Sabtu, 16 September 2017

Mendoakanmu Sekali Lagi

1

Image result for sunset di jakarta
pict from mindis.id

Tempat ngopi di jalan Sabang ini tak pernah sepi. Walau tidak terlalu besar, rasa nyaman nampaknya berhasil membuat para pelanggannya betah. Aku, misalnya. Pernah satu kali aku ke sini, bersama seorang teman kantor. Saat itu kami sedang membicarakan rencana liburan ke Lombok. Dan pertemuan di hari itu langsung menghasilkan dua tiket PP Lombok-Jakarta. Okay, absurditas memang kadang mengerikan, hahaha.

Aku menengok jam tangan, sudah hampir setengah jam, dan orang yang kutunggu-tunggu belum datang juga. Chat-ku yang menanyakan keberadaannya juga belum dibalas, ah bahkan belum dibaca, sebab kedua tanda centang itu belum juga menampakkan warna birunya. Kusesap lagi greentea latte-ku.

"Permisi kak, ini singkong garlic-nya.."

"Okay, terimakasih," sahutku. Singkong garlic, cemilan pertama yang membuatku jatuh cinta pada kafe ini.

"Assalammu'alaikum, Vidya, maaf aku telat."

Sosok jangkung berambut ikal ini akhirnya datang juga. 

"Wa'alaikumussalam.. Ini dia nih, yang ditungguin dari tadi, nongol juga finally!"

"Jangan marah-marah, dong. Tadi aku kena macet tuh di Medan Merdeka, ada yang lagi demo," kilahnya.

"Kena macet doang apa plus bangun kesiangan juga?"

"Hehehehe, iya sih, itu juga," Pram nyengir.

"Lagian weekend gini di Medan Merdeka ada demo apa? Demo masak? Kebiasaan ngaretmu tuh ya, nggak ilang-ilang, Pram," protesku.

"Iya, iya, maaf. Ini, laptopmu udah beres."

"Alhamdulillah.. Ini udah tinggal pakai aja, kan?" tanyaku sambil menimang-nimang laptop baru. Dua minggu lalu aku minta tolong Pram untuk membeli laptop plus menginstall segala aplikasi yang diperlukan untuk pekerjaanku. Menimbang bahwa kantorku sedang sibuk-sibuknya, dan aku tak sempat mengamati perkembangan spesifikasi laptop-laptop baru, maka meminta pertolongan Pram adalah hal yang tepat. Soal IT begini, Pram selalu bisa diandalkan.

"Iyee, udah beres semua-muanya. Coba aja sekalian di sini. Kamu nggak mau langsung pulang kan abis nerima laptop dari aku?"

"Nggak lah."

Aku membuka laptop, menyalakannya, dan kemudian merasa takjub sendiri. Laptop ini harganya lumayan, barang yang dulu akupun hanya berani melihatnya di etalase toko, atau mungkin di tabloid-tabloid IT.

"Pram, yakin nih, kalau laptop ini nggak bakal lemot kamu isi banyak aplikasi gini?" tanyaku sambil mengutak-atik beberapa aplikasi arsitektur yang sudah diinstall Pram.

"Insya Allah, nggak, Vid. Itu RAM nya udah besar, kok, 8GB," jawabnya santai.

"Waw, kamu install-in Vectorworks Arch juga? Itu kan, buat profesional banget, Pram."

"Sure. Visioner. Insya Allah kamu akan besar juga di dunia arsitektur nantinya, Vid."

"Aamiin. Thanks ya, Pram."

"You're welcome. Eh, how's life?"

"Fine. Masih berkutat dengan lemburan hampir tiap hari. Kamu sendiri gimana, anak buah Pak Menteri?"

"Jangan lemburin kerjaan mulu, lah. Lemburin berdoa biar buruan ketemu jodoh, gih."

"Setdaah, kalau itu nggak perlu kamu suruh, Pram, hahaha."

Kami tergelak. Jodoh. Pembahasan yang tak pernah ada habisnya, setidaknya hingga saat ini.

"Vid, kamu nggak pengen tahu kelanjutan prosesku sama temenmu yang beberapa bulan lalu kamu kenalin ke aku ?"

"Alita?" tanyaku.

"Iya."

"Mmm, nggak, aku nggak pengen tahu. Proses itu kan sifatnya rahasia, Pram. Pun aku sudah menyerahkan tahapan selanjutnya ke orang yang jauhhhh lebih mumpuni ilmu dan pengalamannya dibanding aku, kan. Jadi yaa, no worry. Aku tinggal terima undangan aja, lah. Mana undangan?"

Hening.

"Kami nggak lanjut, Vid."

"Nggak lanjut?"

"Iya, sudah selesai. Nggak cocok."

"Nggak cocok?"

"Iya."

"Apanya yang nggak cocok?"

Pram tidak menjawab, dan malah meminum kopinya.

"Eh, maaf, kok aku jadi kepo banget, ya. Hahahaa. Nggak usah dijawab, Pram. Ganti top..."

"Visi kami dalam menjalani rumah tangga nantinya," Pram memotong kalimatku yang berusaha mengalihkan pembicaraan.

"Oh.. Hmm.. Yah.. Gagal deh dapat undangan, hehe. Jangan sedih, Pram. Insya Allah ada yang lebih baik, yang sedang disiapkan Allah untuk kamu," hiburku. Aku tahu Pram bercita-cita menikah di tahun ini. Sebelum ulang tahunnya yang ke tiga puluh.

"Aamiin. Kamu juga, jangan galau, jodohmu Insya Allah sedang dalam perjalanan hijrah untuk nemuin kamu, Vid."

"Enak aja, siapa yang galau? Aku kan masih dua puluh lima tahun.."

"Lah bukannya kamu tiga bulan lagi jadi dua-enam?"

"Haha iya, sih. Awas kamu, Pram!"

Pram seperti laki-laki kebanyakan, jarang sekali menampakkan eskpresi dari apa yang sebenarnya dia rasakan. Itulah sebab mengapa Pram hampir selalu tersenyum, terlihat selalu semangat. Pameran buku reliji yang mempertemukan kami beberapa tahun silam. Saat itu bahkan kami tidak bertukar nama, hanya berdiskusi singkat soal buku yang sedang sama-sama kami incar. Sampai beberapa bulan kemudian, kantor tempatnya bekerja akan dirombak total, dijadikan bangunan berkonsep ramah lingkungan. Dan yaa, proyek pembangunan itu bekerja sama dengan perusahaan konsultan arsitektur dimana aku bekerja. Bahkan, aku didapuk jadi ketua tim proyek.

"Vid, udah jam setengah enam. Pulang, yuk."

"Yuk."

Kamipun berkemas, dan tak lupa menghabiskan sisa singkong garlic beberapa slice. Pram melangkah keluar kafe, aku berada di belakangnya.

Cahaya matahari senja menimpa wajah Pram ketika berpamitan. Aku tersenyum dan menjawab salamnya. Pram memacu motornya ke arah matahari tenggelam, sementara hatiku berbisik kepada Yang Maha Tinggi..

"Ya Allah, bagaimana bila kubawa namanya kepadaMU sekali lagi?"

1 komentar:

  1. Masih kah ia mendengar bisikan hati mu ? Berbisiklah hingga lelah fajar tenggelam..

    BalasHapus