Rabu, 24 Agustus 2016

Just A Little (Self) Motivation

0

pict taken from blog.oxforddictionaries.com
Waktu SD, aku punya satu buku khusus untuk puisi-puisi yang aku tulis. Buku itu, aku simpan serapi mungkin, aku simpan baik-baik supaya nggak ada orang lain yang membacanya. Aku malu, aku merasa tulisanku jelek. Apalagi, nggak banyak temen-temenku yang juga suka nulis. Yaaa, takut diceng-cengin lah kalau sampai ada yang baca puisi-puisiku.

Hobi nulis itu semakin menjadi ketika SMP. Aku masih suka nulis puisi, tapi lambat laun mulai coba-coba nulis cerpen juga. Kelas 1, aku beranikan diri untuk ngirim karya ke majalah sekolah. Masih inget banget, setiap karya yang dimuat kan dapat honor, dan aku girang tak terkira waktu tau karyaku dimuat. Padahal honornya nggak lebih dari sepuluh ribu rupiah. Berawal dari situ, aku mulai punya keinginan untuk membiarkan karyaku dibaca banyak orang. Jadilah kelas 2, aku memberanikan diri daftar jadi redaktur majalah sekolah, dan diterima.

SMA, aku batal ikut ekskul jurnalistik di sekolah, karena aku males ikut diklatnya, hahahaha. Meskipun gitu, aku tetap suka kirim puisi atau apapun itu ke majalah sekolah. Walau nggak selalu dimuat, tapi yaah aku suka aja sih. Ah iya, waktu SMA kan lagi ngetrend-ngetrendnya facebook tuh, akupun nggak ketinggalan. Hobi nulisku makin tersalurkan karena ada fitur notes di facebook. Ada hampir dua ratus notes-ku di facebook. Dan, di luar dugaan, banyak yang suka sama tulisan-tulisanku di sana. Bukan hanya karya baru, aku dapat banyak teman baru dari tulisan-tulisan yang aku publish itu.

Beranjak kuliah, tahun 2011, aku mantap bikin blog. Blog ini, blog yang masih hidup sampai saat ini. Masa kuliah bisa dibilang jadi masa paling produktif-ku untuk nulis/posting. Aku rajin ikut event nulis mingguan-nya nulisbuku.com (salah satu website self-publishing yang sering bikin event tulis-menulis), suka ikutan lomba nulis dimana-mana juga. Karena habbit itu juga, aku berhasil ngumpulin banyak cerpen yang akhirnya aku bukukan jadi satu. Buku kumpulan cerpen amatiran yang aku sayang banget, karena itu "anak" pertamaku. Di tahun-tahun berikutnya, karyaku lumayan banyak dimuat di proyek kompilasi cerita. Masa kejayaan banget.... *terharu* *menerawang atap* *meratapi masa kini*

Sekarang, sepertinya lagi demotivasi banget. Nggak akan beralasan banyak kerjaan deh, sok sibuk amat. Tapi memang tiap hari pulang kantor bawaannya pengen tidur aja, sudah nggak mood buka laptop. Jadilah begini adanya, sudah masuk bulan Agustus, tapi baru ada 34 postingan di blog ini. Huft.

But, kapan hari akhirnya menguatkan tekad untuk ikut lomba bikin cerpen. Deadline jam 12 malam, dan aku baru mulai ngerjain jam 9 malem. Sounds crazy, but I did it well. Memang, setelah dibaca-baca lagi kok rasanya ceritanya agak maksa. Kelihatan gitu kalau mikir banget pas nulis ceritanya, hahaha. Setelah sekian lama banget nggak nulis cerita, yaaah not bad lah ya, hehehe. *excuse mu ul, isok ae*

Semangat lah ul, jangan lupakan mimpi besarmu. Ayoook banyak nulis lagi, posting lagiii!


Minggu, 21 Agustus 2016

Es Batu dalam Kopimu

1

pict taken from devonapixie.wordpress.com
Shafa merapatkan jaket birunya, lalu cepat-cepat diambilnya selembar tisu dari dalam tas. Tepat waktu, hidungnya telah ditutup tisu ketika bersin yang cukup keras itu menggema di udara. Untung saja kafe sedang agak sepi, atau perhatian seluruh pengunjung bisa langsung tertuju padanya. Sementara Shafa sedang tidak ingin jadi pusat perhatian. Dia sedang kacau. Pekerjaan yang akhir-akhir ini meluap tak karuan, badannya yang mulai lelah, dan kehujanan beberapa hari lalu benar-benar memperparah semuanya. Shafa tak pernah bisa kehujanan.

Itu juga yang membuatnya memilih tempat duduk yang tak biasa. Shafa selalu suka tempat duduk di rooftop. Memang kafe ini tidak begitu tinggi, cuma empat lantai, tapi rooftop benar-benar jadi tempat favorit Shafa.

“Ya memang nggak bakal kelihatan kayak di bukit Bintang-nya Jogja, tapi, minum kopi sambil lihat langit tuh, nikmat banget!”

Begitu katanya ketika Radit bertanya alasan Shafa selalu pilih tempat duduk di sana. Ah ya, Radit. Lelaki yang tidak pernah bosan menemani Shafa setiap minggu, bertukar cerita sambil menyesap kopi perlahan-lahan, berharap waktu tidak akan berlalu demikian cepat.

“Halo, dimana Dit? Eh? Macet? Kok tumben? Oh iya, aku lihat demo itu di berita sih, tadi sore. Oke, hati-hati.”

Shafa mengeluarkan laptop, menyambungkan flashdisk. Setelah satu tarikan napas panjang, dilanjutkannya kajian yang belum tuntas di kantor sore tadi.

Waktu menunjukkan pukul 8 malam dan kafe ini seperti baru memulai geliatnya. Your Coffee Café, nama yang simple dan mudah diingat. Strategi branding yang utama. Tempatnya tidak begitu strategis, karena harus berbelok dulu masuk gang, bukan di pinggir jalan besar. Tapi, dekorasi rumahan, wi-fi kencang, dan cita rasa membuat orang akan selalu ingin kembali ke kafe ini. Seperti Shafa dan Radit.

“Hai, Fa, maaf ya jadi lama nunggunya,” seketika Radit menghempaskan tubuhnya di sofa depan Shafa.

Shafa mendongak sejenak dari laptopnya, “It’s okay, dude. Udah pesen?”

“Udah. Kok tumben duduk di sini? Eh, bentar, kamu sakit?”

“Yaa nggak usah sampe melotot gitu juga kali, Dit. Nggak sakit kok, cuma agak nggak enak badan aja, sih.”

Radit melengos, “Sama aja kali, Fa, nggak enak badan sama sakit. Kamu sakit-sakit gitu juga masih aja minumnya yang dingin-dingin.”

“Kamu tahu aku nggak pernah suka minuman panas. Dan kopi kintamani ini, memang paling pas diminum dingin-dingin.”

Tak lama kemudian pelayan datang, mengantarkan kopi pesanan Radit.

“Kamu pesen apa itu?”

“Latte.”

“Latte? Nggak kamu banget. Kenapa?”

“Seharian perutku nggak enak, nggak tahu kenapa. Makanya kali ini pesen latte aja.”

“Ooh. Eh iya, kamu katanya ada berita penting. Berita apaan?” Shafa menutup laptopnya, firasatnya mengatakan kalau berita penting ini bukan hanya penting untuk Radit. Tapi juga penting untuknya.

Radit memperbaiki duduknya, rautnya berubah serius. Latte-nya diminum sedikit sebelum mulai bicara.

“Bu Ratna pindah tugas, Fa.”

“Mmm, Bu Ratna atasan kamu itu kan? Pindah bagian?”

“Bukan sekedar pindah bagian. Beliau ditarik ke KBRI di Belanda.”

“Wow! That’s great, Dit!” Shafa masih belum mengerti arah pembicaraan mereka kali ini.

“Yeah, great, dan aku juga diminta ikut sama Bu Ratna.”

Shafa terdiam. Beberapa detik lamanya mereka terdiam memandangi gelas kopi masing-masing.

“Belanda kan keren, Dit. Kamu bisa sekalian lanjut sekolah di sana,” Shafa menyembunyikan sedihnya.

“Iyaaa, sih. Cuma aku nggak nyangka aja bakal ninggalin Indonesia secepat ini. Tapi asyik juga sih, petualangan besar baru akan dimulai!” Radit mengepalkan tangannya ke atas dan menyeringai lebar.

“Eh, gimana, hari ini nggak jadi juga kencan sama Nando, Fa?”

“Ohmeen. Kamu tahu aku nggak pernah mau pergi sama dia, please deh.”

Radit tergelak demi melihat muka sewot Shafa ketika disinggung tentang Nando.

“By the way, temenku ada yang bikin bisnis baru, Dit!”

“Bisnis apa? Kalau kamu sampe se-excited ini sih, kayaknya berhubungan sama kopi, nih..”

“Gotchaaa! Kamu emang paham aku banget. Iya, jadi, konsepnya tuh dia bikin kopi dalam kemasan. Biasanya kan kalau kopi kemasan tuh jenisnya latte, cappuccino, ini enggak! Kopi asli Indonesia! Kopi item, kopi murni!”

“Seerius? Kamu udah cobain?”

“Belom, besok kita ke sana aja. Nggak jauh kok kafenya, di daerah Matraman situ.”

“Yaaa dari kosanmu yang emang di Kwitang ini sih emang deket. Apa kabar aku yang tinggal di Benhil. Tapi, sebagai pecinta kopi, okelah aku temenin kamu besok. Itung-itung nemenin kamu sebelum aku going abroaaaaad.”

Radit mengembangkan tangannya lebar-lebar, sementara Shafa tertawa tak habis-habis.
***

Sabtu sore yang hujan. Dari tempat duduknya di sebelah jendela, Shafa bisa mengamati dengan jelas rintik hujan besar-besar yang meliuk kesana kemari dihembus angin. Hampir badai, sebab hembusan angin sampai mengeluarkan suara menderu di luar sana. Tapi toh Shafa tetap meninggalkan kamarnya yang nyaman, berjalan kaki melewati beberapa blok rumah untuk bisa sampai ke kafe kesayangannya ini. Untunglah tadi hujan belum begitu deras, bajunya hanya basah sedikit, tapi cukup untuk membuatnya merasa dingin. Tapi, segelas kopi kintamani itu masih saja ditambahi es batu beberapa butir.

Ingatan Shafa melayang ke waktu pertama kali dia mengenal Radit. Saat itu, fiksi tentang kopi yang ditulis Shafa berhasil membawanya turut serta dalam Ekspedisi Kintamani, sejenis acara fun gathering bertema kopi yang diadakan salah satu radio terkenal di Jakarta. Maka, di sanalah dia bertemu dengan Radit. Sejuknya dataran tinggi Kintamani, Bali, menjadi saksi betapa mereka dengan mudahnya langsung dekat satu sama lain. Sesama pecinta kopi, pergi ke tempat dimana salah satu kopi terbaik Indonesia dihasilkan. Apa yang lebih sempurna daripada itu?

Sepulang dari Bali, lebih banyak lagi waktu yang mereka habiskan. Obrolan tentang pekerjaan, bertukar oleh-oleh kopi setelah dinas luar, atau bahkan hanya saling mendengarkan keluhan soal orang tua yang mulai ribut menanyakan pasangan.

Sudah terlalu jelas cinta yang dirasakan oleh Shafa. Tapi dia tidak pernah berani mengutarakannya. Tidak ada yang salah dengan perempuan yang menyatakan perasaannya lebih dulu, Shafa tahu itu. Dia hanya tak punya keberanian yang cukup besar. Shafa takut perasaannya akan membuat semua yang sudah ada menjadi berantakan. Biarlah perasaan itu dia pendam kuat-kuat, asalkan Radit tetap berada di sisinya. Shafa begitu takut kehilangan ritual Jumat sorenya bersama Radit, menyeruput kopi bersama orang yang dicintainya diam-diam.

Tapi toh semua itu sudah lama berlalu. Tiga tahun lamanya Radit di Belanda, dan hari ini, Radit akan membuat semuanya jelas. Itu yang dikatakan Radit pada Shafa di telepon tadi pagi. Bahwa ia sudah pulang, bahwa ada sesuatu yang sangat penting untuk dia sampaikan. Setelah tiga tahun yang amat sepi.

Shafa baru saja akan membereskan tasnya dan pergi, menyangka Radit tak akan datang sesuai janji. Sampai sosok lelaki yang amat dikenalnya itu berdiri di hadapannya, membawa kembali nostalgi yang menyesakkan dadanya.

“Jadi, apa yang mau kamu sampaikan, Dit?”

Lalu Radit menumpahkan segalanya. Tentang perasaan yang sekuat tenaga ia abaikan. Tentang dia yang tidak ingin membuat Shafa menunggu terlalu lama. Tentang perempuan yang sudah coba dia cintai, namun nyatanya tak cukup untuk membuat bayangan Shafa pergi.

“Kamu terlambat, Radit. Aku terlambat. Kita yang terlambat,” kata Shafa.

“Maksud kamu?”

“Aku salah karena nggak pernah jujur soal perasaanku ke kamu. Aku berharap kamu bisa ngerti, kalau aku selalu lebih pilih ngabisin akhir minggu sama kamu, bukannya sama Nando, itu pertanda kalau aku suka, aku sayang sama kamu. Tapi ternyata aku salah, karena nyatanya itu nggak cukup buat kamu bisa ngerti.”

Shafa meneguk kopinya pelan sebelum melanjutkan kata-katanya.

“Aku sudah coba menunggu, Dit. Aku sudah abaikan Nando sekian lama, tapi dia nggak menyerah juga.”

“Maafin aku, Fa. Kita bisa mulai semua dari awal..”

Shafa menggeleng. “Sayangnya aku bukan kopi panas kesukaan kamu, Radit. Aku ini kopi dingin, yang kalau kamu biarkan terlalu lama, kepekatannya perlahan-lahan memudar, rasanya jadi hambar..”

Hening menggelayuti sekitar mereka. Dua anak manusia sedang sibuk menata hatinya.

“Itu yang terjadi sama perasaan aku ke kamu,” tutup Shafa telak.

Shafa menuntaskan kintamani kesukaannya, lalu meletakkan undangan pernikahan di atas meja. Ada tulisan Shafa & Nando di sana.

Blogpost ini dibuat dalam rangka mengikuti Kompetisi Menulis Cerpen #MyCupofStory Diselenggarakan oleh GIORDANO dan Nulisbuku.com 

  

Es Batu dalam Kopimu

0

Shafa merapatkan jaket birunya, lalu cepat-cepat diambilnya selembar tisu dari dalam tas. Tepat waktu, hidungnya telah ditutup tisu ketika bersin yang cukup keras itu menggema di udara. Untung saja kafe sedang agak sepi, atau perhatian seluruh pengunjung bisa langsung tertuju padanya. Sementara Shafa sedang tidak ingin jadi pusat perhatian. Dia sedang kacau. Pekerjaan yang akhir-akhir ini meluap tak karuan, badannya yang mulai lelah, dan kehujanan beberapa hari lalu benar-benar memperparah semuanya. Shafa tak pernah bisa kehujanan.

Itu juga yang membuatnya memilih tempat duduk yang tak biasa. Shafa selalu suka tempat duduk di rooftop. Memang kafe ini tidak begitu tinggi, cuma empat lantai, tapi rooftop benar-benar jadi tempat favorit Shafa.

“Ya memang nggak bakal kelihatan kayak di bukit Bintang-nya Jogja, tapi, minum kopi sambil lihat langit tuh, nikmat banget!”

Begitu katanya ketika Radit bertanya alasan Shafa selalu pilih tempat duduk di sana. Ah ya, Radit. Lelaki yang tidak pernah bosan menemani Shafa setiap minggu, bertukar cerita sambil menyesap kopi perlahan-lahan, berharap waktu tidak akan berlalu demikian cepat.

“Halo, dimana Dit? Eh? Macet? Kok tumben? Oh iya, aku lihat demo itu di berita sih, tadi sore. Oke, hati-hati.”

Shafa mengeluarkan laptop, menyambungkan flashdisk. Setelah satu tarikan napas panjang, dilanjutkannya kajian yang belum tuntas di kantor sore tadi.

Waktu menunjukkan pukul 8 malam dan kafe ini seperti baru memulai geliatnya. Your Coffee Café, nama yang simple dan mudah diingat. Strategi branding yang utama. Tempatnya tidak begitu strategis, karena harus berbelok dulu masuk gang, bukan di pinggir jalan besar. Tapi, dekorasi rumahan, wi-fi kencang, dan cita rasa membuat orang akan selalu ingin kembali ke kafe ini. Seperti Shafa dan Radit.

“Hai, Fa, maaf ya jadi lama nunggunya,” seketika Radit menghempaskan tubuhnya di sofa depan Shafa.

Shafa mendongak sejenak dari laptopnya, “It’s okay, dude. Udah pesen?”

“Udah. Kok tumben duduk di sini? Eh, bentar, kamu sakit?”

“Yaa nggak usah sampe melotot gitu juga kali, Dit. Nggak sakit kok, cuma agak nggak enak badan aja, sih.”

Radit melengos, “Sama aja kali, Fa, nggak enak badan sama sakit. Kamu sakit-sakit gitu juga masih aja minumnya yang dingin-dingin.”

“Kamu tahu aku nggak pernah suka minuman panas. Dan kopi kintamani ini, memang paling pas diminum dingin-dingin.”

Tak lama kemudian pelayan datang, mengantarkan kopi pesanan Radit.

“Kamu pesen apa itu?”

“Latte.”

“Latte? Nggak kamu banget. Kenapa?”

“Seharian perutku nggak enak, nggak tahu kenapa. Makanya kali ini pesen latte aja.”

“Ooh. Eh iya, kamu katanya ada berita penting. Berita apaan?” Shafa menutup laptopnya, firasatnya mengatakan kalau berita penting ini bukan hanya penting untuk Radit. Tapi juga penting untuknya.

Radit memperbaiki duduknya, rautnya berubah serius. Latte-nya diminum sedikit sebelum mulai bicara.

“Bu Ratna pindah tugas, Fa.”

“Mmm, Bu Ratna atasan kamu itu kan? Pindah bagian?”

“Bukan sekedar pindah bagian. Beliau ditarik ke KBRI di Belanda.”

“Wow! That’s great, Dit!” Shafa masih belum mengerti arah pembicaraan mereka kali ini.

“Yeah, great, dan aku juga diminta ikut sama Bu Ratna.”

Shafa terdiam. Beberapa detik lamanya mereka terdiam memandangi gelas kopi masing-masing.

“Belanda kan keren, Dit. Kamu bisa sekalian lanjut sekolah di sana,” Shafa menyembunyikan sedihnya.

“Iyaaa, sih. Cuma aku nggak nyangka aja bakal ninggalin Indonesia secepat ini. Tapi asyik juga sih, petualangan besar baru akan dimulai!” Radit mengepalkan tangannya ke atas dan menyeringai lebar.

“Eh, gimana, hari ini nggak jadi juga kencan sama Nando, Fa?”

“Ohmeen. Kamu tahu aku nggak pernah mau pergi sama dia, please deh.”

Radit tergelak demi melihat muka sewot Shafa ketika disinggung tentang Nando.

“By the way, temenku ada yang bikin bisnis baru, Dit!”

“Bisnis apa? Kalau kamu sampe se-excited ini sih, kayaknya berhubungan sama kopi, nih..”

“Gotchaaa! Kamu emang paham aku banget. Iya, jadi, konsepnya tuh dia bikin kopi dalam kemasan. Biasanya kan kalau kopi kemasan tuh jenisnya latte, cappuccino, ini enggak! Kopi asli Indonesia! Kopi item, kopi murni!”

“Seerius? Kamu udah cobain?”

“Belom, besok kita ke sana aja. Nggak jauh kok kafenya, di daerah Matraman situ.”

“Yaaa dari kosanmu yang emang di Kwitang ini sih emang deket. Apa kabar aku yang tinggal di Benhil. Tapi, sebagai pecinta kopi, okelah aku temenin kamu besok. Itung-itung nemenin kamu sebelum aku going abroaaaaad.”

Radit mengembangkan tangannya lebar-lebar, sementara Shafa tertawa tak habis-habis.
***

Sabtu sore yang hujan. Dari tempat duduknya di sebelah jendela, Shafa bisa mengamati dengan jelas rintik hujan besar-besar yang meliuk kesana kemari dihembus angin. Hampir badai, sebab hembusan angin sampai mengeluarkan suara menderu di luar sana. Tapi toh Shafa tetap meninggalkan kamarnya yang nyaman, berjalan kaki melewati beberapa blok rumah untuk bisa sampai ke kafe kesayangannya ini. Untunglah tadi hujan belum begitu deras, bajunya hanya basah sedikit, tapi cukup untuk membuatnya merasa dingin. Tapi, segelas kopi kintamani itu masih saja ditambahi es batu beberapa butir.

Ingatan Shafa melayang ke waktu pertama kali dia mengenal Radit. Saat itu, fiksi tentang kopi yang ditulis Shafa berhasil membawanya turut serta dalam Ekspedisi Kintamani, sejenis acara fun gathering bertema kopi yang diadakan salah satu radio terkenal di Jakarta. Maka, di sanalah dia bertemu dengan Radit. Sejuknya dataran tinggi Kintamani, Bali, menjadi saksi betapa mereka dengan mudahnya langsung dekat satu sama lain. Sesama pecinta kopi, pergi ke tempat dimana salah satu kopi terbaik Indonesia dihasilkan. Apa yang lebih sempurna daripada itu?

Sepulang dari Bali, lebih banyak lagi waktu yang mereka habiskan. Obrolan tentang pekerjaan, bertukar oleh-oleh kopi setelah dinas luar, atau bahkan hanya saling mendengarkan keluhan soal orang tua yang mulai ribut menanyakan pasangan.

Sudah terlalu jelas cinta yang dirasakan oleh Shafa. Tapi dia tidak pernah berani mengutarakannya. Tidak ada yang salah dengan perempuan yang menyatakan perasaannya lebih dulu, Shafa tahu itu. Dia hanya tak punya keberanian yang cukup besar. Shafa takut perasaannya akan membuat semua yang sudah ada menjadi berantakan. Biarlah perasaan itu dia pendam kuat-kuat, asalkan Radit tetap berada di sisinya. Shafa begitu takut kehilangan ritual Jumat sorenya bersama Radit, menyeruput kopi bersama orang yang dicintainya diam-diam.

Tapi toh semua itu sudah lama berlalu. Tiga tahun lamanya Radit di Belanda, dan hari ini, Radit akan membuat semuanya jelas. Itu yang dikatakan Radit pada Shafa di telepon tadi pagi. Bahwa ia sudah pulang, bahwa ada sesuatu yang sangat penting untuk dia sampaikan. Setelah tiga tahun yang amat sepi.

Shafa baru saja akan membereskan tasnya dan pergi, menyangka Radit tak akan datang sesuai janji. Sampai sosok lelaki yang amat dikenalnya itu berdiri di hadapannya, membawa kembali nostalgi yang menyesakkan dadanya.

“Jadi, apa yang mau kamu sampaikan, Dit?”

Lalu Radit menumpahkan segalanya. Tentang perasaan yang sekuat tenaga ia abaikan. Tentang dia yang tidak ingin membuat Shafa menunggu terlalu lama. Tentang perempuan yang sudah coba dia cintai, namun nyatanya tak cukup untuk membuat bayangan Shafa pergi.

“Kamu terlambat, Radit. Aku terlambat. Kita yang terlambat,” kata Shafa.

“Maksud kamu?”

“Aku salah karena nggak pernah jujur soal perasaanku ke kamu. Aku berharap kamu bisa ngerti, kalau aku selalu lebih pilih ngabisin akhir minggu sama kamu, bukannya sama Nando, itu pertanda kalau aku suka, aku sayang sama kamu. Tapi ternyata aku salah, karena nyatanya itu nggak cukup buat kamu bisa ngerti.”

Shafa meneguk kopinya pelan sebelum melanjutkan kata-katanya.

“Aku sudah coba menunggu, Dit. Aku sudah abaikan Nando sekian lama, tapi dia nggak menyerah juga.”

“Maafin aku, Fa. Kita bisa mulai semua dari awal..”

Shafa menggeleng. “Sayangnya aku bukan kopi panas kesukaan kamu, Radit. Aku ini kopi dingin, yang kalau kamu biarkan terlalu lama, kepekatannya perlahan-lahan memudar, rasanya jadi hambar..”

Hening menggelayuti sekitar mereka. Dua anak manusia sedang sibuk menata hatinya.

“Itu yang terjadi sama perasaan aku ke kamu,” tutup Shafa telak.

Shafa menuntaskan kintamani kesukaannya, lalu meletakkan undangan pernikahan di atas meja. Ada tulisan Shafa & Nando di sana.

Blogpost ini dibuat dalam rangka mengikuti Kompetisi Menulis Cerpen #MyCupofStory Diselenggarakan oleh GIORDANO dan Nulisbuku.com 

  

Sabtu, 13 Agustus 2016

Weekend Escape: Trip to Semarang

2

Jumat itu adalah hari terakhir diklat, malamnya, aku sudah pesan tiket kereta ke Semarang. Perjalanan yang sudah kurancang sejak jauh hari. Sekitar dua bulan sebelumnya aku sudah browsing obyek wisata, transportasi, dan segala yang aku butuhkan untuk weekend escape kali ini, hehehe. Tapi yang penting sih di sana ada mbak Ita, seorang karib yang dulu sekantor dan sekarang Alhamdulillah sudah kembali ke homebase-nya :*

Aku memutuskan untuk naik kereta ekonomi ke Semarang. Karena, hanya kereta itulah yang nyampe-nya pagi, kereta lain bakal bikin aku nyampe dini hari di Semarang. Berhubung aku berangkat sendirian, aku nggak ambil risiko, mending pilih kereta yang nyampe-nya pagi, walau itu kereta ekonomi sekalipun. Tapi yaaah, sebagaimana kita ketahui bersama bahwa kereta ekonomi itu sering delay, demikian pula yang terjadi dengan keretaku kali ini. Tawang Jaya yang dijadwalkan berangkat jam 11 malam, delay sampai setengah jam-an kemudian. Karena sudah ngantuk luar biasa, nggak ada hal lain yang kulakukan selain tidur selama di perjalanan.

Setengah 7 pagi kereta merapat di stasiun Poncol. Berbekal gugel meps di handphone, aku mencari jalan ke hotel yang sudah kupesan sebelumnya, Hotel Surya. Syukurnya, jalan menuju hotel tinggal luruuuus aja sekeluar dari gerbang stasiun. Ada kali sekitar 600-an meter jaraknya, setara jalan kaki 10 menit. Kesan pertamaku untuk kota Semarang adalah: nice. Nggak seperti ibukota-ibukota lain di Pulau Jawa, Semarang nih nggak seberapa ramai. Cocok lah untuk yang lagi pengen liburan di kota tanpa hawa perkotaan yang terlalu pekat (?). 

Sesampainya di hotel, akupun agak deg-degan, bisa langsung cek-in nggak yaaa, secara jam cek-in nya sih jam 2 siang. Setelah tanya resepsionis, Alhamdulillaah ada kamar, jadi bisa langsung cek in walau belum jam-nya. Yeay!

Hal pertama yang kulakukan setelah nyampe kamar adalah: nggeletak di kasur!

Ngerti kan, kursi kereta ekonomi itu kayak gimana? Tegak lurus 90 derajat! Punggung rasanya hmmmm..

Setelah tidur-tiduran, ngabarin mbak Ita, dan mandi-mandi, akupun duduk manis nonton tv sembari nunggu dijemput mbak Ita. Janjian jam 8, tapi molor dengan sebab musabab yang amat ndak elit, yaitu:

Mbak Ita balik lagi ke rumah gara-gara nggak bawain helm buat aku. Hahahaha.

Jam 9an, mbak Ita datang, kami berangkat. Petualangan di Semarang dimulai dari sini!

Perut keroncongan, mbak Ita ngajakin sarapan di tempat makan deket kantor. Menu khasnya Soto bayam. Awalnya pengen nyobain, tapi begitu tau mbak Ita pesen nasi pecel, ah runtuhlah keinginanku sebelumnya. Aku ikutan makan pecel deh jadinya :p

Baru nyampe di Semarang, aku sudah dibuat terpesona dengan harga makanan yang murah. Bayangin, dua porsi nasi pecel plus lauk ditambah dua gelas esteh, total dua puluh empat rebu! Heaveeeen... :D

Perut kenyang, kami siap melanjutkan perjalanan. Destinasi pertama yang akan dikunjungi pagi ini adalah Lawang Sewu! Yup, bangunan yang sejak dulu kental dengan cerita-cerita mistisnya itu lho. Tapi tenang aja, kan masih pagi, setannya masih bobok.. :p

 Tempat parkir Lawang Sewu berada di samping luar kawasan gedung. Cukup membayar 10.000 rupiah, kita bisa menjelajah komplek Lawang Sewu sepuasnya :D


komplek Lawang Sewu dengan pohon mangga yang amat besar di tengahnya :D

koridor, jendela, pintu, menara

entah kenapa rasanya tangganya bagus :p

flower :3

galeri foto stasiun-stasiun jaman dulu :D

selfie dikit :p
Waktu ke sana, kami kebarengan rombongan wisata dari Cirebon yang nggak tanggung-tanggung jumlahnya, 5 bis besar! Jadilah foto-fotonya mesti nunggu, nyari spot yang bagus dan sepi, hihi. Jadi, Lawang Sewu ini dulunya semacam kantor gitu. Di sini juga semi museum sih, karena ada beberapa replika lokomotif, galeri foto stasiun dan jembatan jaman Belanda, dan banyak hal yang berkaitan dengan perkeretaapian. Sudah nggak ada hawa seremnya sih (ya iyalah ke sana siang-siang. cobak malem!).

Puas foto-foto, kami lanjut perjalanan ke kafe salah satu kafe hits di Semarang. Berhubung hawa yang lumayan gerah, diputuskan untuk ngeskrim aja, biar seger. Pilihan jatuh ke Linds Cafe di Jalan Papandayan. Maksud hati ingin makan eskrim sekalian menikmati pemandangan, eeeeehh ternyata lantai 2-nya baru buka jam 6 sore. Hiks. Tapi yasudahlah, kami tetep ngeskrim di situ, plus pesen satu wadah kentang goreng yang ternyata isinya bejibuuun bikin kenyang :D

Es krim, sofa, kentang goreng, dua perempuan, kombinasi yang lebih dari cocok untuk menghasilkan obrolan yang tiada habisnya. Sesiangan itu kami curhat-curhatan (aku sih yang curhat mulu, hahahaha). Jam setengah 3-an, kami cabs menuju destinasi berikutnya yaitu Masjid Agung Jawa Tengah.

Perjalanan yang ditempuh yaa lumayan jauh juga. Mungkin sekitar setengah jam-an. Setengah jam kalau di Semarang tuh jauh ya, karena jalanannya lancar, nggak kayak di Jakarta. Kami tiba di MAJT ketika sholat jamaah Ashar sudah berakhir. Diputuskan untuk nengokin menaranya dulu, tapi ternyata masih "istirahat", yaudah kami akhirnya masuk wilayah masjid, daaaaan foto-foto pastinya :D

Ada perasaan damai yang sama, ketika aku masuk masjid dimanapun itu. Dan MAJT ini, bahkan lebih megah daripada yang aku lihat di internet. Luas dan megah banget. Masjid ini memang jadi tujuan utamaku wisata ke Semarang, pengen berkunjung ke MAJT. Dan Alhamdulillah, bahkan berkesempatan untuk sholat jamaah di sini juga. Sayang sih payung-payung nya lagi tutup, karena dibukanya pas hari Jumat dan hari raya tertentu aja, hehe. Tapi tetep nggak mengurangi rasa senangku karena bisa menjejakkan kaki di masjid ini.
megah

luaaaass
wefie dikit :p

cutie lights <3
Sekitar jam lima sore, ketika matahari sudah mulai teduh, kami nyoba mengunjungi menara lagi, kali aja sudah buka. Laaah, ternyata masih istirahat, bukanya jam setengah 7 malem, alias habis maghrib. Karena akunya emang pengen banget ke sini, pengen banget naik menaranya, akhirnya kami tetep nungguin di sana. Sembari nunggu maghrib, kami jalan-jalan keliling masjid, nyari suvenir, dan curhat-curhatan (lagi) (teteeeup).

Selepas maghrib, jam setengah 7 lewat dikit, sudah nggak sabar lagi ke menara Asmaul Husna...

bahkan semakin megah di malam hari <3
 Dan pemandangan inilah yang kami dapatkan dari atas menara Asmaul Husna.. Masya Allah.. <3

kerlip kota Semarang

how beautiful <3
Alhamdulillaah keturutan sudah! Demi perut yang mulai krucuk-krucuk, kamipun beranjak meninggalkan MAJT menuju tempat makan. Setelah menimbang satu dan lain hal, diputuskan untuk makan di kawasan kota lama. Aku sebagai tamu yang baru pertama kali ke Semarang mah manuuut wae sama tuan rumah. Hahaha.

Sesampainya di kawasan kota lama, kami disambut pasar barang antik. Literally barang antik. Di sana kami ketemu sama yang namanya tustel, uang kuno, radio jadul, telepon umum, sampai gagang pintu antik. Unik-unik banget!

ketukan pintu

barang antique :3

:)
Setelah galau mau makan di angkringan, sate, atau ikan bakar, kami memilih untuk makan gulai di seberang Gereja Blenduk, hehehe. Kata mbak Ita sih, tempat makannya udah terkenal dari dulu, lupa tapiii apa namanya ya, hahaha. Dan memang enak sih, satenya, gulainya, nyaaamm :9

Selesai makan, perut kenyang, kamipun pulang setelah membuat rencana untuk besok harinya..See you tomorroooow :)

Minggu pagi, jam 9an dijemput rombongan mbak Ita. Rombongan? Iya rombongan. Mbak Ita, mas Kentos, daaan si cantik Ayla. Piye iki, liburan disambut sak keluarga, kapan lagi kan? :p

Pagi itu aku sekalian cek out, jadi selesai jalan-jalan dan beli oleh-oleh bisa langsung menuju stasiun aja, nggak usah balik ke hotel lagi. Hari kedua di Semarang, sebelum balik ke Jakarta, mbak Ita cs membawaku ke Umbul Sidomukti yang terletak di derah dataran tinggi, di Kabupaten Semarang. Kurang lebih satu jam perjalanan lah menuju ke sananya. 

Jalanan yang lancar dan menyenangkan memang jadi ciri khas Semarang kayaknya yaa. Nyaman aja deh di jalan, nggak macet. Memasuki kabupaten Semarang, mulai masuk wilayah dataran tinggi nih jalannya agak serem karena menanjak. Dan menanjak yang bener-bener menanjak, bukan yang melingkar-lingkar gitu jalannya. Tapi Alhamdulillah, mas Kentos dah ahli, ehehehe.

Jam setengah 11, kami sampai di Pondok Kopi. Di tempat ini, pengunjung bisa ngopi, bercengkrama, ditemani hawa sejuuuukk dan pemandangan hijau khas pegunungan. Betah banget lah di situ lama-lama. Makanan dan minumannya juga beragam, dan murah meriah. Semua minumannya under 20.000! Melebihi eksprektasi lah pokoknya! Yang bikin nggak asik cumaaa orang-orang yang ngerokok sih. Aku sebagai orang yang sehari-hari mengenyam polusi kota, kalau di sana kan pengennya menghirup napas dalam-dalam, menghirup udara bersih nan sejuk, bukannya asap rokok.. :(


Pondok Kopi

flower :)

Pondok Kopi (1)
Di sekitar Pondok Kopi, ada beberapa Goa yang dijadikan objek wisata. Aku sih nggak pernah tertarik wisata goa. Bukan apa-apa, aku takut aja :p

Pemandangan di sekitar Pondok Kopi memang bagus banget lah. Nggak heran, banyak orang nyari spot foto, bahkan piknik di sini juga. Aku, mbak Ita, dan Ayla tentulah nggak ketinggalan foto-foto juga :D



Ayla tantiiik :*
Puas makan dan minum di Pondok Kopi, kami beralih ke tempat selanjutnya, ke Umbul Sidomukti-nya, yang ada kolamnya. Tempatnya jauh lebih ramai dibanding pas di Pondok Kopi. Mungkin harus datang pagian lagi yaa, biar masih sepi gitu. Tapi pemandangannya tetep jempolaaan! :D

rameeee

fokus ke yang dekat, tapi perhatikan juga yang di kejauhan :)

relaxing <3

i do really love this view <3


ini tema bajunya ngga sengaja samaan :D


air terjun mini :3
Setelah puas foto-foto, kami segera cabs kembali ke kota Semarang. Kereta balikku ke Jakarta jam 4 sore, belum beli oleh-oleh. Perjalanan kembali ditempuh selama satu jam-an, plus mampir-mampir beli oleh-oleh. 

Setengah 4 sore, sampailah kami di stasiun Tawang. Ah, liburan telah usai... :")

Big thanks untuk mbak Ita sekeluarga yang sudah nemenin aku kemana-mana selama di Semarang. Terimakasih banyak atas waktunya, atas tenaganya, atas segalanya. Makasih mbak Ita untuk curhat-curhatannya, obrolannya, semuanya. Walaupun kita beberapa kali bermasalah dengan ibu-ibu rempong, wkwkwk, semoga besok-besok kalau udah jadi ibu-ibu, kita nggak begitu yaa :"") (eh kamu sih udah ibu-ibu ya, aku yang belum -__-)

Next time kalau ke Semarang lagi, tak bawa pasukan yang bisa nyetir, jadi kita tinggal duduk manis :p

Sampai jumpa lagi kapan-kapan :*



Semarang, 6-7 Agustus 2016