatin, jauh juga anak kecil ini sekolah, padahal masih SD, tapi sudah sekolah jauh dari rumah. Nindi mengingat-ingat masa kecilnya yang indah di Bandung. Sampai Sekolah Dasar, sekolahnya selalu dekat rumah. Hal itu juga yang membuatnya selalu pulang terlambat, karena suka keluyuran dulu naik sepeda bersama teman-temannya.

"Kak, kakak namanya siapa?", tanya Ica  sambil melongokkan kepalanya ke bahu kanan Nindi. Dari spion, Nindi bisa melihat pipi gembul Ica yang putih menggemaskan.

"Wah, kakak belum kenalan ya? Hehe, nama kakak Nindi, kamu Ica kan? tadi kamu udah sebut nama kamu..", jawab Nindi.
"Makasi ya kak, uda mau nganterin Ica."
"Sama-sama, lagian, kamu kok bisa kesasar? Nggak dijemput?"
"Harusnya dijemput sama kakaknya Ica, tapi dia katanya ada kuliah sampai jam 2 siang, Ica kan capek nunggunya, lama.."
"Terus kamu mau pulang sendiri gitu?"
"Iya kak, Ica pikir Ica udah hafal jalannya, eh ternyata Ica lupa, hehehe"
"Dasar, lain kali jangan gitu ya, mending naik taxi aja, atau tunggu sampai dijemput sama kakakmu. Bahaya, kamu kan masih kecil. Kamu kelas berapa sih?", tanya Nindi.
"Kelas 1 kak.."
"Tuuh kan, jangan pulang sendiri deh, mending tunggu di sekolah aja sampe dijemput, ya?"
"Iya, kak!"

Sekitar setengah jam perjalanan, akhirnya sampai juga Nindi di perumahan Pemuda V. Sedikit lagi, sabar ya, perut, batin Nindi sambil mengelus-elus perutnya. Tadi siang dia cuma minum segelas cappuchino gara-gara terlalu sibuk mengamati "lelaki makan siang"-nya itu.

"Nah, kalo uda di sini, Ica hafal, kak! Nanti, depan itu belok kiri, terus belok kanan, tinggal nyari rumah yang pagarnya warna biru, cuma rumahku!", kata Ica lantang, dia tampak ceria sekali.

Benar saja, menemukan rumah Ica tidaklah susah, satu blok cuma rumahnya yang berpagar biru mengkilat. Nindi sebenarnya memutuskan untuk segera pulang, tapi Ica menahannya. Anak kecil itu menggamit tangan Nindi dan mengajaknya masuk ke ruang tamu.

"Kakak tunggu di sini bentar, ya. Ica mau panggil kakak Ica dulu..", lalu Ica meninggalkan Nindi sendirian. Nindi duduk di sofa berwarna merah maroon, disandarkannya kepalanya. Hari ini panas sekali, dan dia belum makan siang. Sambil menyandarkan kepala, Nindi menelusuri setiap sudut ruang tamu dengan kedua matanya. Tiba-tiba, ia merasa tertarik dengan bingkai foto berukuran tanggung yang ada di dinding. Isinya ada banyak sekali foto. Merasa sangat tertarik, Nindi setengah malas mengangkat badannya, melangkahkan kaki mendekati bingkai foto itu,  diamatinya satu per satu. Sampai pada satu foto, alisnya nampak bertaut, seperti sedang berpikir, mengingat-ingat sesuatu. Belum habis rasa penasarannya, Ica keluar sambil menggandeng kakaknya.

"Kak Ical, ini kak Nindi, yang udah nganterin Ica pulang..", kata Ica, kuncir duanya belum dilepas, menambah kelucuan gadis kecil itu.

"Oh, maaf ya, ngerepotin, makasih udah nganterin Ica pulang..", kata kakak Ica. Nindi setengah melamun memandang lelaki yang ada di hadapannya. Lelaki yang ada di seberang mejanya tadi siang.

"Oh, iya, sama-sama. Aku Nindi..", katanya sambil menjabat tangan kakak Ica.

"Aku Faisal, bentar ya, aku ambilin minum, kamu pasti kehausan..", Faisal berlalu meninggalkan Nindi yang masih terbengong-bengong. Kebetulan macam apa ini? pikirnya. Tak lama kemudian, Faisal kembali dengan segelas jus jeruk. Nindi tidak bisa menyembunyikan rasa hausnya, diminumnya jus itu sampai tinggal separuh. Faisal tertawa kecil melihat tingkah Nindi.

"Eh, maaf ya, hehe, aku haus banget..", kata Nindi malu-malu.

"Nggakpapa, kalo habis aku ambilin lagi. Kamu naik motor ke sini?"

"Iya. Mm, oh iya, aku boleh tanya sesuatu nggak?"

"Boleh, tanya apa emangnya?"

"Itu, foto itu, itu foto kamu waktu kecil?", tanya Nindi sambil matanya mengarah ke bingkai foto di pojok ruang tamu.

"Foto yang mana? Kan di bingkai foto itu ada banyak foto..", jawab Faisal. Nindi berdiri dari tempat duduknya dan menunjuk foto yang sedari tadi membuatnya penasaran. Faisal mengikuti Nindi dari belakang, dilihatnya foto yang ditunjuk Nindi.

"Oh yang itu, iya, itu foto kecilan aku, waktu masih TK, kenapa memangnya?"

"Dua perempuan yang di belakang kamu itu, guru kamu ya? Namanya Bu Mira sama Bu Anis, ya?"

"Lhoh, Nin, kok kamu bisa tau?", Faisal tampak kaget dan memandangi Nindi.

"Kamu, Faisal Andriawan? Dulu TK nya di TK Pembina 1, di Bandung?", tembak Nindi.

"Iyaaa.. Tunggu tunggu.. Mmm..", Faisal menggumam lirih sambil mengamati wajah Nindi lekat-lekat. Dipandangi seperti itu, Nindi jadi salah tingkah. Dia berdoa dalam hati, semoga wajahnya tidak berubah sewarna tomat.

"Jangan bilang kamu Nindi yang tukang nangis dulu itu??"

"Hahahaha, sial, kenapa kamu inget di bagian yang itu, sih?", Nindi tergelak, begitu juga Faisal. Tak butuh waktu yang lama, keduanya segera terlibat pembicaraan yang menyenangkan, mengenang masa kecil mereka.

*          *          *

Nindi masih tidak habis pikir dengan semua kejadian hari ini. Kebetulan yang menyenangkan, yang sama sekali tidak terduga. Di atas motor, Nindi tersenyum-senyum sendiri. Keyakinannya tidak pernah salah, itu yang selalu dia pegang.

Matahari sore perlahan mulai menghilang ke peraduannya. Menyisakan warna senja yang memerah indah. Sementara itu, fragmen kenangan bermain-main di pelupuk mata Nindi.

Seorang gadis kecil sedang menangis karena cincin mainannya direbut oleh temannya yang nakal. Kemudian anak laki-laki kecil itu datang, membawakan cincin manik-manik kecil. Seketika gadis kecil itu tersenyum, lupa akan tangisnya. Tapi, gadis kecil itu tidak pernah lupa, lelaki yang memberikan cincin manik-manik itu, lelaki pertama yang membuat tangisnnya berhenti...


ku bahagia kau telah terlahir di dunia
dan kau ada di antara milyaran manusia
dan ku bisa dengan radarku menemukanmu..

4 komentar:

  1. hmm, ini dari filmnya ya? kalau lebih menarik sebenarnya di bukunya sih..hehe :)

    salam kenal ya, boleh mampir juga ke blogku : ferryjr.blogspot.com

    BalasHapus
  2. actually aku nulis cerita ini berdasarkan lagunya aja.. aku nggak liat film, maupun baca bukunya, hehe


    salam kenal juga.. okay, i'll visit yous, soon :)

    BalasHapus
  3. maaf nih, mau ngasih komentar dikit.
    menurut aku *aku yang terlalu mementingkan kelogisan cerita* itu waktu ica sampe rumah, kok tiba2 ical udah ada dirumah, harusnya ical kan njemput si ica, tapi kok malah dirumah, harusnya dia njemput, dan ga nemuin adeknya, dia panik apa gimana gitu. kok malah dirumah, dan terkesan nyantai di rumah gitu.

    atau dialognya yang salah, ketika ica ditanya nindi, dia jawabnya 'biasanya sih dijemput kakak, tapi karna pas nganter ica ke sekolah tadi pagi kakak bilang kalo mau ada kuliah sampe jam 2, ica bilang mau pulang sekolah jalan kaki aja. kan bosen nunggunya lama, tapi ternyata ica lupa jalan pulangnya'.
    tapi masih ga logis juga ding, kalo kakaknya pulang jam 2, tapi adeknya blom ada dirumah, bukannya kakaknya harusnya panik tau kalo adiknya jam 2 blom sampe rumah. #pis

    BalasHapus
  4. iyeeess..

    makasi sarannya ya, bung uuk :D

    BalasHapus