Minggu, 21 Agustus 2016

Es Batu dalam Kopimu

1

pict taken from devonapixie.wordpress.com
Shafa merapatkan jaket birunya, lalu cepat-cepat diambilnya selembar tisu dari dalam tas. Tepat waktu, hidungnya telah ditutup tisu ketika bersin yang cukup keras itu menggema di udara. Untung saja kafe sedang agak sepi, atau perhatian seluruh pengunjung bisa langsung tertuju padanya. Sementara Shafa sedang tidak ingin jadi pusat perhatian. Dia sedang kacau. Pekerjaan yang akhir-akhir ini meluap tak karuan, badannya yang mulai lelah, dan kehujanan beberapa hari lalu benar-benar memperparah semuanya. Shafa tak pernah bisa kehujanan.

Itu juga yang membuatnya memilih tempat duduk yang tak biasa. Shafa selalu suka tempat duduk di rooftop. Memang kafe ini tidak begitu tinggi, cuma empat lantai, tapi rooftop benar-benar jadi tempat favorit Shafa.

“Ya memang nggak bakal kelihatan kayak di bukit Bintang-nya Jogja, tapi, minum kopi sambil lihat langit tuh, nikmat banget!”

Begitu katanya ketika Radit bertanya alasan Shafa selalu pilih tempat duduk di sana. Ah ya, Radit. Lelaki yang tidak pernah bosan menemani Shafa setiap minggu, bertukar cerita sambil menyesap kopi perlahan-lahan, berharap waktu tidak akan berlalu demikian cepat.

“Halo, dimana Dit? Eh? Macet? Kok tumben? Oh iya, aku lihat demo itu di berita sih, tadi sore. Oke, hati-hati.”

Shafa mengeluarkan laptop, menyambungkan flashdisk. Setelah satu tarikan napas panjang, dilanjutkannya kajian yang belum tuntas di kantor sore tadi.

Waktu menunjukkan pukul 8 malam dan kafe ini seperti baru memulai geliatnya. Your Coffee Café, nama yang simple dan mudah diingat. Strategi branding yang utama. Tempatnya tidak begitu strategis, karena harus berbelok dulu masuk gang, bukan di pinggir jalan besar. Tapi, dekorasi rumahan, wi-fi kencang, dan cita rasa membuat orang akan selalu ingin kembali ke kafe ini. Seperti Shafa dan Radit.

“Hai, Fa, maaf ya jadi lama nunggunya,” seketika Radit menghempaskan tubuhnya di sofa depan Shafa.

Shafa mendongak sejenak dari laptopnya, “It’s okay, dude. Udah pesen?”

“Udah. Kok tumben duduk di sini? Eh, bentar, kamu sakit?”

“Yaa nggak usah sampe melotot gitu juga kali, Dit. Nggak sakit kok, cuma agak nggak enak badan aja, sih.”

Radit melengos, “Sama aja kali, Fa, nggak enak badan sama sakit. Kamu sakit-sakit gitu juga masih aja minumnya yang dingin-dingin.”

“Kamu tahu aku nggak pernah suka minuman panas. Dan kopi kintamani ini, memang paling pas diminum dingin-dingin.”

Tak lama kemudian pelayan datang, mengantarkan kopi pesanan Radit.

“Kamu pesen apa itu?”

“Latte.”

“Latte? Nggak kamu banget. Kenapa?”

“Seharian perutku nggak enak, nggak tahu kenapa. Makanya kali ini pesen latte aja.”

“Ooh. Eh iya, kamu katanya ada berita penting. Berita apaan?” Shafa menutup laptopnya, firasatnya mengatakan kalau berita penting ini bukan hanya penting untuk Radit. Tapi juga penting untuknya.

Radit memperbaiki duduknya, rautnya berubah serius. Latte-nya diminum sedikit sebelum mulai bicara.

“Bu Ratna pindah tugas, Fa.”

“Mmm, Bu Ratna atasan kamu itu kan? Pindah bagian?”

“Bukan sekedar pindah bagian. Beliau ditarik ke KBRI di Belanda.”

“Wow! That’s great, Dit!” Shafa masih belum mengerti arah pembicaraan mereka kali ini.

“Yeah, great, dan aku juga diminta ikut sama Bu Ratna.”

Shafa terdiam. Beberapa detik lamanya mereka terdiam memandangi gelas kopi masing-masing.

“Belanda kan keren, Dit. Kamu bisa sekalian lanjut sekolah di sana,” Shafa menyembunyikan sedihnya.

“Iyaaa, sih. Cuma aku nggak nyangka aja bakal ninggalin Indonesia secepat ini. Tapi asyik juga sih, petualangan besar baru akan dimulai!” Radit mengepalkan tangannya ke atas dan menyeringai lebar.

“Eh, gimana, hari ini nggak jadi juga kencan sama Nando, Fa?”

“Ohmeen. Kamu tahu aku nggak pernah mau pergi sama dia, please deh.”

Radit tergelak demi melihat muka sewot Shafa ketika disinggung tentang Nando.

“By the way, temenku ada yang bikin bisnis baru, Dit!”

“Bisnis apa? Kalau kamu sampe se-excited ini sih, kayaknya berhubungan sama kopi, nih..”

“Gotchaaa! Kamu emang paham aku banget. Iya, jadi, konsepnya tuh dia bikin kopi dalam kemasan. Biasanya kan kalau kopi kemasan tuh jenisnya latte, cappuccino, ini enggak! Kopi asli Indonesia! Kopi item, kopi murni!”

“Seerius? Kamu udah cobain?”

“Belom, besok kita ke sana aja. Nggak jauh kok kafenya, di daerah Matraman situ.”

“Yaaa dari kosanmu yang emang di Kwitang ini sih emang deket. Apa kabar aku yang tinggal di Benhil. Tapi, sebagai pecinta kopi, okelah aku temenin kamu besok. Itung-itung nemenin kamu sebelum aku going abroaaaaad.”

Radit mengembangkan tangannya lebar-lebar, sementara Shafa tertawa tak habis-habis.
***

Sabtu sore yang hujan. Dari tempat duduknya di sebelah jendela, Shafa bisa mengamati dengan jelas rintik hujan besar-besar yang meliuk kesana kemari dihembus angin. Hampir badai, sebab hembusan angin sampai mengeluarkan suara menderu di luar sana. Tapi toh Shafa tetap meninggalkan kamarnya yang nyaman, berjalan kaki melewati beberapa blok rumah untuk bisa sampai ke kafe kesayangannya ini. Untunglah tadi hujan belum begitu deras, bajunya hanya basah sedikit, tapi cukup untuk membuatnya merasa dingin. Tapi, segelas kopi kintamani itu masih saja ditambahi es batu beberapa butir.

Ingatan Shafa melayang ke waktu pertama kali dia mengenal Radit. Saat itu, fiksi tentang kopi yang ditulis Shafa berhasil membawanya turut serta dalam Ekspedisi Kintamani, sejenis acara fun gathering bertema kopi yang diadakan salah satu radio terkenal di Jakarta. Maka, di sanalah dia bertemu dengan Radit. Sejuknya dataran tinggi Kintamani, Bali, menjadi saksi betapa mereka dengan mudahnya langsung dekat satu sama lain. Sesama pecinta kopi, pergi ke tempat dimana salah satu kopi terbaik Indonesia dihasilkan. Apa yang lebih sempurna daripada itu?

Sepulang dari Bali, lebih banyak lagi waktu yang mereka habiskan. Obrolan tentang pekerjaan, bertukar oleh-oleh kopi setelah dinas luar, atau bahkan hanya saling mendengarkan keluhan soal orang tua yang mulai ribut menanyakan pasangan.

Sudah terlalu jelas cinta yang dirasakan oleh Shafa. Tapi dia tidak pernah berani mengutarakannya. Tidak ada yang salah dengan perempuan yang menyatakan perasaannya lebih dulu, Shafa tahu itu. Dia hanya tak punya keberanian yang cukup besar. Shafa takut perasaannya akan membuat semua yang sudah ada menjadi berantakan. Biarlah perasaan itu dia pendam kuat-kuat, asalkan Radit tetap berada di sisinya. Shafa begitu takut kehilangan ritual Jumat sorenya bersama Radit, menyeruput kopi bersama orang yang dicintainya diam-diam.

Tapi toh semua itu sudah lama berlalu. Tiga tahun lamanya Radit di Belanda, dan hari ini, Radit akan membuat semuanya jelas. Itu yang dikatakan Radit pada Shafa di telepon tadi pagi. Bahwa ia sudah pulang, bahwa ada sesuatu yang sangat penting untuk dia sampaikan. Setelah tiga tahun yang amat sepi.

Shafa baru saja akan membereskan tasnya dan pergi, menyangka Radit tak akan datang sesuai janji. Sampai sosok lelaki yang amat dikenalnya itu berdiri di hadapannya, membawa kembali nostalgi yang menyesakkan dadanya.

“Jadi, apa yang mau kamu sampaikan, Dit?”

Lalu Radit menumpahkan segalanya. Tentang perasaan yang sekuat tenaga ia abaikan. Tentang dia yang tidak ingin membuat Shafa menunggu terlalu lama. Tentang perempuan yang sudah coba dia cintai, namun nyatanya tak cukup untuk membuat bayangan Shafa pergi.

“Kamu terlambat, Radit. Aku terlambat. Kita yang terlambat,” kata Shafa.

“Maksud kamu?”

“Aku salah karena nggak pernah jujur soal perasaanku ke kamu. Aku berharap kamu bisa ngerti, kalau aku selalu lebih pilih ngabisin akhir minggu sama kamu, bukannya sama Nando, itu pertanda kalau aku suka, aku sayang sama kamu. Tapi ternyata aku salah, karena nyatanya itu nggak cukup buat kamu bisa ngerti.”

Shafa meneguk kopinya pelan sebelum melanjutkan kata-katanya.

“Aku sudah coba menunggu, Dit. Aku sudah abaikan Nando sekian lama, tapi dia nggak menyerah juga.”

“Maafin aku, Fa. Kita bisa mulai semua dari awal..”

Shafa menggeleng. “Sayangnya aku bukan kopi panas kesukaan kamu, Radit. Aku ini kopi dingin, yang kalau kamu biarkan terlalu lama, kepekatannya perlahan-lahan memudar, rasanya jadi hambar..”

Hening menggelayuti sekitar mereka. Dua anak manusia sedang sibuk menata hatinya.

“Itu yang terjadi sama perasaan aku ke kamu,” tutup Shafa telak.

Shafa menuntaskan kintamani kesukaannya, lalu meletakkan undangan pernikahan di atas meja. Ada tulisan Shafa & Nando di sana.

Blogpost ini dibuat dalam rangka mengikuti Kompetisi Menulis Cerpen #MyCupofStory Diselenggarakan oleh GIORDANO dan Nulisbuku.com 

  

1 komentar:

  1. Aku harap Radit juga sedang berjalan menuju jodoh yang menantinya sama seperti Shafa yang sudah menemukan pasangannya.

    BalasHapus