Sabtu, 16 September 2017

Menemuimu Sekali Lagi

0

Image result for galeri bengkel deklamasi
pict fom Journesia.id

Erick mengamati daftar kontak di smartphone-nya. Sampai pada huruf F, nama Faya, gerakan jarinya terhenti. Sejak pertemuan di taman rumah sakit itu, tak terhitung berapa kali Erick mencoba menuruti kemauan Faya untuk menghapus kontaknya. Tapi, sebanyak itu pula Erick bimbang, dan menunda menghapus nama Faya.

Gimana caranya biar bisa ketemu lagi sama Faya.

Lelaki jangkung itu kemudian bangkit dari tempat tidur. Dibukanya laci di dekat pintu kamar, satu sachet kopi bubuk sekarang berada di genggamannya. Lalu Erick beralih ke dispenser, diseduhnya kopi sachet yang tiga bulan lagi sudah tak layak minum itu. Secangkir kopi hitam panas tanpa gula. Erick tak pernah suka menambahkan gula dalam kopinya. Ia hanya ingin selalu ingat bahwa masih ada yang lebih pahit daripada masa lalunya.

Erick menggamit pegangan cangkirnya, melangkah menuju samping jendela. Kamar kos Erick ada di lantai tiga, total ada empat lantai, dengan sepuluh kamar berukuran lumayan besar di setiap lantainya. Sebenarnya masih ada beberapa kamar yang kosong di lantai dua, tapi Erick enggan pindah. Dia suka pemandangan dari ketinggian. Walaupun nih, tak ada yang benar-benar menarik untuk dipandang, hanya ada rentetan rumah-rumah yang padat di daerah Pisangan ini. Tapi buat Erick, pemandangan dari ketinggian sedikit banyak bisa mempengaruhi pikirannya untuk melihat segala sesuatu dari sudut pandang yang lebih luas, dan dari banyak sisi. Helicopter-view, istilah kerennya.

Beberapa menit kemudian, seperti teringat sesuatu, Erick menyambar handphone-nya yang tergeletak di kasur. Cepat jarinya bergerak, menyusuri foto-foto dalam gallery. Tiba-tiba penyuka kopi pahit itu tersenyum lebar. Ada foto kartu nama Faya di sana.

Biro Bantuan Hukum.

Demikian tertera jelas unit kerja tempat Faya menghabiskan lima harinya dalam seminggu.

***

Erick percaya tak ada yang namanya kebetulan. Segala sesuatu sudah digariskan, manusia cuma tak tahu saja. Selepas mengetahui tempat kerja Faya, Erick cepat menghubungi temannya di biro yang sama. Walau berbeda bagian, teman Erick mengenal Faya. Sudah tentu, gadis berlesung pipi itu pasti mencuri perhatian. Yah paling tidak, bisa mencuri pandangmu untuk sekedar menengok wajah manisnya itu.

Lagi-lagi berbekal informasi dari temannya, di hari Minggu siang yang lumayan terik ini, Erick tengah ada di depan pintu bioskop Taman Ismail Marzuki. Tidak ada film menarik yang hendak ditontonnya, keberadaannya sudah jelas karena satu sebab saja.

Selain duduk-duduk di kedai kopi, Faya punya hobi lain yang dilakukannya hampir tiap Minggu. Berkunjung ke toko buku bekas yang ada di sudut kiri Komplek Taman Ismail Marzuki. Bengkel Deklamasi.

Sebentar-sebentar Erick mengamati arlojinya. Sudah hampir satu jam, Faya belum muncul juga. Beberapa kali Erick merutuki dirinya sendiri, mana mungkin Faya pergi ke toko buku siang-siang bolong begini, bisa jadi sore hari adalah waktu yang lebih tepat untuk jalan-jalan ke sini. Tapi untuk pulang lagi, terlalu tanggung. Dia tak ingin pulang dengan tangan hampa. Apalagi hati hampa.

Lima belas menit kemudian, yang ditunggu-tunggu sejak tadi akhirnya menampakkan diri. Tampak dari kejauhan, Faya, dengan terusan selutut berwarna cokelat muda, berjalan ke arah toko buku. Seperti biasa, cardigan tampaknya tak pernah lepas dari gadis itu, kali ini berwarna hijau saphire. Erick menunggu sampai Faya benar-benar masuk toko. Hati-hati Erick bersembunyi di balik pilar depan bioskop, Faya tak boleh tahu dia sengaja berada di sini hanya untuk mencari kesempatan menemuinya kembali.

Dengan langkah satu-satu, Erick semakin mendekati toko buku. Tumpukan buku yang mulai menguning itu semakin jelas berada di hadapannya.

Oke, ambil satu buku, sok dibaca-baca, Erick bergumam dengan dirinya sendiri.

Di luar dugaan, Faya nampak menyadari keberadaan Erick. Dari balik rak buku, Faya tampak melangkah mendekat. Erick pun bersiap.

"Mas, kayak kenal, ya?" sapa Faya.

"Eh, loh, mmm, yang waktu itu ketemu di rumah sakit kan, ya? Ummm, Faya?"

"Iyaa. Eh sori mas, siapa ya namanya? Saya suka lupa nama orang, nih, maaf," Faya tertawa. Erick nyaris tampak salah tingkah. Lesung pipi itu.

"Erick. Perlu salaman lagi nih, untuk kenalan?" tawarnya yang dengan segera disambut cengiran Faya.

"Mas Erick ngapain di sini? Nyari buku apa?"

"Ngg, nggak, tadi saya habis nonton, hehe. Lumayan, nonton di TIM kan murah, terus sebelum pulang iseng mampir  ke sini dulu," kilah Erick.

"Oooh, kirain."

"Faya sering ke sini?"

"Yaa, lumayan, sebulan bisa dua atau tiga kali," jawab Faya sambil terus mengamati barisan buku di rak. Sesekali ditariknya buku yang menarik hatinya, kemudian sinopsis di cover belakang itu habis dibaca dalam beberapa detik saja.

"Dua sampai tiga kali beli buku dalam sebulan? Keren!"

"Nggak, nggak selalu beli, sih. Kadang cuma lihat-lihat aja, kalau ada yang benaran menarik, baru dibeli."

"Oh.. Hmm.. Ngomong-ngomong, ini toko buku bekas tapi rapi dan bersih, ya," Erick mencari bahan pembicaraan lain. Ada yang lupa diputuskannya sebelum berangkat ke sini:

Kalau sudah bertemu Faya, lalu mau apa?

"Eh jangan salah, di sini juga ada buku baru, mas. Tuh, di rak yang itu, tuh," kata Faya semari menunjuk rak buku berwarna putih.

Erick hanya ber-ooh dan mengangguk-anggukkan kepalanya.

"Toko buku ini punya sejarah panjang, mas. Didirikan tahun 1996, berarti umurnya sudah tiga puluh tahun lebih. Pendirinya bapak yang lagi sibuk sama laptopnya itu, namanya Jose Rizal Manua. Tahu kan? Beliau penyair. Galeri Buku Bengkel Deklamasi ini tempat bagus, kalau mas Erick cari buku tentang sastra, sejarah, dan budaya, ini tempat yang tepat!"

"Kamu tahu banyak soal tempat ini, ya, Fay. Bahkan sampai masa lalu alias sejarah pendiriannya aja kamu tahu. Beda banget sama saya."

"Beda gimana maksudnya?"

"Saya dari dulu nggak gitu suka sesuatu yang berhubungan sama hal-hal yang sudah berlalu, soal sejarah, misalnya," canda Erick.

Tapi ternyata, candaan itu ditanggapi serius oleh Faya.

"Mas, masa lalu itu ibarat ransel di punggung. Dia lekat, tapi letaknya di belakang. Dia bukan beban, tapi bekal. Bekal supaya kita nggak mengulang kesalahan yang sama. Bekal biar kita lanjutkan hidup dengan kebaikan-kebaikan yang pernah ada."

Kedua anak manusia itu saling tatap dalam hening. Erick tidak siap dengan reaksi seserius itu dari Faya. Sementara Faya, ingatannya seperti melayang ke beberapa tahun silam, ke peristiwa yang sudah membentuk pemahaman bijaksananya soal masa lalu.

"Eh, kok saya jadi sok tau begini, ya. Maaf. Saya pulang dulu deh, tiba-tiba nggak mood nyari buku. Duluan, ya."

"Eh, pulang? Bareng aja Fay, saya antar."

"Nggak perlu, saya bisa sendiri."

Faya mengayun langkahnya agak cepat. Sementara Erick tak bisa melakukan apa-apa untuk mencegahnya. Lagi-lagi seperti pertemuan pertamanya dengan gadis itu, Erick hanya bisa berdiri melihat Faya menjauh. Hatinya bimbang.

Satu.

Dua.

Tiga.

Sebelum Faya benar-benar menghilang di belokan menuju Planetarium, Erick sudah berada beberapa langkah saja di belakangnya.

"Faya, wait!"

Faya menoleh.

"Fay, sejak pertemuan kita di rumah sakit itu, saya belum hapus kontak kamu."
***

Mendoakanmu Sekali Lagi

1

Image result for sunset di jakarta
pict from mindis.id

Tempat ngopi di jalan Sabang ini tak pernah sepi. Walau tidak terlalu besar, rasa nyaman nampaknya berhasil membuat para pelanggannya betah. Aku, misalnya. Pernah satu kali aku ke sini, bersama seorang teman kantor. Saat itu kami sedang membicarakan rencana liburan ke Lombok. Dan pertemuan di hari itu langsung menghasilkan dua tiket PP Lombok-Jakarta. Okay, absurditas memang kadang mengerikan, hahaha.

Aku menengok jam tangan, sudah hampir setengah jam, dan orang yang kutunggu-tunggu belum datang juga. Chat-ku yang menanyakan keberadaannya juga belum dibalas, ah bahkan belum dibaca, sebab kedua tanda centang itu belum juga menampakkan warna birunya. Kusesap lagi greentea latte-ku.

"Permisi kak, ini singkong garlic-nya.."

"Okay, terimakasih," sahutku. Singkong garlic, cemilan pertama yang membuatku jatuh cinta pada kafe ini.

"Assalammu'alaikum, Vidya, maaf aku telat."

Sosok jangkung berambut ikal ini akhirnya datang juga. 

"Wa'alaikumussalam.. Ini dia nih, yang ditungguin dari tadi, nongol juga finally!"

"Jangan marah-marah, dong. Tadi aku kena macet tuh di Medan Merdeka, ada yang lagi demo," kilahnya.

"Kena macet doang apa plus bangun kesiangan juga?"

"Hehehehe, iya sih, itu juga," Pram nyengir.

"Lagian weekend gini di Medan Merdeka ada demo apa? Demo masak? Kebiasaan ngaretmu tuh ya, nggak ilang-ilang, Pram," protesku.

"Iya, iya, maaf. Ini, laptopmu udah beres."

"Alhamdulillah.. Ini udah tinggal pakai aja, kan?" tanyaku sambil menimang-nimang laptop baru. Dua minggu lalu aku minta tolong Pram untuk membeli laptop plus menginstall segala aplikasi yang diperlukan untuk pekerjaanku. Menimbang bahwa kantorku sedang sibuk-sibuknya, dan aku tak sempat mengamati perkembangan spesifikasi laptop-laptop baru, maka meminta pertolongan Pram adalah hal yang tepat. Soal IT begini, Pram selalu bisa diandalkan.

"Iyee, udah beres semua-muanya. Coba aja sekalian di sini. Kamu nggak mau langsung pulang kan abis nerima laptop dari aku?"

"Nggak lah."

Aku membuka laptop, menyalakannya, dan kemudian merasa takjub sendiri. Laptop ini harganya lumayan, barang yang dulu akupun hanya berani melihatnya di etalase toko, atau mungkin di tabloid-tabloid IT.

"Pram, yakin nih, kalau laptop ini nggak bakal lemot kamu isi banyak aplikasi gini?" tanyaku sambil mengutak-atik beberapa aplikasi arsitektur yang sudah diinstall Pram.

"Insya Allah, nggak, Vid. Itu RAM nya udah besar, kok, 8GB," jawabnya santai.

"Waw, kamu install-in Vectorworks Arch juga? Itu kan, buat profesional banget, Pram."

"Sure. Visioner. Insya Allah kamu akan besar juga di dunia arsitektur nantinya, Vid."

"Aamiin. Thanks ya, Pram."

"You're welcome. Eh, how's life?"

"Fine. Masih berkutat dengan lemburan hampir tiap hari. Kamu sendiri gimana, anak buah Pak Menteri?"

"Jangan lemburin kerjaan mulu, lah. Lemburin berdoa biar buruan ketemu jodoh, gih."

"Setdaah, kalau itu nggak perlu kamu suruh, Pram, hahaha."

Kami tergelak. Jodoh. Pembahasan yang tak pernah ada habisnya, setidaknya hingga saat ini.

"Vid, kamu nggak pengen tahu kelanjutan prosesku sama temenmu yang beberapa bulan lalu kamu kenalin ke aku ?"

"Alita?" tanyaku.

"Iya."

"Mmm, nggak, aku nggak pengen tahu. Proses itu kan sifatnya rahasia, Pram. Pun aku sudah menyerahkan tahapan selanjutnya ke orang yang jauhhhh lebih mumpuni ilmu dan pengalamannya dibanding aku, kan. Jadi yaa, no worry. Aku tinggal terima undangan aja, lah. Mana undangan?"

Hening.

"Kami nggak lanjut, Vid."

"Nggak lanjut?"

"Iya, sudah selesai. Nggak cocok."

"Nggak cocok?"

"Iya."

"Apanya yang nggak cocok?"

Pram tidak menjawab, dan malah meminum kopinya.

"Eh, maaf, kok aku jadi kepo banget, ya. Hahahaa. Nggak usah dijawab, Pram. Ganti top..."

"Visi kami dalam menjalani rumah tangga nantinya," Pram memotong kalimatku yang berusaha mengalihkan pembicaraan.

"Oh.. Hmm.. Yah.. Gagal deh dapat undangan, hehe. Jangan sedih, Pram. Insya Allah ada yang lebih baik, yang sedang disiapkan Allah untuk kamu," hiburku. Aku tahu Pram bercita-cita menikah di tahun ini. Sebelum ulang tahunnya yang ke tiga puluh.

"Aamiin. Kamu juga, jangan galau, jodohmu Insya Allah sedang dalam perjalanan hijrah untuk nemuin kamu, Vid."

"Enak aja, siapa yang galau? Aku kan masih dua puluh lima tahun.."

"Lah bukannya kamu tiga bulan lagi jadi dua-enam?"

"Haha iya, sih. Awas kamu, Pram!"

Pram seperti laki-laki kebanyakan, jarang sekali menampakkan eskpresi dari apa yang sebenarnya dia rasakan. Itulah sebab mengapa Pram hampir selalu tersenyum, terlihat selalu semangat. Pameran buku reliji yang mempertemukan kami beberapa tahun silam. Saat itu bahkan kami tidak bertukar nama, hanya berdiskusi singkat soal buku yang sedang sama-sama kami incar. Sampai beberapa bulan kemudian, kantor tempatnya bekerja akan dirombak total, dijadikan bangunan berkonsep ramah lingkungan. Dan yaa, proyek pembangunan itu bekerja sama dengan perusahaan konsultan arsitektur dimana aku bekerja. Bahkan, aku didapuk jadi ketua tim proyek.

"Vid, udah jam setengah enam. Pulang, yuk."

"Yuk."

Kamipun berkemas, dan tak lupa menghabiskan sisa singkong garlic beberapa slice. Pram melangkah keluar kafe, aku berada di belakangnya.

Cahaya matahari senja menimpa wajah Pram ketika berpamitan. Aku tersenyum dan menjawab salamnya. Pram memacu motornya ke arah matahari tenggelam, sementara hatiku berbisik kepada Yang Maha Tinggi..

"Ya Allah, bagaimana bila kubawa namanya kepadaMU sekali lagi?"

Rabu, 06 September 2017

Book Review: Tentang Kamu by Tere Liye

0

Image result for tentang kamu tere liye
pict taken from goodreads.com

Assalammu'alaikum wr wb

Beralih sejenak dari seri petualangan Raib, Seli, dan Ali, kali ini aku mau mengulas sedikit novel karya Tere Liye (lagi) yang berjudul Tentang Kamu. Sekilas ketika membaca judulnya, aku agak-agak berprasangka kalau ini adalah novel yang berkisah tentang cinta nan menye-menye. Tapi, kembali mengingat bahwa orang di balik buku ini adalah Tere Liye, I always expect more than just an ordinary story. I believe that there must be something special about this book. 

Dan aku nggak salah.. :)

Tentang Kamu bercerita tentang seorang pengacara muda bernama Zaman Zulkarnaen. Dia bekerja di sebuah firma hukum di London, yang mengkhususkan bidangnya pada hukum waris. Pada suatu pagi, dia mendapatkan tugas yang istimewa, menyelesaikan kasus warisan senilai 19 triliun rupiah yang ditinggalkan oleh seorang wanita bernama Sri Ningsih.

Siapa yang menyangka, penugasan itu akan membawa Zaman menelusuri kisah hidup Sri Ningsih yang sarat makna.

Petualangan Zaman dimulai di Paris. Bukannya pergi ke menara Eiffel, ia justru harus mengunjungi sebuah panti jompo tempat Sri Ningsih menghembuskan napas terakhirnya. Di sana Zaman bertemu dengan Aimee, seorang pengurus panti yang sabar dan baik hati. Melalui Aimee, pengacara muda itu mendapatkan cerita soal asal muasal Sri Ningsih sampai ke London. Dari tangan Aimee pula, Zaman mendapatkan diary Sang Pemilik Warisan, yang nantinya akan menjadi bekal utama Zaman untuk menuntaskan tugas pentingnya kali ini.

Fokus utama novel ini adalah kehidupan Sri Ningsih yang sangat-sangat tidak mudah, dan betapa mengesankannya cara wanita itu menuntaskan episode hidupnya dengan sangat apik. Terlebih lagi, bukan hanya apik untuk dirinya sendiri, tetapi diri Sri Ningsih telah menetap di hati banyak orang yang mengenalnya. Menjadi inspirasi yang tak pernah mati karena kebaikan hati dan budinya.

Sedang Zaman Zulkarnaen, tak ubahnya adalah diri kita yang sedang menelusuri jejak kehidupan Sri Ningsih. Aku sendiri paling terkesan dengan petualangan Zaman di Pulau Bungin. Aku turut merasakannya sesaknya, dan hampir putus asanya. Tere Liye pun dengan apik menggambarkan situasi "sumpek" yang ada di sana.

Banyak sekali pelajaran yang bisa diambil dari novel ini. Kalau boleh kubilang, novel ini komplit. Perjuangan hidupnya ada, sejarahnya ada, pelajaran budayanya ada, bahkan kisah cinta yang bikin melelehnya pun ada.

Cobalah nanti kalian baca kisah cinta Sri Ningsih dengan Hakan Karim. Bagaimana cara mereka bertemu, bagaimana pengorbanan yang dilakukan Hakan, kehilangan mendalam yang mereka alami, dan banyak lagi. Kisah cinta yang inspiratif, dan jauh dari galau-galauan :p

Ah iya, selain komplit, kisah dalam buku ini juga bisa dibilang kompleks. Aku curiga Tere Liye mesti menggambar pohon masalah dulu sebelum menyelesaikan Tentang Kamu. Banyak masalah yang saling bertautan, tokoh-tokoh yang saling bersinggungan, dan tentu saja..

Tere Liye tak pernah lupa menyiapkan kejutan di akhir cerita!

Spoiler dikit, setelah menjelajah berbagai tempat, nanti Zaman akan kembali ke salah satu tempat yang pernah disinggahinya. Untuk apa? Menemui siapa? :)

Buku ini memang tebal, 524 halaman. Jujur akupun nggak sanggup menghabiskannya dalam sekali duduk. Bahkan, sempat aku tinggal beberapa lama, sampai akhirnya aku lupa cerita sebelumnya, dan mulai baca dari awal lagi. Tapi sungguh, sama sekali nggak menyesal baca novel bersampul cokelat ini :D

Akhir kata, Sri Ningsih adalah sosok yang benar-benar sempurna untuk frase "hati selapang lautan" :)

Sampai jumpa di review-review selanjutnya, Insya Allah.

Wassalammu'alaikum wr wb.. :)

Minggu, 03 September 2017

Book Review: Bintang by Tere Liye

0

Image result for bintang by tere liye
pict from: goodreads

Assalammu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh :)

Beberapa waktu yang lalu terkaget-kaget waktu temen posting buku ini di instagram. What? Emang udah terbit? Kapan? Bukannya yang terakhir terbit tuh yang Matahari?

Dan aku memang ketinggalan update banget. Bintang udah terbit beberapa bulan lalu. Oh Em Ji. Langsung lah aku nyari waktu untuk beli. Beli online di website langganan, udah abis stoknya. Mau ke toko buku kok ya nggak sempat-sempat. Sampai akhirnya, buku ini kebeli juga, sekalian waktu itu beli kado buat orang kantor yang lagi promosi. Hihi finally!

Buku ini masih bercerita soal petualangan tiga sekawan, Raib, Ali, dan Seli. Kalau pada lupa, Raib adalah keturunan klan Bulan yang bisa menghilang, sementara Seli adalah keturunan klan Matahari yang bisa mengeluarkan petir dari tangannya. Lalu Ali? Ali adalah manusia biasa dari klan Bumi, yang bisa berubah jadi beruang ketika dalam kondisi terdesak.

Nah, buku ini adalah lanjutan dari buku Matahari yang belum aku buat review-nya. Haha. Nanti aku buat ya, sekarang yang ini dulu :p

Alkisah, sekembalinya dari petualangan mereka sendirian ke klan Bintang. Sendirian means tanpa melibatkan Miss Selena dkk, ya. Hal itu bermula saat Ali mencoba mesin jelajah buatannya, yang dinamai Ilo. Dengan mesin itu mereka bertiga pergi ke klan Bintang yang berada di bawah tanah, mendekati inti bumi. Singkat cerita, kepergian mereka saat itu membuahkan informasi penting, bahwa penguasa klan Bintang yang jahat memiliki rencana untuk meMeruntuhkan pasak bumi untuk menghancurkan kehidupan tiga klan lain di permukaan, yaitu klan Bumi, Matahari, dan Bulan!

Membaca buku Bintang, kita akan diajak menjelajahi klan Bintang yang menakjubkan. Negeri itu terdiri atas ruang-ruang yang berbeda karakteristik, namun bentuknya selalu simetris. Ruangan-ruangannya dihubungkan oleh lorong-lorong yang juga berbeda level, bergantung pada tingkat keamanannya untuk dilewati.

Banyak kejutan yang menanti di setiap ruangan, terutama ruangan tidak berpenghuni. Bisa saja ada monster buas, atau bahkan angin topan besar yang menghadang. Tiga sekawan tidak pergi sendirian kali ini, ada satu pasukan khusus yang menyertai, dengan dipimpin Miss Selena tentunya.

Dari segi gaya penceritaan, aku nggak bisa berkomentar banyak. Tere Liye masih saja membuatku sayang kalau nggak menghabiskan buku ini dalam sekali duduk. Ritmenya tuh, pas! Penulis favoritku ini selalu tahu bagaimana caranya mengakhiri satu bab, untuk akhirnya membuat penasaran dengan cerita di bab berikutnya. Masih juga dibuat kagum dengan imajinasinya dalam membuat cerita.

Ada beberapa hal penting yang terjadi di petualangan kali ini. Apa itu? Ya baca sendiri, lah, masa aku kasih tau di sini. Spoiler dong, hehe.

Ah iya, dugaan kalau ini adalah buku terakhir, sepertinya perlu dipikirkan ulang, deh :p

Di akhir bab, tiga sekawan dan pasukan akan mengalami dilema besar. Mereka diharuskan mengambil pilihan yang dua-duanya berisiko. Pilihan apa itu? Silakan beli bukunya dan dibaca :D

Anyway, seperti biasa, yang aku suka dari buku karangan Tere Liye adalah selalu ada pelajaran baik yang diberikan, entah tersirat, ataupun tersurat.

Kali ini, pelajaran yang aku dapat adalah, jangan sekali-sekali meremehkan status/pekerjaan orang lain. Karena, bisa saja mereka memberikan peranan penting dalam hidup kita nantinya. Seperti Baar dan kawan-kawannya yang bekerja di Ruangan Padang Sampah. Mungkin mereka dipandang sebelah mata oleh penduduk ruangan yang lain. Tapi siapa sangka, merekalah yang punya peranan penting untuk membantu perjalanan rombongan Miss Selena dalam rangka menyelamatkan kehidupan empat Klan!

Baiklah, sepertinya cukup sampai di sini dulu review-nya, ya. Hmm... Kira-kira judul buku lanjutannya, apa ya? #eh #spoiler :p

Wassalammu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh

Sabtu, 02 September 2017

Trip to Lombok: Liburan Awal Tahun part 2

2

Jumpa di postingan ke dua! Kalau nggak segera dibuat, nanti molor lagi. Jadi hari ini langsung buat postingan sambungan yang kemarin, hehe. Selamat membaca :D

24 Februari 2017

06.00
Selepas sholat subuh, sesuai agenda yang sudah kami rencanakan, kamipun jalan keluar menuju tepi pantai, sembari menunggu sepeda disiapkan. Sunrise baru nampak sedikit demi sedikit ketika jam menunjukkan hampir pukul setengah tujuh pagi. Dan, as always, warna jingganya indah bukan main.

that colour <3
jingga
menanti pagi
sunrise
the sun is rising <3
Who doest love sunrise? Aku dan mbanggi betah banget berada di situ sampai matahari benar-benar naik. Jam 7 pagi, kami mulai sepedaan menjelajah pulau Gili Trawangan. Pagi hari adalah waktu yang amat tepat untuk mengelilingi pulau ini. Suasana masih sepi, udara segar, dan bisa bebas foto di spot-spot menarik tanpa mesti bergiliran sama orang lain, wkwk.

sepedaan :D
sepedaan
sunrise
kayaknya itu rinjani (sotoy)
big sun :3
nungguin apa mbak?
perempuan itu lembut, tapi nggak lemah
menatap matahari :p
Masjid yang sedang dibangun di Gili Trawangan
Nggak salah jika Lombok dibilang Pulau Seribu Masjid. Ini juga lho yang bikin hati nyaman selama berada di Gili Trawangan. Walau di sini banyak banget bule-bule, yang otomatis budaya mereka membentuk perilaku yang amat sangat berbeda dengan budaya ketimuran, tapi karena di sini nggak lepas dari suara adzan, suara murottal sebelum adzan, nyaman sekali rasanya. Wisata lancar, ibadah pun tenang.. <3

Sekembali dari sepedaan mengelilingi pulau (literally mengelilingi ya, Gili Trawangan tuh nggak seberapa besar kok, sepedaan dua jam aja udah bisa kelilingin pulau ini), kami pesan sarapan. Tahu nggak pesan apaan? Pesan ini lagiii.. :D

nasi goreng again and agaaaain, haha
Setelah sarapan, kami langsung cabs ke pelabuhan, untuk nyeberang kembali ke Lombok. Di sana, mas Agus sudah menunggu jemput kami.

Di mobil, kami minta dianterin ke penginapan kami selanjutnya, di luar travel. Karena jatah travel kami hanya 3 hari 2 malam aja. Penginapan yang kami pesan namanya The Semeton, ala backpacker, tempatnya di deket wilayah Senggigi. Di perjalanan, kami request mampir pantai Nipah, mumpung lewat, heheehee.
kelakuan
:D
<3
gradasi warnanya <3
Walau terletak di pinggir jalan, pantai Nipah ini sepi, lho. Recommended buat kalian yang pengen pergi ke pantai yang serasa milik pribadi. Puas foto-foto, kami kembali ke mobil dan melanjutkan perjalanan. Di mobil, mas Agus nanya rencana kami besok mau ngapain. Kami bilang lah, kalau pengen ke Pantai ini dan itu bla bla bla. Naik apa? Naik motor, jawab kami. Mas Agus spontan kaget. Dari situlah mas Agus cerita kalau daerah yang mau kami kunjungi motoran berdua itu rawan. Pernah ada bule cowok yang kena begal. Jreng! Duh, dasar aku dan mbanggi emang kepedean. Hiks. Setelah berunding, akhirnya kami sepakat untuk pakai jasa mas Agus lagi aja besok. Lagipula, dari The Semeton ke penginapan yang kami pesan di wilayah Kuta, kami juga belum tau mau naik apa. Kepikiran sih naik taksi, tapi itu jauh banget. Wkwk.

13.30
Sekitar jam setengah 2 siang, kami sampai di penginapan. Mas Agus lagi-lagi kaget dengan pilihan kami menginap. Secara lokasinya masuk gang gitu, wkwk. Terus, ada tempat hiburan malam gitu ternyata di dekat situ, haha. Aduuh. Kami sampai dinasihatin, pokoknya jangan pulang malam-malam, kalau sore mau main, sebentar aja, jangan sampai malam. Bahkan mas Agus sampai nawarin besoknya dijemput pagi-pagi banget aja, hahahaha.

But overall, penginapan The Semeton ini aman, kok. Suasananya Bali banget, pemiliknya juga baik dan ramah. Beliau ngasih rekomendasi tempat beli oleh-oleh di sekitaran situ. Btw, namanya juga ala backpacker ya, yang pasti fasilitasnya ya beda sama hotel kami dua hari kemarin, hahahaha. Buat kami mah, yang penting kamar mandi dalam dan bersih, terus at least ada kipas angin. Karena penginapan ketika liburan hanyalah tempat singgah untuk tidur dan naruh barang semata.

Setelah beberes dan sholat, kami pinjam motor ke pemilik penginapan. Tujuan kami adalah nyari oleh-oleh. Jadilah sepanjang siang hingga sore, kami jalan ke beberapa tempat untuk beli oleh-oleh. Sesuai nasihat mas Agus, kami nggak pulang malam-malam. Jam 7 malam kami sudah nongkrong cantik di dalam kamar.

25 Februari 2017

09.30
Pagi itu lagi-lagi kami sarapan nasi goreng. Haha, rekor tiga hari berturut-turut. Sampai sekitar jam setengah 10, mas Agus menjemput. Agenda kami hari ini adalah ke Masjid Islamic Center, Pantai Selong Belanak, dan Pantai Mawun. Oh iya, sebelumnya kami minta mampir ke warung Sate Rembiga, karena kemarennya gagal beli, wkwk.

megah <3
:D
<3
langit-langit Asmaul Husna :)
Masjid ini ternyata juga menjadi pusat kegiatan-kegiatan Islam di Mataram. Masjidnya besar dan luas banget. Nggak susah ditemukan, karena berada di pinggir jalan besar dan didominasi warna kuning serta hijau yang sangat eye catching :D

Perjalanan kemudian dilanjutkan menuju dua pantai yang menjadi tujuan kami. Ketika (akhirnya) tahu kondisi jalanan menuju pantai-pantai itu, barulah kami paham kenapa mas Agus khawatir banget. Jalanannya sepi, kanan-kiri masih "alami" tanpa rumah penduduk. Kamipun menertawakan kenekatan kami berdua. Syukur Alhamdulillah kami ketemu driver kayak mas Agus yang care banget sama partnernya.

12.00
Sampailah ke pantai pertama, Pantai Selong Belanak :D

:D
:p
:D
peselancar
laut dan perbukitan
Pantai Selong Belanak ternyata merupakan idola para peselancar. Ombaknya nggak terlalu besar, kayaknya sih cocok buat mereka yang belajar selancar. Karenanya, di sini jauh lebih banyak bule daripada wisatawan domestik.

Puas berfoto-foto, kami lanjut perjalanan ke Pantai Mawun.

13.30

Pantai Mawun nyaris seperti pantai pribadi, mengingatkan kami dengan Pantai Nipah yang sebelumnya kami kunjungi. Di Pantai Mawun ini kami betah banget ngabisin waktu doing nothing. Hanya duduk-duduk di pinggir pantai, nikmatin suara ombak, angin sepoi-sepoi.
jejak
<3
buih ombak

duduk-duduk
<3
berjemur (?)
Lumayan lama kami ngabisin waktu di Pantai Mawun. Betah, soalnya sepi, hihi.

14.30

Bye Pantai Mawun, kami lanjut perjalanan dulu ke wilayah Kuta, penginapan kami berikutnya. Kali ini kami menginap di Maharani homestay. Mudah menemukan homestay ini karena letaknya yang berada di pinggir jalan utama. First impression, homey sekali. Pas masuk kamar, waah, luas kamarnya, hehe. Depan kamar pun ada terasnya. Di sini juga ada persewaan motor dan bisa pesan travel untuk ke bandara. Pilihan mbanggi emang nggak pernah salah :p

Sampai di homestay, kami say bye dengan mas Agus yang sudah dengan baik hati mengantar kami berkeliling selama 4 hari di Lombok. Kelak, kami sering rekomendasikan mas Agus untuk jadi driver andalan kalau teman-teman kami liburan ke Lombok :)

Setelah sholat dan beberes, kami langsung nyewa motor untuk jalan-jalan. Berbekal google maps dan petunjuk jalan, kami pergi menjelajah. Setelah sampai Kuta, sebenernya kami bingung sih, mau kemana lagi. Ada satu pantai yang mau kami kunjungi, tapi letaknya lumayan jauh, takut baliknya kemaleman. Akhirnya pilihan jatuh ke bukit Merese saja, kayaknya cihuy kalau mandang sunset dari sana.

Tapi di tengah jalan, kami lihat papan penunjuk "Pantai Seger". Nah, dasar labil, akhirnya kami nyoba ke Pantai Seger aja, hahaha. Dari gmaps sih deket.

Sesampai Pantai Seger, diluar dugaan, ternyata ada perbukitannya jugaaa :D

Kamipun langsung naik ke bukitnya.

Bukit Seger
Bukit Seger (1)
Happy!
Haha!
Hills
sea <3
hai!
<3
:D
Pemandangan yang Masyaa Allah indahnyaaa dari atas bukit ini. Selain kerbau, lumayan banyak juga anjing yang berkeliaran di sini. Tapi syukurlah kayaknya jinak sih, karena nggak ngejar kami. Di bukit inilah kami menghabiskan waktu untuk menunggu sunset. Mirip sama Pantai Mawun, atmosfernya bikin betah banget berlama-lama. Duduk-duduk, foto-foto, curhat-curhat, bahkan merenung. Merenungi kenyataan bahwa besok kami udah harus bertolak ke Jakarta, haha.

ngobrolin apa ya?
Ha!
shine!
lovely sky
mataharinya masih di atas
hampir sunset, masih terang
menanti sunset
 
matahari mulai turun





































sunset
sunset (1)
Our last sunset in Lombok <3

langitnya ungu
after sunset
Sunset yang benar-benar indah dari atas Bukit Seger <3

Setelah matahari benar-benar menghilang di garis cakrawala, kamipun berjalan menuruni bukit untuk kembali ke penginapan. Liburan kami di Lombok sudah mendekati ujungnya, besok pagi pesawat kami jam 9 menuju ke Jakarta.

26 Februari 2017

07.00
Hola! No more fried rice for today! Hhehe, soo these are our menu for breakfast :)

Roti bakar + buah vs pancake pisang +buah
Jam 8 kami cabs menuju Bandara.

wajah-wajah nggak rela liburannya kelar
see you again, Lombok <3
Alhamdulillah, liburan kami di Lombok selama 5 hari 4 malam berjalan dengan lancar. Keindahan alam Lombok nggak perlu diragukan lagi. Yang telah kami jelajahi itu masih sebagian kecilnya saja. Someday, ingin kembali ke sana dan meng-explore wisata alam lainnya, semoga Allah Mengizinkan :)

Terima kasih untuk mbanggi, partner jalan-jalan kali ini yang tak lain dan tak bukan adalah teman kantor sendiri. Karena bosan bertemu di ruang rapat, kami agendakan ketemuan dengan tema liburan, wkwk. Thanks mbanggi, karena sudah repot mencari destinasi, pesan penginapan, dan komunikasi sama travel kita. Aku selaku bendahara trip, hanya ngurusin soal uang aja, haha :p

Banyak hal menarik yang terjadi selama liburan. Mulai dari kebawa arus pas snorkeling, terpesona sama fasilitas hotel yang beyond expectation, makan nasi goreng tiga hari berturut-turut, sampai selalu bongkar pasang packing tiap hari karena tempat nginap kami yang berbeda terus setiap harinya.

Satu hal penting yang juga kami pelajari adalah, nggak ada ruginya percaya dengan orang setempat kalau soal keamanan. Jangan nekad, apalagi kalau kamu perempuan.. :p

Adalah benar bahwa trip ini berlangsung di bulan Februari, dan baru dibikin postingannya bulan September, ahahaha. Dont know why, semangat posting lagi turun-turunnya :(

Baiklah, akhir kata, semoga informasi yang ada dalam postingan ini bermanfaat untuk kalian-kalian yang mau jalan-jalan ke Lombok. 

Jangan lupa, jadikan travelling sebagai sarana bersyukur kepada Allah atas nikmatNYA yang tiada tara.

Karena di setiap perjalanan, tersimpan hikmah. Tugas kita menemukannya.

Wassalammu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh :)

Budget info:
1. Bayar travel untuk libur 3 hari 2 malam all in : Rp1,8 juta per pack
2. Tiket pesawat PP: Rp1,5 juta per orang
3. Penginapan ala backpacker, if i'm not mistaken, harganya sekitar Rp150 rebuan per malam
4. Mobil seharian all in (driver, mobil, bensin) Rp500 rebu
5. Biaya hidup selama 3 hari di luar travel (sewa motor, penginapan, makan, dll) Rp500 rebu per orang.


see ya :)
ps: cek postingan part 1 di sini yaa :D