Kamis, 30 Mei 2013

kalau kamu lupa

0

kalau-kalau kamu lupa
di sini ada tempat istirahat paling nyaman
mungkin kamu tak bisa rebah
tapi kamu bisa membagi segala resah

kalau-kalau kamu lupa
di sini ada reminder paling hangat
kamu bisa menitipkan ingatan
tentang apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan
dan pada waktunya ia akan bekerja
mengingatkan tanpa harus memaksakan

kalau-kalau kamu lupa
di sini ada penghilang sepi paling mujarab
tempat kamu selalu dirindukan

kalau-kalau kamu lupa
di sini ada tempat tinggal yang aman
mungkin tidak begitu indah
tapi kamu selalu bisa pulang
membagi gundah dan senang selama berkelana

cinta tak mengenal kelelahan
sebab ia kesadaran, bukan keterpaksaan

Senin, 27 Mei 2013

Cerita Sebatang Pohon Angsana

12

Aku menatap sedih Don dan kedua orang tuanya. Mereka bertiga memandangiku yang masih tegak berdiri. Walaupun rasanya sedih, sangat sedih. Aku bisa merasakan ranting-rantingku yang biasanya tegar jadi mulai melemas perlahan. Hanya saja aku tak punya air mata. Sekian tahun bersama keluarga Don adalah kenangan yang tidak mungkin aku lupakan. Mereka seringkali menghabiskan waktu di akhir minggu bersama-sama. Piknik kecil di bawah rimbun dedaunanku. Biasanya, ibu Don akan memasakkan berbagai makanan dan minuman. Sementara ayah Don menggelar tikar dan menata beberapa bantal. Sedangkan Don, berlari-lari mengitari aku, mencoba mencari-cari kumbang atau kupu-kupu yang kadang menempel di batangku yang kokoh. Aku begitu bahagia menjadi bagian dari mereka. Tapi waktu berlalu begitu cepat. Malam dua hari yang lalu, lewat rantingku yang sedikit menjulur ke jendela dapur, aku mendengarkan pembicaraan mereka. Ayah Don dipindahkan kerjanya di luar kota. Kaupun bisa menebak akhirnya kan?

***

Papan berukuran 2x3 meter ini masih sepi. Dulu, Don sering sekali memanjat ke sini, menghabiskan waktu luangnya dengan menikmati pemandangan dari atas rumah pohon ini. Ya, demikian Don menyebutnya, rumah pohon. Padahal tidak sedikitpun papan ini berbentuk rumah. Ini hanya papan persegi panjang, yang ditempatkan di antara cabang-cabangku. Awalnya, Don masih ringan. Namun, setelah ia bertambah berat, kuputuskan untuk memperkokoh bagian itu, supaya bisa menyangga rumah pohonnya. Jadi aku memerintahkan si pembuluh angkut untuk memperbanyak pasokan makanan ke cabang-cabangku yang menyangga rumah pohon. Setelah sangat-sangat kokoh, ternyata Don harus meninggalkan aku. Meninggalkan rumah pohonnya yang dipeluk cabang-cabang batangku.

Beberapa hari setelah keluarga Don pindah, aku merasa sangat kesepian. Badanku kuyu. Bahkan dedaunanku tidak lagi bersemangat menadahi embun setiap pagi. Sel-sel dalam dedaunanku juga seperti hilang motivasi untuk berfotosintesis, menghasilkan oksigen untuk makhluk hidup di sekitar. Untuk apa? Toh Don sudah tak ada di sini. Tapi suatu hari, entah dari mana semangat itu datang. Aku merasa akan ada sesuatu yang datang. Sesuatu yang penuh kasih sayang. Aku memandangi sekujur tubuhku, tinggal sedikit sekali dedaunan yang melekat. Semuanya gugur, atau kugugurkan? Mungkin yang kedua yang paling benar. Lalu tiba-tiba saja aku ingin keteduhanku kembali. Aku ingin menjadi angsana yang dulu. Angsana yang kokoh dan rimbun. Jadi aku mulai menyemikan lagi daun-daun hijau di sekujur tubuhku.

***



Tidak jelas apa yang membuat wanita ini memandangiku dengan binar mata yang berkilat-kilat. Di sebelahnya ada seorang lelaki, mungkin mereka suami istri, karena di tengah mereka ada seorang gadis kecil lucu. Gadis itu memakai kaos berenda berwarna merah muda dipadu celana jins pendek. Rambut ikalnya dikuncir dua, memperjelas gembul kedua pipinya. Anak ini lucu sekali. Ah iya, aku bersyukur sudah bisa memperbaiki penampilanku sebelum bertemu dengan mereka bertiga. Batang-batangku telah sangat kokoh, dedaunan juga sudah hijau menyemai, siap memberikan keteduhan bagi siapa saja yang ada di bawahku.

"Tuh, kan, bunda bilang apa, di kota juga ada pohon besar kok, nak.."

Kemudian gadis kecil itu melepas genggaman tangan ayah dan ibunya, berlari ke arahku dengan tawa yang lebar. Dia menyentuh kulitku. Ketika kepalanya mendongak, kudapati tawanya mengembang semakin lebar. Mungkin dia juga suka pohon, sama seperti Don. Sentuhan tangannya tadi memberitahuku banyak hal. Sepertinya kami akan akrab.

***

"Hei pohon, namaku indi.. salam kenal, ya..."

Indi? Ah, aku pernah mendengar nama itu. Aku ingat ketika Don membaca-baca buku biologinya dan menemukan nama latinku.

"Namaku juga indi, lengkapnya pterocarpus indicus," bisikku dengan cara menggesekkan dedaunan, membuat suara bisikan yang entah diterjemahkan apa oleh Indi. Tapi sepertinya dia mengerti, karena kulihat dia tersenyum menatapku.

Siang itu Indi menghabiskan waktu denganku. Sampai-sampai ia tertidur bersadar di batang kokohku yang agak cekung ke dalam. Aku berusaha membuatnya nyaman. Tanpa ia tahu, aku mengatur sela-sela cabangku untuk menghalangi panasnya matahari menyentuhnya.

***

Kulihat ibu Indi melompat-lompat ingin menggapai daunku. Apa yang ada di pikirannya? Sesaat kulihat gurat wajahnya menampakkan kekhawatiran. Mungkin tentang Indi. Sejak kemarin dia tidak terlihat keluar rumah sama sekali. Jadi kurundukkan beberapa cabangku agar ibu Indi bisa mendapatkan apa yang dia inginkan. Ternyata dia mengambili beberapa daunku.

"Terimakasih," katanya sebelum pergi masuk ke dalam rumah. Aku masih saja tak mengerti.

Senja menyemburatkan warna kemerahan di langit. Indi berlari-lari kecil ke arahku.

"Halooo.. Makasih ya, karena minum air remasan daunmu dicampur gula aren, ramuan tradisionalnya bunda, demamku udah sembuh. Sekarang udah mau malem, aku masuk rumah dulu, ya. Besok kita main sama-sama lagi..," katanya sambil menepuk-nepuk batangku.

Ah, begitu kah? Aku berguna untukmu, ya? Jadi bagian dari diriku juga masuk ke dalam tubuhmu, ya? Syukurlah aku bisa sedikit menolongmu, Indi..

***

Bunga-bungaku yang berwarna kuning berguguran. Sementara Indi menari berputar-putar di bawahku. Kedua tangannya dibentangkan. Indi seperti menikmati gerimis kecil ini dipadu dengan guguran bunga kuningku, si Angsana.

Pada masanya, bunga-bungaku ini akan gugur, kemudian akan diganti lagi dengan yang baru. Tentu saja melepaskan itu sangat berat. Aku suka bunga-bunga kuning ini melekat di tubuhku. Tapi, aku jauh lebih bahagia ketika menggugurkan mereka, sebab itu berarti mempertemukan mereka dengan orang-orang yang akan memandangi mereka dengan bahagia. Serupa menghadirkan musim gugur di tanah tropis ini, dan aku mencintai pula senyum orang-orang yang tampak gembira dengan suasana yang ditimbulkan guguran bungaku.

Seperti itulah, aku melepaskan Don dengan berat hati. Tapi aku ikhlas, karena aku tahu dia akan hidup lebih baik dengan kenaikan pangkat ayahnya. Dan ikhlas itu akhirnya mendatangkan Indi kepadaku. Entah, suatu saat nanti, mungkin aku juga akan harus melepaskan Indi. Tapi tak apa, aku sudah menikmati waktu-waktu bersamanya.

Yang aku tahu, di usiaku yang masuk bilangan entah ini, batangku semakin mengokoh, dedaunanku semakin meneduhkan, aku telah semakin baik dan memberi manfaat. Kelak, jika aku harus melepas orang yang aku sayangi, Don, Indi, atau entah siapa lagi, aku akan tetap bahagia untuk mereka. Sebab aku tahu, aku telah melakukan yang terbaik untuk mereka, dan kasih sayang mereka untukku akan tetap abadi. Seabadi pola lingkaran batang di usiaku yang semakin menua, menanti-nanti siapa yang Tuhan takdirkan untuk menyentuh batangku dengan sayang, untuk menikmati teduhku dengan senyuman..

Sabtu, 18 Mei 2013

Peri Cantik Elia

0

"Lalu selama pantinya direnovasi, anak-anak mau tinggal di mana, sayang?"

"Tenang aja, Bu, Elia sudah kontrakkan rumah yang cukup besar buat kita sementara waktu, nggak jauh dari sini juga, jadi anak-anak tetep bisa sekolah," kataku menjelaskan rencana yang sudah lama ingin kuwujudkan ini.

Mata Bu Elvina berkaca-kaca mendengarkan aku. Tangan lembutnya membelai kedua pipiku. Tangan ini yang selalu memberikan aku kehangatan di malam-malam ketika aku rewel tak karuan. Tangan ini yang memeluk dan mendekapku penuh cinta ketika aku sedang gundah. Dia memang bukan ibu yang melahirkan aku melalui rahimnya. Tapi cintanya begitu besar untukku, bahkan untuk ibuku, ibu kandungku, yang tidak pernah aku tahu bagaimana wujud rupanya. Begitu juga Bu Elvina yang tidak pernah mengetahui siapa wanita yang telah mengorbankan nyawanya untuk mengantarku ke dunia. Aku ditemukan begitu saja di teras, berselimutkan jarit berwarna cokelat tua. Jarit itu masih ada di lemariku, sampai sekarang. Bu Elvina yang menyimpankannya untukku, dan tidak lelah mengingatkanku untuk senantiasa mendoakan ibu kandungku--yang entah siapa.

"Halooo! Ah, ada apa ini kok pada haru biru? Aku ketinggalan berita penting ya?," tiba-tiba Khiar muncul dari balik pintu ruang tamu.

"Kebiasaan deh, nggak salam dulu kalo mau masuk rumah!"

"Hehe, maaf ya, Bu.. Ibu apa kabar? Maaf ya, Bu, akhir-akhir ini jarang kemari. Lagi banyak kerjaan di kantor..," Khiar mencium punggung tangan Ibu.

"Nggak apa, yang penting kamu sehat aja Ibu udah seneng. Yaudah, Ibu mau ke dapur dulu ya, mau masak buat makan siang"

Akhirnya tinggal aku dan Khiar di ruang tamu. Panti ini lumayan sepi di siang hari, karena sebagian besar adik-adik sedang bersekolah. Aku melihat wajah Khiar, ada rona yang berseri-seri, seperti ada yang akan dia ceritakan padaku.

"El, aku mau cerita.. Menurut kamu, cewek ini cantik nggak?," tanyanya sambil memperlihatkan foto seorang perempuan di layar ponselnya.

Benar saja, kan, Khiar yang ada di hadapanku, seorang editor di perusahaan penerbitan yang dirintisnya sendiri, penerbitan yang mulai memperlihatkan taringnya di media cetak nasional, nyatanya masih saja Khiar yang dulu. Khiar yang memang sangat suka dengan perempuan cantik. Kalau saja aku bukan saudara se-panti-nya sejak kecil, mungkin aku tak akan bisa sedekat ini dengannya. Karena aku tidak cantik, sama sekali tidak.

***

Aku membantu Elia membawa koper-koper dari dalam mobil. Adik-adik sudah berlarian keluar dengan bersemangat memasuki gedung panti barunya. Melihat tawa di wajah mereka, seperti merasakan guyuran embun di pagi hari. Sejuuuk sekali.

"Kenapa kamu nggak tinggal di rumah sendiri ja, El?," tanyaku.

"Buat apa? Keluargaku di sini. Beda sama kamu, kan kamu punya keluarga baru," jawab Elia sambil tersenyum.

Selesai mengangkut koper-koper, aku dan Elia duduk-duduk di depan kolam ikan. Elia suka sekali duduk-duduk di sini, sejak kecil. Padahal di kolam ini juga dia pernah celaka. Aku mengamati wajah Elia di sampingku. Tampak sekali kebahagiaan terpancar dari wajahnya. Elia tidak banyak bicara, tapi aku sudah terbiasa menangkap isyarat-isyarat yang sangat tipis itu. Aku mengenal Elia sejak kecil, bahkan sejak bayi. Aku mengikuti Ibu yang membuka pintu karena mendengar tangisan bayi. Aku anak panti yang pertama melihat sosok bayi Elia yang dibalut jarit warna cokelat.

"Kamu benar-benar jadi peri, jadi malaikat buat panti ini..," kataku.

"Ah? Malaikat? Kamu berlebihan, Khiar.."

"Nggak berlebihan, kok. Kamu benar-benar sama seperti namamu. Elia, peri yang cantik. Peri karena kamu menghadirkan banyak keajaiban buat panti ini. Membangun panti, mendampingi Ibu, menjadi kakak sekaligus Ibu untuk adik-adik di sini. Banyak yang sudah kamu lakukan, El.."

"Elia, peri yang cantik. Tapi aku nggak cantik, Khi," Elia terkekeh sejenak. Matanya menerawang ke dalam kolam.

Aku terdiam. Aku punya andil dalam ucapannya barusan. Dulu, ketika kami masih sama-sama kecil, aku pernah tidak sengaja mendorongnya hingga jatuh. Wajahnya terjerembab ke batu-batu tepian kolam ini. Rahang kirinya retak atau bagaimana lah saat itu aku masih tidak terlalu mengerti. Yang kemudian aku tahu adalah, rahang kiri dan kanannya tidak lagi simetris. Aku sedih dan takut. Tapi Elia sama sekali tidak menaruh benci padaku.

"Oh iya, El, aku habis jadian lho minggu lalu! Nih, fotonya, namanya Jelita.. Gimana menurutmu?"

"Cantik.."

Lalu sejenak kuperhatikan pendar matanya perlahan meredup. Sepertinya aku melakukan hal yang salah, yang baru kusadari sekarang.

***

Aku mempersiapkan mental. Beberapa jam lagi semuanya akan terjadi. Terbayang wajah Khiar. Wajah lelaki yang sejak dulu aku cintai, tapi sejak dulu pula tak bisa kumiliki hatinya. Karena aku tidak cantik. Khiar tidak tahu hatiku seperti diiris setiap kali dia menceritakan perempuan-perempuan yang mencuri perhatiannya. Dahi proporsional, kulit putih, hidung mancung, bibir tipis, lekuk wajah yang sempurna. Kesemuanya tidak aku miliki. Aku semakin memantapkan hati. Mimpiku merenovasi gedung panti sudah terpenuhi. Ada sedikit sisa, dan aku rasa, keputusan ini keputusan yang tepat untuk menggunakan sisa anggaran itu.

Sementara itu, di tempat yang berbeda..

"Bu, Elia mana?"

"Lho, dia nggak ngasi tahu kamu?"

"Ngasi tahu apa, Bu?"

"Dia ke Singapur, operasi plastik untuk beberapa bagian wajahnya, doain lancar aja ya.. Tapi kalau kamu sempat sih, jenguklah dia di sana sehari atau dua hari."

"Operasi plastik? Buat apa, Bu? Buat apa? Kok Ibu biarin dia?," aku kaget setengah mati. Apa-apaan Elia ini?!

"Dia jatuh cinta, Khiar, dia ingin punya wajah yang cantik. Dia bilang, lelaki yang dicintainya itu hanya tertarik dengan wanita yang cantik. Ibu nggak tega mau mencegahnya.."

Aku diam mematung. Aku membuat kesalahan, lagi.

Karena kau tak lihat
Terkadang malaikat
Tak bersayap, tak cemerlang, tak rupawan...

Rabu, 15 Mei 2013

Semua Ini Salahmu

0

Semua ini salahmu. Kalau saja hari itu kamu tidak terlambat masuk kuliah. Mungkin aku tidak akan sempat menamatkan wajahmu. Mungkin aku tidak akan sempat untuk menyadari bahwa ada manusia indah di kelas yang tercantum di Kartu Rencana Studiku. Bagaimana tidak, kamu terlambat di situasi yang sangat tidak tepat, emm, maksudku dosen yang tidak tepat. Keterlambatan itu memaksamu untuk berdiri mematung sejenak di depan kelas, menjawab pertanyaan-pertanyaan seputar alasanmu terlambat. Kamu mungkin sedang bingung, tampak gugup, jangan-jangan itu pertama kalinya kamu terlambat ya? Tapi asal kamu tahu, ada satu orang yang memperhatikanmu di bangku deret ke empat dari depan. Ada aku, yang menikmati sekali ke-sejenak-anmu di depan kelas.

Semua ini salahmu. Kalau saja kamu memilih bangku kosong yang lain, bukan yang di sebelahku. Mungkin saat ini aku tidak akan terus-terusan sengaja menyiapkan satu bangku kosong di sebelah tempat dudukku. Dan terus-terusan juga berharap kalau-kalau kamu akan meletakkan tasmu di situ. Aku tidak mungkin lupa ketika pertama kali itu kamu duduk di sebelahku. Aku masih ingat detail langkah kakimu. Kamu memakai sepatu warna cokelat tua yang entah memang warnanya begitu atau karena terkena cipratan genangan air hujan di jalan. Aku juga ingat kamu memakai setelah kemeja kotak-kotak warna biru-merah dengan celana jeans yang beraksen pudar di bagian lutut. See? Aku mengingat semuanya. Apalagi ketika kamu mengambilkan kalkulatorku yang tak sengaja kamu jatuhkan.

Semua ini salahmu. Kalau saja kamu tidak meminta untuk satu kelompok tugas kuliah denganku. Mungkin aku tidak akan pernah tahu namamu. Aku tidak akan pernah tahu nomor handphonemu. Dan pastinya aku tidak akan terdiam-memandangi handphone-memandangi nomormu-dan berharap. Berharap apa? Berharap aku bisa menginformasikan sesuatu dan mendapatkan pesanmu di handphoneku. Tapi memang hari itu kamu benar-benar melakukannya, memintaku agar bisa menjadi bagian dari kelompokku. Jadi terjadilah semuanya. Terjadilah perkenalan. Terjadilah tahu nama, tahu nomor handphone, tahu ini, tahu itu, dan yang lainnya. Hanya saja kamu tidak tahu aku begitu gembira untuk semua ke-tahu-an itu.

Semua ini salahmu. Kalau saja kamu tidak memintaku untuk mengajari satu mata kuliah yang tak begitu kamu kuasai. Mungkin aku akan terbiasa untuk menikmati pertemuan ramai-ramai seperti saat berada di kelas. Mungkin aku tidak akan menghabiskan waktu lebih banyak untuk berdua saja denganmu seperti saat ini. Nyatanya ini sudah pertemuan ke-entah kita berdua. Iya, berdua saja. Duduk bersebelahan, kadang berhadap-hadapan. Kalau-kalau kamu tahu, ah bodohnya aku, pastilah kamu tak tahu, aku lebih suka kita duduk bersebelahan saja. Karena dengan begitu aku lebih leluasa melihatmu. Bisa lebih lama mengamati bentuk wajahmu. Tentunya tanpa kamu tahu. Karena kamu sangat fokus pada apa yang aku ajarkan. Sementara aku menjadi pihak yang paling tidak fokus saat mestinya harus sangat fokus mengajarimu. Itu susah sekali, lho!

Semua ini salahmu. Harusnya kamu tak usah menceritakan hal-hal yang terjadi dalam hidupmu. Harusnya kamu tak perlu membawaku masuk ke dalam kehidupan pribadimu, atau sekedar membuatku tahu. Karena efeknya adalah, aku jadi ingin mengenalmu lagi, lagi, dan lagi. Aku suka mendengarkan pengalaman hidup orang lain, terlebih itu kamu. Kamu! Bagaimana mungkin aku bisa mengelak ketika dua kesukaanku bisa datang sekaligus. Harusnya kamu tidak membiarkan aku menikmati tawa, senyum, dan gundahmu dari dekat, karena aku jadi sangat menyukainya. Maksudku, menyukaimu.

Semua ini salahmu.
Sekarang, aku jadi jatuh cinta padamu.

Senin, 13 Mei 2013

Milana

0

Sekitar dua minggu yang lalu, saya menemani sahabat belajar di mall. Karena saya malah mengagendakan untuk libur pada hari itu, alhasil saya tidak membawa jurnal ataupun buku ataupun laptop. Sayapun akhirnya terpikir untuk ke toko buku, membeli buku bacaan, hingga pilihan saya jatuh pada buku bersampul oranye bertuliskan Milana.

Belum lama ini suka mengunjungi bisikanbusuk.com , dan menyukai gaya bertutur si empunya tulisan. Saya bukan tergolong orang yang suka menikmati novel-novel berat nan tebal. Saya lebih suka dengan buku kumpulan cerpen yang memberi banyak cerita, warna, dan kekhasan cara bertutur si penulisnya.

Lalu, lewat Milana, saya jatuh cinta dengan (gaya bertutur) Bernard Batubara.

Ada limabelas cerita pendek di buku ini, dengan ilustrasi menarik di tiap awal ceritanya. Saya menyukai kelimabelasnya.

Tapi, ada satu yang paling saya suka, yaitu Beberapa Adegan yang Tersembunyi di Pagi Hari.

Saya kagum dengan cara Bara menyuguhkan sisi lain dari semesta. Caranya melakonkan embun, matahari, bulan, daun, angin, semuanya. Saya suka dengan caranya membuat mereka memiliki pembawaan, sifat, perasaan, dan perilaku. Saya suka bagaimana mereka semua diberikan nyawa melalui kata-kata.

Saya suka gaya bahasa yang ringan, tapi mengena. Saya suka gaya bertutur yang tidak "mbulet", tapi tetap bisa dinikmati konfliknya dan punya makna.

Dan semuanya ada di buku ini
Semua ada di Milana :)

entah

0

Entah ini ucapan selamat pagi yang ke berapa

Entah ini ucapan selamat tidur yang ke berapa

Yang kutahu aku bahagia

Sabtu, 11 Mei 2013

Perempuan Dalam Mimpi (Episode 3)

0

Perlahan aku mencoba menata kesadaranku lagi. Sejak amnesia, kepalaku akan sakit dan pandanganku seolah-olah gelap ketika aku mulai mengingat sesuatu. Aku merasakan Chandra menepuk-nepuk pundakku. Mataku terbuka, kulihat pandangan matanya begitu khawatir. Bukan khawatir saja, kurasa. Ada perasaan bersalah juga di sana. Semua sudah terlanjur terjadi. Aku begitu mengenal Chandra, pastilah tak mungkin dia tega menikahi kekasihku jika tidak sangat terpaksa. Akupun akhirnya berpamitan. Chandra tak henti-hentinya meminta maaf padaku.

"Sudahlah, semua sudah terjadi, kan. Aku juga mau Kirana tenang di sana, terimakasih sudah membahagiakan Kirana di saat-saat terakhirnya, ya..," kataku sambil menyalami Chandra. Dengan lunglai aku berjalan ke mobilku, kupandangi sebentar mobil Jazz merah itu. Aku merasa ada yang salah dengan mobil itu, tapi aku tak tahu apa.

Di perjalanan pulang, aku masih membatin, tak percaya dengan apa yang sudah kualami hari ini. Kirana, kekasih tercintaku sudah meninggal, dia istri dari sahabat baikku. Lalu siapa yang kutemui di cafe hari ini? Sumpah aku tidak mungkin salah lihat. Itu benar-benar Kirana. Matanya yang bulat, alis tebal yang membingkai kedua matanya, hidung mancungnya, itu milik Kirana. Ingatanku kembali pada Jazz merah.

"Ah, bodoh! Aku ingat, plat nomornya beda dengan mobil di rumah Kirana tadi!"

Aku mengutuk kebodohanku sendiri. Tapi tak apa, karena kebodohan itulah aku bisa mengingat Kirana lagi. Mungkin, jika ia datang lagi malam ini, aku bisa menyapanya, mengatakan bahwa aku sangat merindukannya.

Hari sudah senja ketika aku tiba-tiba memutuskan untuk mengunjungi makam Kirana. Tadi aku sempat menanyakannya pada Chandra, tempat wanita yang kucintai itu beristirahat dengan tenang. Jadi aku menyempatkan untuk mampir membeli sebuket bunga kecil untuk nanti kuletakkan di makamnya.

Aku memarkir mobil dan memasuki area makam. Sepi sekali. Chandra bilang makamnya ada di dekat pintu keluar sebelah kiri makam, tepat di bawah pohon bunga kamboja berwarna merah. Aha! Tak sulit juga menemukannya, cuma ada satu pohon kamboja merah di sini. Aku melangkahkan kaki dengan pasti ke arah makam Kirana. Tapi tubuhku tiba-tiba mematung. Bulu kudukku berdiri.

"Hei! Kirana! Kamukah itu?"

Perempuan itu berlari ketika mendengar teriakanku. Perempuan yang tadi berdiri tepat di samping makam Kirana. Perempuan dalam mimpiku.

Selasa, 07 Mei 2013

Perempuan Dalam Mimpi (Episode 2)

0

Aku kembali lagi ke kafe ini, berharap, ya, bertemu dengannya lagi, perempuan dalam mimpiku itu. Aku masih mengingat pandangan herannya kemarin. Aku memakluminya. Kalau saja aku berada di posisinya, dihampiri orang asing yang mengaku melihatku di dalam mimpinya. Lebih parah, mungkin aku malah tidak akan mengucapkan sepatah katapun, tidak seperti perempuan itu, yang masih mengucapkan kata "sorry" sebelum meninggalkan aku yang berdiri terpaku.

Aku mengingat lagi alasanku ke kota ini. Pekerjaanku di Jakarta semakin menyiksa, sama menyiksanya dengan perempuan yang selalu hadir dalam mimpiku itu. Malam tadi, aku memimpikannya kembali. Sedikit lebih beruntung, di mimpiku, perempuan itu sempat menyebutkan namanya. Adzana. Buatku, mimpi itu bukan malah membuatku lega. Pertama, aku merasa pernah melihatnya. Dan sekarang, aku merasa pernah mendengar namanya. Bukan hanya dalam mimpi itu saja.

Tiba-tiba dadaku berdegup kencang. Entah kenapa. Aku memegangi dadaku. Sampai tiba-tiba sosok itu lewat di depanku. Rambut panjang hitamnya yang lurus, kedua alis yanag nyaris bertaut, bibir tipis yang saling mengatup. Aku tak mungkin salah. Perempuan dalam mimpiku.

Dia duduk lagi di smoking area, seperti kemarin. Aku memutar otak, menghadirkan pertanyaan-pertanyaan dan mewajibkan diriku sendiri untuk menjawabnya. 

Apa aku harus menemuinya lagi? Iya.

Kalau dia sangka aku pengganggu? Masa bodo.

Kalau dia pergi seperti kemarin? Tunggu lagi besok di sini.

Apa aku harus menanyakan namanya? Tidak, tebak langsung aja, seperti di mimpi.

Jadi aku memutuskan untuk berjalan mendekati mejanya. Dia mendongakkan wajah. Astaga, garis wajah yang sempurna. Dan, dan, dia mirip sekali dengan....

"Kamu lagi? Mau apa?," tanyanya ketus.

"Aku mau.."

"Mau bilang aku perempuan di mimpi kamu?," tukasnya sambil tertawa sinis dan mulai menyeruput segelas milktea dingin di hadapannya.

"Aku mau tanya, nama kamu, Adzana kan?"

Sepersekian detik kemudian aku melihat dia tersedak, milktea-nya sedikit tumpah. Dia menatap semakin keheranan ke arahku.

Senin, 06 Mei 2013

Kapan Kita Bertemu?

0

Apa kabar kamu di sana? Masih dengan segala kesibukanmu? Terakhir kali percakapan kita di suatu sore, bulan Ramadhan, kita buka puasa bersama. Setelah sekian minggu kita tidak bertemu. Kamu bilang handphone-mu rusak, sehingga kita tak bisa berkomunikasi dulu sementara. Jadi aku hanya menghubungimu melalui message facebook. Semua baik-baik saja, kukira. Sementara sahabatku punya feeling yang berbeda. "Ada yang tidak beres," begitu katanya. Tapi aku berusaha keras menekan hatiku untuk berkata setuju. Aku percaya kamu, iya, aku percaya.

Ini sudah hampir tiga bulan tanpa pertemuan, dan tanpa percakapan sedikitpun. Sepertinya kamu memang tidak berusaha untuk menemuiku. Ah, tunggu, jangankan menemuiku, menghubungiku saja tidak. Setiap malam aku mengecek semua pesan yang sudah aku kirimkan, menunggu balasanmu. Tapi setiap kali itu juga aku merasa kecewa, karena pesanmu tak ada.



Mungkin kita sedang dalam kebiasaan yang berbeda. Aku terbiasa menunggu kehadiranmu dengan sabar. Sementara kamu terbiasa dengan ketidakhadiranku di hari-harimu.

Aku terbiasa berharap setiap hari menunggu datangnya pesanmu. Tapi kamu terbiasa untuk melihat pesanku dan membiarkannya, atau bahkan mungkin menghapusnya.

Aku terbiasa untuk berharap agar semua perasaan ini bisa terjaga. Sementara kamu membiarkan perasaan ini menguap tanpa berusaha untuk mencegahnya.

Aku terbiasa mengingatmu, sementara kamu mulai membiasakan diri, atau bahkan sudah mulai terbiasa melupakan aku.

Jadi kapan kita bisa bertemu dalam satu keterbiasaan yang sama? dalam ritme rindu dan cinta yang sama?

Kapan?

Sabtu, 04 Mei 2013

Kuceritakan Sebuah Rahasia

2




Hai, apa kabar kamu hari ini?
Hari ini aku datang, untuk menceritakan kepadamu beberapa rahasia kecil yang aku simpan sendiri saja
Ah, tidak, pastilah tidak aku simpan sendiri, aku membaginya juga pada Tuhan
Berjanjilah kamu akan mendengarnya, ya
Kamu tidak usah menjawab juga tidak apa, karena sungguh aku hanya ingin membaginya padamu

Ini rahasia ya..
Sebenarnya, aku suka melihatmu dari jauh, dari sudut yang tersembunyi
Dari sudut yang mungkin tidak pernah kamu bayangkan
Tenang saja, aku bukan penguntit, kok
Maksudku sudut yang tersembunyi itu adalah suatu tempat yang aman, yang tidak kamu sadari keberadaannya
Mmm, iya lho, aku suka melihatmu yang seperti paling pendiam di antara gerombolanmu
Kamu hanya sesekali bercanda dan masuk ke dalam pembicaraan mereka
Setelahnya, kamu seperti punya duniamu sendiri, dunia yang belum sempat kumasuki

Ada lagi rahasia yang lain..
Sebenarnya, aku suka mendengarkan suaramu
Suka sekali, malahan
Suaramu itu, pelan, sedikit berat, tapi dengan mendengarkannya aku bisa merasa damai
Lucu ya, padahal pembicaraan kita hanya sebatas tugas-tugas kuliah atau masalah di organisasi
Tapi, suaramu itu, seperti membawa aku ke tempat yang lain, tempat yang damai
Kamu tak tahu, setiap frekuensi getaran suaramu itu masuk melalui telingaku, ada sesuatu, yang aku sendiripun tidak tahu apa itu, seperti menyusupi saraf-saraf dan mengantarkan respon unik ke dalam hatiku
Membuatnya merasa damai

Oh iya, apa aku sudah pernah bilang kalau aku suka melihatmu bermain gitar?
Belum ya? Hehehe, bodohnya, pastilah belum, aku mana punya keberanian sebesar itu untuk mengatakannya padamu sebelum hari ini
Jadi, aku sangat suka mendengarkan petikan-petikan dawai gitar yang kamu mainkan
Kamu suka menciptakan lagu bersama gitar kesayanganmu itu, lalu menyanyikannya, dan tak jarang, kamu juga minta pendapatku mengenai lagu yang kamu buat
Aku berani bertaruh, kamu tidak tahu debar jantungku yang seperti mau lepas dari tempatnya
Kalau kamu bisa mendengarnya, mm, ataupun merasakannya, mungkin kamu akan heran atau malah ketakutan, karena suaranya lebih mirip tabuhan bedug masjid daripada detakan organ yang dilindungi rusuk-rusuk di dada ini
Kalau sudah begitu, biasanya mulutku akan otomats mengatakan bahwa lagu itu indah
Walaupun ada satu kalimat lagi yang kutahan supaya tidak keluar
Kamu mau tahu kalimatnya?
Andai saja aku yang menjadi inspirasi dari lagu itu
Yah, kira-kira begitulah kata-kata yang kubiarkan terkulum dalam mulutku
Sebab aku cukup tahu diri

Kamu capek ya?
Mmm, tapi ini masih ada rahasia lagi yang kamu harus tau
Tunggu sebentar ya, tinggal satu aja kok..
Rahasia ini yang paling besar, adalah kenyataan bahwa aku menyayangi kamu, mm, atau cinta ya? Entahlah, mungkin kamu bisa menyimpulkannya sendiri dari rahasia-rahasia yang sudah aku ungkapkan sebelum ini
Memang benar aku terlalu takut mengatakannya
Siapalah aku ini, cuma temanmu, teman yang tidak seberapa dekat
Hanya mengenal, tapi aku selalu ingin dekat kepadamu
Aku selalu menunggu kesempatan untuk bisa dekat denganmu
Kalau saja kamu tahu, aku selalu menyelipkan doa, supaya aku punya satu kesempatan saja untuk melihat dan merasakan bagaimana rasanya kalau suatu saat nanti kamu membuka hatimu untukku

Hei, jangan sedih ya, tapi kemarin aku lihat pacarmu itu peluk-pelukan mesra dengan Afandi, anak fakultas sebelah
Sudahlah, jangan pikirkan dia lagi, dia tidak pantas untukmu
Mm, tidak, aku tidak akan mengatakan kalau aku lebih pantas untukmu
Hanya saja, aku tidak suka kamu dilukai olehnya
Kamu terlalu baik

Mungkin sudah cukup ngobrolnya hari ini ya, aku tidak ingin berada terlalu lama dan malah jadi mengganggumu
Aku pulang dulu ya, besok aku akan datang lagi


Akupun mengelus punggung tangannya sebelum pergi. Mungkin aku akan langsung pulang, jika saja aku tidak melihat pergerakan di jari-jarinya..

"Dokteeeeerrr, tangan Fredy bergerak!!!!," teriakku dari dalam kamar rawatnya.

Kamis, 02 Mei 2013

Kutitipkan Pesan pada Semesta

2

Hai embun, selamat pagi. Apa kabar hari ini? Masih setia datang dan menyejukkan pagi sekalipun sebentar kemudian kamu akan diuapkan sang mentari? Masih? Sepertinya memang masih, sebab kulihat dedaunan di teras rumahku berkilat-kilat ditempa sinar. Artinya kamu masih hadir. Sebenarnya, aku ingin menitipkan salam, untuknya yang sedang jauh. Mungkinakah kamu bisa menyampaikan pada embun-embun yang lain? Bahwa pagi ini pun, ketika aku terbangun, aku masih mengingatnya. Dia juga suka tanaman, sama sepertiku. Jadi, mungki saja, ketika suatu pagi, dia menyentuh embun-embun yang lain, dia juga aka teringat padaku.

Hai angin, ini sudah persinggahanmu yang ke berapa? Sudahkah kamu lelah dengan jutaan kilometer perjalananmu? Kurasa jawabannya tidak, sebab baru saja kamu menghampiri rambutku yang tergerai, membuatnya sedikit bergerak-gerak, seperti dibelai lembut. Aku ingin kamu kabarkan keberadaanku di sini kepadanya. Kepadanya yang begitu menyukaimu. Dia hampir tidak memakai AC ketika berkendara dengan mobilnya. Ketika kutanya, dia hanya menjawab "Aku suka angin," begitu katanya. Jadi dia hanya akan membuka kaca lebar-lebar, dan menikmati perjalanan bersama angin kesukaannya.



Halo senja, masih menikmati pesonamu yang memikat banyak orang? Sepertinya iya, karena hari inipun kamu masih saja indah. Mungkinkah kamu bisa membuatnya ingat? Membuatnya ingat bahwa dia jatuh cinta kepadaku di waktu senja. Di suatu senja yang sangat indah, yang aku dan dia nikmati di taman dekat rumahku, dia mengungkapkan perasaannya. Dia jatuh cinta kepadaku. Sejak dulu dia menyukai senja. Dia suka mengajakku berburu foto. Foto apa lagi kalau bukan foto langitmu yang memerah, foto arak-arakan awanmu yang seperti menyambut turunnya malam secara perlahan. Mungkinkah kamu merekam semua kejadian itu dan menghadirkannya dalam senja yang juga sedang dinikmatinya saat ini?

Hei, hujan. Aku ingin kamu tahu bahwa aku suka sekali aroma tanah basah yang kau hujam dari atas sana. Aku juga suka melihat rintik-rintikmu yang jatuh perlahan, menghadirkan irama-irama yang mendamaikan hati. Dia juga suka padamu. Katanya, hujan membuat suasana jadi romantis, dan dia jadi punya banyak inspirasi ketika kamu datang. Biasanya, dia akan memintaku mengambilkan gitar dan secarik kertas. Dengan dua gelas teh hangat yang selalu ada ketika kita menikmati hujan, kamu sesekali menyeruputnya, lalu mengambil napas dalam-dalam, seperti menyesap inspirasi dari hawa dingin yang kamu hadirkan. Tak lama, pasti secarik kertas itu sudah bertuliskan lirik lagu, dan kemudian dia nyanyikan untukku. Mungkinkah, ketika kamu nanti merintik di teras rumahnya, kamu bisa menyampaikan pesanku untuknya? Jika bisa, turunlah di tubuhnya, lalu meresaplah ke dalam hatinya, sampaikan bahwa aku masih menunggunya.

Bintang, apa kabarmu malam ini? Kamu tampak sangat terang, mungkin kamu sedang sangat girang dan bersemangat, sebab malam kemarin begitu kelabu, mendung membuat sinarmu tidak sampai ke bumi. Aku masih hapal benar saran ajaibnya yang selalu berhasil ketika aku sedang gundah atau hilang semangat. Satu pesan pasti dikirimnya "Lihat ke langit, deh, ada yang bagus di sana :)". Lalu aku, yang sebenarnya selalu tahu kalau maksudnya adalah menunjukkan bintang, juga tak pernah merasa bosan untuk selalu membuka pintu balkon, lalu menengadah ke langit. Layar maha luas yang menghadirkan cahaya-cahaya mempesona di waktu malam. Mungkinkah kamu bisa menyampaikan pesanku untuknya, bintang? Lewat cahayamu, bukalah mata hatinya, bahwa dalam kerlip-kerlip bintang sama-sama aku dan dia lihat, ada kerinduanku, yang menembus jarak, mencoba menemukannya.

Tuhan, kutitipkan pesan-pesanku pada semesta.. :)

Rabu, 01 Mei 2013

Pulang ke Hatinya

0




"Aku akan pulang," kataku.

"Kapan?" tanyamu

Aku menggigit bibir bawahku sambil memejamkan mata. Demi apa, ini adalah pertanyaan paling sulit. Ya, walaupun masih lebih sulit hitungan-hitungan fisika jaman SMA yang tak pernah kupahami beberapa tahun yang lalu.

"Mmmm,"

"Kapan?"

"Aku pasti pulang, pasti, hanya saja.."

"Hanya saja??"

Aku menarik napas dalam-dalam. "Hanya saja, aku nggak tau kapan."

"Tapi Saf, aku.."

"Maaf, Ndre, ada sesuatu yang harus aku kerjakan. Sudah, ya.. Maaf, bye.."

"Bye.."

Aku menutup telepon. Masih sempat kudengar suara napasnya yang juga dalam. Suara napas yang bukan mengisyaratkan kelegaan, tapi kelelahan. Andre selalu bernapas dalam-dalam ketika ia sedang jenuh, lelah, ketika ada hal yang tidak bersahabat dengannya. Aku masih hapal kebiasaannya, bahkan setelah tiga tahun berlalu.

*   *   *

Ruangan berdekorasi putih ini memang sangat menawan. Harus aku akui itu. Tidak begitu banyak pernak-pernik di sana-sini. Kesannya minimalis, tapi sakral. Suasananya sangat hangat dan bersahabat. Semua orang berbaur, bahkan mereka berdua, juga berbaur di antara tamu. Hanya saja, mereka berdua ditempatkan agak di depan, sehingga para tamu bisa lebih mudah menemukan mereka. Aku berjalan semakin dekat dengan mereka. Aku tak bisa membohongi hatiku sendiri. Ada satu bagiannya yang teriris, perih. Tapi bagian lainnya mencoba menyembuhkan dengan cara membuatku ingat, bahwa memang inilah yang aku harapkan. Dan aku harus menerimanya. Harus.

"Selamat ya, Andre, Mita.."

Aku menyalami keduanya. Andre terus memandangiku sampai aku berlalu dari tempat mereka berdiri. Aku bisa merasakan tatapan mata tajam yang dulu membuatku jatuh cinta itu terus mengikuti aku. Air mataku nyaris menetes, tapi aku terlalu pandai menyimpan perih. Jadi aku mencoba tersenyum, terlihat baik-baik saja. Sampai kurasakan ada seseorang yang menyentuh pundakku, memaksaku untuk berbalik.

"Gimana kamu bisa.."

"Bisa tau kalo hari ini kamu nikah? Andre, sejak dulu, aku selalu punya mata-mata yang lebih banyak dari kamu..," aku mengatakannya sambil tertawa kecil, mencoba menghambat air mata ini turun dari peraduannya. Aku tak mau.

"Aku sudah bilang bahwa aku akan pulang. Sekarang aku pulang, aku ada di hadapan kamu. Aku sudah menepati janjiku untuk pulang, kan?" kataku.

"Tapi kenapa sekarang? Kenapa nggak satu tahun lalu? Sebelum aku melamar Mita.." katanya gusar. Aku tahu dia gusar, dari matanya. Tatapan mata yang biasanya tajam itu akan seketika buyar ketika ia merasa gusar.

"Kamu masih ingat kata-kata terakhirku sebelum aku pergi dari kota ini?"

"Bahwa Safina akan pulang ketika Andre sudah pulang?"

"Iya, yang itu. Kamu belum tahu artinya sampai sekarang?" tanyaku. Andre menggeleng.

"Aku, Safina, akan pulang ketika Andre sudah pulang, pulang ke hati wanita yang benar-benar mencintainya, yang benar-benar tak ingin kehilangannya, yang masih menginginkannya ketika dia sudah bersamaku, yang aku yakin, cintanya lebih besar dan mendalam dibandingkan aku.."