Minggu, 27 Maret 2016

Trip to Papandayan Part 3

3


Semalaman aku nggak bisa tidur. Mmm, bisa sih, tapi berkali-kali kebangun. Gara-gara apalagi kalau nggak karena parno babi hutannya nyerang tenda lagi. Tiap ada suara, aku selalu kebangun, sekalipun itu cuma suara kresek-kresek mbak titis yang lagi mbenahi sleeping bag-nya. Nggak cuma itu, aku juga berkali-kali mimpi tasku ditarik-tarik babi. Pokoknya berharap banget segera pagi deh, nggak tenang setiap lihat arloji yang menunjukkan waktu dini hari.

Akhirnya subuh menjelang, aku dan mas imam beranjak ke mushola. Terlihat banyak pendaki yang sudah memulai perjalanannya lagi menuju hutan mati atau mungkin malah ke tegal alun. Barisan cahaya head lamp terlihat beriringan menuju satu jalur yang sama. Padahal hawa masih dingin banget, apalagi selesai wudhu, baaaahh menggigil euy!

Selesai sholat subuh, kami kembali ke tenda, bersiap-siap mau ke hutan mati, lalu lanjut ke tegal alun. Masih mencoba menggenapkan nyawa karena tidur yang nggak pulas semalaman, aku ngobrol absurd sama mbak titis. Mulai ngomongin mimpi babi, sampe tempat-tempat perawatan muka yang nggak ada satupun yang pernah aku jamah. Lagi asik-asik ngobrol, tiba-tiba tenda kami gerak-gerak. Grasak-grusuk. Aku yang pertama kali nyadar.

"Ih mbak, kok gerak-gerak, nih?"

Aku kayak membeku seketika. Mungkinkah babinya kembali?

Refleks aku langsung nutup tenda, dan manggil-manggil mas yogi serta mas imam (manggil siapa lagi coba kalau nggak manggil mereka).

"Mas yog.. Mas yog.. Mas imam.. Duuuh, ada babi nih kayaknyaaa.. Aduuu.."

Terdengar mas imam malah manggil mas yogi juga. Duh, gawat, jadi keinget kejadian di malam harinya, kan, yang kami manggil-manggil mas yogi. Aku makin panik.

Sampai tiba-tiba...

Terdengar suara cekikikan mas yogi, yang perlahan jadi ketawa ngakak.

Baiklah, siluman babi pagi itu dipersembahkan oleh keusilan mas yogi.. -_______-

Dan ketakutanku atas serangan babi di pagi itu jadi bahan ceng-cengan sepanjang jalan menuju hutan mati. Tapi, fakta mengungkap ternyata bukan cuma aku yang mimpiin tuh babi, mas imam juga, hahaha.

"Tega-teganya mas yogi. Aku semaleman mimpi babi melulu, tau!"

"Sama aul, saya juga. Ngeri kalau tiba-tiba babinya masuk tenda, kan bolong itu tendanya," kata mas imam.

"Mimpi sih mimpi mas, tapi kenapa mesti bangunin saya juga?" sahut mas yogi.

Kamipun ketawa-ketawa. Kesimpulannya adalah hanya mbak titis yang tidurnya pules banget malam tadi.

Karena hujan di hari sebelumnya, jalur awal menuju hutan mati jadi becek parah. Jadi kami mencari jalur lain untuk menghindari beletokan tadi, agak melipir ke hutan gitu deh. Memang tetep aja tanahnya becek, tapi nggak seberapa parah. Dalam perjalanan ini juga kami menyadari bahwa suara "krik krik krik" yang terdengar di area camp ternyata adalah suara pipa air.

"Saya kira suara serangga.." kata mas imam menyadari kekhilafannya, wkwkwk :p

Kami start perjalanan dari tenda sekitar jam 6 kurang dikit. Barang bawaan sebagian besar kami tinggalkan di tenda. Mas imam dan mbak titis tetap bawa tas besarnya, mas yogi bawa tas ransum, sementara aku bawa tas kecil berisi barang berharga (uang urunan, red.). Medan menuju hutan mati tidak terlalu berat, sesekali ada tanjakan, tapi lebih banyak landainya. 

menjelang Hutan Mati



Tiga puluh menit berjalan, sampailah kami di hutan mati.

view Hutan Mati


Masya Allah kerennyaaaaa... <3

oranye sunrise nya masih kelihatan <3

Keren!

Berbatang-batang pepohonan yang meranggas nggak menyisakan daun barang sehelaipun, tanah yang berwarna putih (tanah kapur nih sepertinya), guratan warna kuning di kejauhan sisa sunrise, asap dari kawah, dan latar pemandangan gunung-gunung (entah gunung apa) benar-benar membuat mata dan hati ini terpesona. Sudah banyak orang yang ada di sana, mungkin mereka sudah jalan sebelum matahari menampakkan terangnya. Tapi, hutan mati, bahkan seusai sunrise tetap nggak kehilangan eksotismenya.

eksotis

Happy banget rasanya bisa sampai sejauh ini. Kamipun foto-foto di berbagai sisi, berbagai pose, berbagai ekspresi. Setelah puas foto-foto, kami sepakat untuk makan bekal dulu. Makanlah kami beberapa jelly, roti, biskuit, dan minum air mineral. Perut lapar memang, tapi sedikit makan lebih baik daripada kekenyangan. Sambil makan, kami berunding apa mau ke puncak atau nggak. Disepakati bahwa kami akan muncak, biar sah naik gunungnya, hahaha.



entah itu gunung apa :p

kawah di bawah yang selalu berasap

ngeri fotonya

Jam 7.20, kami mengemasi ransum dan memulai lagi perjalanan ke tegal alun. Kami berempat belum ada yang tau jalan ke tegal alun, tapi mengamati beberapa kelompok yang melanjutkan perjalanan, kami mulai bisa "menggambar" jalur menuju tegal alun. Ada beberapa yang lewat jalur nan terjal, ada yang menghilang di balik rimbun pepohonan, sepertinya sih jalur yang lebih landai. Kamipun akhirnya memilih jalur yang landai aja, nyari aman aja lah kalau bawa amatiran mah :p

Setelah berjalan beberapa jauh, kami agak nggak yakin dengan jalan yang diambil. Tapi, begitu melihat akang-akang jualan tahu goreng, legalah kami, pasti jalur ini benar yang dilalui orang-orang yntuk mencapai tegal alun.

jual tahu di situ, bro!

"Kalau ke tegal alun lewat sini ya, kang?"

"Iya, ada dua jalur. Kalo lewat yang kanan, itu yang terjal. Kayak itu tuh yang pada naik.."

Mata kami mengikuti arah yang ditunjuk si akang, lalu terlihatlah jaket dan tas warna-warni di atas sana, naik dengan medan yang curamnya banget-banget. Aku bergidik, ngeri.

"Nah, kalau mau yang agak santai, ini lurus aja, terus belok kiri, situ yang landai. Tergantung kemampuan aja.."

Mas imam langsung menyarankan ambil jalan yang landai aja, mungkin karena nggak tega sama aku dan mbak titis, haahahaha. Kamipun segera pamitan melanjutkan perjalanan.

Jalur lumayan menanjak, sesekali landai. Kemudian, sampailah kami di jalur yang sudah dekat dengan tegal alun (karena papasan dengan banyak orang di sini). Jalur menanjak banget (sampai harus pegangan bebatuan dan tanaman sekitar) kombinasi tanah dan bebatuan. Aku menelan ludah dan membatin "buset kudu naik sini, nih?". Tapi terlalu sayang untuk kembali kan, jadiin aja dah!

salah satu jalur yang bikin jiper, haha

Di jalur yang curam dan nggak seberapa lebar ini, kita kudu sabar berbagi jalan dengan orang-orang yang akan turun, gantian. Tapi senang sih, setiap papasan, selalu saling kasih bantuan dan semangat.

"Aul, kepikiran nggak ntar turunnya gimana?" tanya mas imam tiba-tiba. Seperti bisa baca pikiranku aja nih orang, haha.

"Hahaha, kepikiran sih mas. Ah, tapi nggak usah dipikirin deh. Turun masalah nanti, yang penting sekarang naik dulu," kataku.

"Sip."

Jalur yang lumayan menyiksa itu kami tempuh selama sekitar 10-15 menit. Hingga akhirnya jalur melandai, diikuti pemandangan padang edelweis yang cantik...

tegal alun <3


bunga bunga yang cantik :3

Di situ kami langsung sibuk ngambil foto, foto pemandangan ataupun foto di sendiri alias selpi, hehe. Tak lama kemudian, iseng kami kumat. Gara-gara mas yogi bilang,

"Eh kayak yang di film india ya, joget-joget di rerimbunan gitu.."

Akhirnyalah kami bikin video lucu-lucuan, timbul tenggelam di antara rerimbunan edelweis, hahaha. Kocak abis :D

jurus tendangan angin!



tinggian bunga atau gunungnya?



gerak dikit, cekrek!

Setelah puas foto-foto dan istirahat, kamipun mulai mencari jalan untuk ke puncak. But, we really dont have idea about the track. Kalau lihat peta, semestinya ke arah kanan. Kamioun sempat bertanya ke rombongan yang lagi foto-foto, tapi mereka juga nggak tahu. Akhirnya kami coba-coba cari jalan sendiri. Mas yogi di depan, mencari jalan. Kami mulai memasuki rerimbunan edelweis, mayan juga edelweisnya setinggi aku (berarti nggak tinggi-tinggi amat ya, oke fine).

"Ada jaring laba-laba mas, berarti nggak ada yang lewat sini, nih," tutup mas yogi.

setelah nggak nemu jalan muncak, foto aja dah :p



Baiklah, sepertinya kami harus mengubur niat untuk muncak. Kami kembali ke jalan semula, melanjutkan perjalanan balik ke Pondok Saladah. Sebelum benar-benar turun, kami ketemu mas-mas yang lagi duduk-duduk. Mas yogi yang kayaknya masih penasaran pun menyempatkan bertanya.

"A' kalau puncaknya tuh sebelah mana sih?"

"Puncaknya papandayan?"

Kami mengangguk.

"Kalau puncak papandayan mah nanti ke hutan mati tuh turun, terus naik lagi, itu baru puncak 1. Dari puncak 1 turun, terus naik lagi, itu puncak 2."

Aku melongo, "Balik aja deh, yuk." >.<

sebelum balik, selpi dulu :D

Akhirnya kami lanjut perjalanan untuk turun kembali ke camp. Di jalur yang tadi, jalan turun terasa lebih berat daripada waktu naik. Waktu naik kan tantangannya berat badan sendiri, gimana ngangkatnya. Nah kalau turun, di jalur macam itu, gimana caranya ngelawan rasa takut jatuh, takut kepeleset, karena kalau sampai jatuh nggelundung tuh nggak ada lucu-lucunya. Serem sih yang ada.

Senada dengan waktu naik, kali inipun kami berpapasan dengan rombongan yang baru naik dari bawah. Dari atas, jalur ini nampak lebih curam. Hii.

Ada ibu muda yang nanyain kami, beliau terlihat kelelahan.

"Duh, ini nanjaknya masih berapa jauh lagi ya? Saya mau nanya sama yang cewek aja, deh."

Kami sempet ketawa. "Dikit lagi kok, Bu, beneran deh. Semangaat!" jawabku dan mbak titis.

Setelah sampai dasar jalur, aku nyeletuk, "Ibu tadi nggak mau nanyain kalian yang cowok biar standarnya sama kali, ya. Hahaha"

Celetukan itupun dibalas oleh mas imam dan mas yogi dengan...

"Ketauan tuh pasti sering diboongin laki-laki.."

"Iya, makanya nggak percaya sama cowok-cowok.."

Kamipun ngakak tak terkira.

sebelum lanjut perjalanan, jajan tahu dulu :D

Kami sampai di Pondok Saladah sekitar jam setengah 11 siang. Mbak titis langsung beberes mau mandi katanya. Sementara aku selonjoran sebentar di dalam tenda. Mas yogi dan mas imam dengan baik hatinya malah siap-siap masak untuk makan kami sebelum menempuh perjalanan pulang. Di sini saya merasa gagal sebagai wanita, hahaha.

sibuk, chef? :p

Chef alam bebas alias mas yogi segera menyiapkan peralatan guna memasak ransum kami yang tersisa. Menu kami siang itu adalah, kimbo semur daging, indomie rasa sop buntut, sekaleng ikan sarden, dan buah kelengkeng. Tadaaaaa, makan besaaaarrr!

makanan ini yang membuatku naik sekilo >.<

Kami sepakat untuk turun setelah sholat dhuhur. Rombongan Furqon cs sudah duluan turun sejak tadi, kami kan jadi pakai mobil yang sama untuk balik ke terminal, jadi biar cepet, Furqon nyaranin untuk turun lewat jalur hutan mati belok kiri, alias bukan turun via jalur kami naik ke Pondok Saladah ini. Katanya sih bisa hemat waktu banget.

Finally jam setengah 2 kami cabs dari Pondok Saladah menuju camp David lewat jalur yang disarankan sama Furqon. Tadi kabut udah sempat turun, kami berdoa biar hujan nggak turun dulu seperti sehari sebelumnya. Alhamdulillah cuaca cerah banget malahan. Kami kembali menyusuri jalur ke hutan mati.
foto dulu sebelum meninggalkan hutan mati nan eksotis

Sampai di hutan mati, kami mencari-cari arah, belok kirinya sebelah mana ya? Setelah foto-foto sebentar (hutan mati di siang hari ketika sepi orang tuh suasananya beda banget, jadi senduuu banget deh), kami mengamati beberapa pendaki yang kayaknya mau turun, mereka lewat ujung kiri hutan mati. Jadilah kami mengikuti para pendaki itu.

sebelum menikmati jalur terjal

Dan ternyataaa, jeng jeeeeengg, terjal bro jalurnya! Nggak sempet kepikiran foto-foto deh selama ngelewatin jalur terjal itu. Yang ada di pikiran cuma gimana caranya biar nggak kepeleset kerikil-kerikil dan bebatuan. Beberapa kali aku lebih pilih duduk dan merosot karena takut jatuh (semoga sih nggak ada yang kena reruntuhan kerikil di bawah, haha). Dari jalan itu, kami bisa lihat jalur yang kami lewati kemaren pas naik ke Pondok Saladah di kejauhan. Berarti memang bener, jalur terjal ini memangkas banyak waktu perjalanan jadi lebih singkat. Tapi ya nggak nyantai juga nih, harus ekstra hati-hati biar nggak tergelincir.


Jam menunjukkan pukul 15.45 ketika kami sampai di camp David dan ketemu sama Furqon cs. Dari sana, kami langsung naik mobil menuju terminal. Perjalanan cukup jauh, kami menghabiskan waktu perjalanan dengan tidur. Jam 5 sore kami tiba di terminal, sekaligus berpisah dengan Furqon cs yang masih mau nanti-nanti dulu pulangnya.

Kami berempat memilih rute yang berbeda, yaitu naik bis yang ke Cililitan, bukan Pasar Rebo, karena dinilai lebih dekat dengan tempat tinggal kami yang ada di Jakpus semua. Tidak ada yang bisa diceritakan di perjalanan pulang, karena kami berempat sukses tertidur pulas sampai Jakarta.

Jam setengah 10 malam, bis sampai di terminal Cililitan. Kembali kami memesan uber untuk mengantar kami ke kosan satu per satu.

Trip Papandayan berakhir tanggal 20 Maret, jam 10 malam, di Jakarta.


Terima kasih aku ucapkan untuk mbak titis yang sudah menemaniku di trip kali ini, menjadikanku bukan satu-satunya wanita di rombongan. Makasih ya mbak, bahkan kamu baru aja kelar diklat sehari sebelum berangkat, dan lagi agak nggak enak badan. But, we did it well, mbak! Kita berhasil naik Papandayan!





Terima kasih untuk mas imam yang sudah ikutan trip, menemani mas yogi ngejagain dua orang amatiran naik gunung ini, hehe. Terima kasih sudah paham banget sama aku dan mbak titis yang perlu sering berhenti karena ngos-ngosan capek, dan selalu membantu milihin jalan yang aman dan nyaman buat dilalui. 



Last but not least, terima kasih untuk mas yogi, yang sudah bikin trip ini, nyari info ini itu. Terima kasih sudah sangat multi tasking selama tiga hari ttrip, jadi porter, fotografer, juga koki. Sebagai anak gunung sejati, thanks sudah sabar ngetrip bareng aku dan mbak titis yang masih newbie, hahaha. Akhirnya kamu ke Papandayan juga ya, setelah satu tahun lebih berlalu sejak awal kamu pindah ke Jakarta. Congrats! :D





Terima kasih gaes telah menjadi teman seperjalanan yang hebat karena kesabaran, bantuan, dan lain sebagainya. Ini adalah perjalanan pertamaku naik gunung, dan aku melaluinya bersama partner yang tepat. Banyak kesan dan pelajaran yang bisa diambil selama perjalanan. Kalau ditanya kapok atau nggak naik gunung, Insya Allah sih nggak kapok. Tapi tetep kalau ditanya pilih gunung atau pantai, aku lebih suka ke pantai, hahaha.

Akhir kata,
Setiap destinasi pasti punya cerita, tapi partner seperjalanan-lah yang membuat cerita itu punya makna :)

Sampai jumpa lagi di petualangan selanjutnya :D




Bonus, siapa tahu berguna untuk yang nyari info trip ke Papandayan:
Bis ekonomi AC Jakarta-Garut/Garut-Jakarta Rp 52.000 per orang
Angkot dari terminal Guntursari ke pasar Cisurupan Rp 20.000 per orang plus biaya ngikat tas Rp 5.000 per orang
Mobil dari pasar Cisurupan ke camp David Rp 35.000 per orang (ternyata mobil ini bisa disewa juga dari camp David langsung ke terminal, cuma Rp 45.000 per orang!), ada juga yang pakai pick up dengan biaya yang lebih murah (makin banyak orangnya, makin murah tarifnya)
Uang masuk Papandayan Rp 10.000 per orang
#visitPapandayan

Sabtu, 26 Maret 2016

Trip to Papandayan Part 2

2



Setelah puas beberapa kali foto di camp David, saatnya hiking benar-benar dimulai. Aku menarik napas dalam-dalam sambil mengucap Bismillah. Bismillah semoga kuat, semoga nggak menyusahkan teman-teman, hehe. Trek awal yang kami jumpai adalah jalan beberapa tapak (bukan setapak, karena lebar) campuran antara tanah dan bebatuan, sementara kanan dan kiri rimbun pepohonan. Kondisi jalan masih landai, masih bisa nyanyi-nyanyi dan ngobrol ketawa-ketawa. Nggak seberapa lama, trek landaipun hilang, berganti trek batu-batu nan gersang, sementara di samping adalah kawah yang mengeluarkan asap. Keren!

kawah berasap di belakang

padahal aslinya mau foto pose kentut tuh :p



Jalanan yang mulai menanjak, lumayan bikin aku ngos-ngosan. Beruntunglah dapat partner perjalanan yang amat sabar dengan amatiran macam aku. Tanjakannya lumayan sih menurutku. Rasa ngos-ngosan jalan nanjak 3 menit tuh hampir sama kayak ngos-ngosannya abis lari muterin lapangan banteng 2 puteran (lemah -__-). Kami berhenti-berhenti tiap beberapa menit jalan. Sepanjang perjalanan, mataku nggak lepas dari terpesona dengan pemandangan di sekitar. Satu sisi adalah tebing dengan pepohonan hijau nan sejuk, sementara di sisi lain adalah hamparan putih setengah kuning gundukan belerang dan kawah yang asapnya nggak berhenti terhembus dari celah bebatuan. Tentu kami nggak lupa mengabadikan setiap momen berharga di sini :D

hijau hijau nan menyejukkan mataa :)



jalan dikit, cekrek!

Di sela-sela perjalanan, beberapa kali kami menjumpai bapak-bapak yang naik motor trail dan bawa barang segambreng di bagian belakangnya. Terlihat jelas banget usaha yang dilakukan beliau-beliau amatlah berat. Motornya harus beberapa kali berhenti, entah karena mesinnya yang mulai panas, atau bahkan rantai yang putus karena medan bebatuan yang lumayan terjal. Jadi banyak melihat ke diri sendiri lagi, betapa Allah Maha Baik mengkaruniakan pekerjaan yang baik dan mudah untuk aku, nggak perlu panas-panasan, nggak perlu naik motor trail, nggak berisiko tinggi.



Nah, ketika kami duduk sejenak untuk minum dan istirahat, tiba-tiba datanglah serombongan bocah-bocah yang naik gunung bersama orang tuanya. Mereka kelihatan semangat banget, dan nyantai gitu naiknya. Kami langsung ngefotoin tuh bocah-bocah, sembari bangkit berdiri. Aku yang ngelihat anak kecil-kecil itu lari-larian, seketika mbatin "jiah, kalau sampe kalah ama nih bocah-bocah, gengsi dong!".. :D



Ternyata kabar bahwa Papandayan adalah gunung yang ramah pendaki pemula memang benar adanya. Bahkan bocah-bocah kecil yang paling baru kelas 1 atau 2 SD bisa mendakinya. Satu kabar lagi yang kami dengar adalah ada warung dan toilet di area camp nanti, di Pondok Saladah, ini yang belum bisa kami buktikan, karena belum nyampe sana. Sewaktu di pos perijinan, penjaganya bilang kalau kami bisa sampai di Pondok Saladah sekitar 3 jam jalan santai. But, mengingat komposisi kami yang membawa 2 orang amatiran, kami sepakat untuk lebih santai lagi dari target waktu 3 jam itu, hehe. Kami banyak berhenti untuk istirahat, untuk foto-foto, untuk merekam video perjalanan juga.

sungainya kecil, unyu unyu :3



Sekitar jam 11an, kami sampai di pos pelaporan kemping. Jadi, ada dua area camp di Papandayan, yaitu Pondok Saladah dan Gubberhoed (moga bener gini deh tulisannya ya). Di pos ini, kami didata oleh abah-abah yang sudah tua dan lucu, didata kami mau camp di area yang mana. Kata si abah sih, kalau mau pemandangan yang bagus dan nggak perlu kemana-mana, Gubberhoed tempatnya. Tapi, mayoritas orang sih pilih buka tenda di Pondok Saladah. Karena kami berempat pada belum pernah ke Papandayan, mas yogi ambil inisiatif untuk melihat sekilas area camp Gubberhoed, sementara kami bertiga nunggu di pos. Sepuluh menit kemudian, mas yogi balik dan akhirnya memutuskan untuk camp di Pondok Saladah aja. Kamipun bersiap melanjutkan perjalanan. 

"Yaa, ke Pondok Saladah sih ada yang 15 menit sampe, ada juga yang 30 menit, macem-macem.."

Ah, bahkan di gunung juga penuh ketidakpastian *baper*.

Jalur menuju Pondok Saladah lumayan mencengangkan. Jalan setapak dengan tanah yang licin terbentang di hadapan kami. Ah bukan itu saja, jalan itu juga menanjak. Kembali aku menarik napas panjang, Bismillah moga nggak kepeleset. Mas yogi jalan paling depan, dan sepertinya nggak mengalami kesulitan sama sekali. Badannya kayak enteng aja gitu, padahal barang bawaan dia yang paling banyak di antara kami: carrier segede gaban ditambah tas kamera ditambah drybag penuh ransum yang berat juga bergelayut di punggungnya. Emang anak gunung staminanya beda :p

Sampai agak jauh beberapa langkah di depan kami bertiga, mas yogi malah tertarik nge-video-kan kami yang kudu jalan ngangkang. Lucu dah, kami kesusahan jalan, tapi malah ketawa-ketawa ngelihatn pose jalan kami sendiri. Apalagi mas yogi, dia ketawa paling kenceng ngelihat kami.



Di jalan yang sesempit itu, kami masih harus berbagi jalan dengan pendaki yang turun dari atas. Jalur masih full tanah licin, tapi untungnya di kiri kanan sesekali ada bebatuan yang bisa dibuat duduk sebentar kalau capek menanjak. Tepat pukul 12 siang, sampailah kami di Pondok Saladah!

Dan terbukti, di sana ada beberapa warung, toilet, dan bahkan mushola ala kadarnya dari kayu! Ini maaaah, nggak kemping-kemping banget lah yaa, haahaha. Nggak usah takut kelaparan, kekurangan bekal, atau takut nggak bisa mandi lah kalau kemping di sini.. :D

Sampai di sana juga ternyata sudah banyak tenda-tenda yang didirikan. Aku dan mbak titis ngikut mas imam dan mas yogi yang lagi pilih-pilih area untuk ndirikan tenda, area yang banyak pohonnya (karena mas yogi pengen pasang hammock), yang tanahnya nggak becek dan lumayan rata. Finally area sudah disepakati, jadi tas bisa diturunkan dari punggung, sementara mas yogi dan mas imam siap-siap masang tenda. Aku langsung lepas sepatu dan ganti sendal, huaaah akhirnya kakiku bisa bernapas lega, haha.



Sebelum masang tenda, kami sempat lihat semacam nisan horisontal gitu, mengenang seseorang yang meninggal, tulisannya sih gitu. Aku berasa agak serem dan nyaranin untuk pindah aja, jangan-jangan nantinya tenda kami berdiri di atas kuburan T.T



Tapi, kata mas yogi, itu cuman batunya aja, nggak berarti dikubur di sana, jadi kami tetap nggak berpindah lokasi. Aku dan mbak titis duduk-duduk sambil mengabadikan momen mas-mas mendirikan tenda. Ketika udara mulai terasa dingin, dua tenda telah tegak berdiri! Yeaaay, terimakasih kakaks, saatnya bergelung sebentar di dalam tenda.

Perdebatan pertamaku dengan mbak titis adalah:

"mbak, ini matras yang atas tuh yang kasar apa yang halus ya?"

Setelah perdebatan panjang dan nggak satu pun dari kami berdua yang tahu jawabannya, aku memutuskan untuk naruh bagian halusnya di bawah. Sleeping bag dikeluarkan, and taraaaaaa, jadilah kepompong!



Kaki mulai berasa capeknya. Adzan dzuhur sudah berkumandang, tapi badan masih capek, jadilah aku menyempatkan bobok dulu barang satu jam.

Setengah dua siang, aku bangun dan bersiap-siap ke toilet, lalu sholat. Alamak airnyaaaaa, duingin! Aku yang awalnya berniat untuk mandi jadi urung, hahaha. Akhirnyalah aku cuma wudhu dan beranjak ke mushola. Aku sendirian, karena para kakaks sudah sholat duluan. Nah, pas mau sholat, ternyata hujan turun dengan lebatnya. Sebenernya pas keluar dari toilet sih udah gerimis-gerimis syahdu gitu, lahdalah kok tambah deras. Jadilah aku terjebak di mushola bersama beberapa orang yang nggak aku kenal. Mushola ini bentuknya lebih kayak saung gitu, nggak berdinding, hanya ada atapnya. Jadi bisa dibayangkan kami di situ ketampes-tampes hujan, angin, dan kabut yang turun bikin hawa tambah dingin. Aku pasrah, sekalian aja dah nunggu Ashar.

Menjelang jam 3 sore, tiba-tiba datanglah si mantel merah, menjemput dan membawakan mantelku. Ah, akhirnyaaaa aku terselamatkan dari hujan ini, tengkyu mas yogi :D

Sampai di dalam tenda, ternyata sudah ada sepiring mie rebus. Literally sepiring penuh. Aku kaget, kan, jangan-jangan yang lain belum makan. Tapi mbak titis meyakinkan aku kalau semua udah makan, tinggal aku doang. Aku merasa nggak mampu menghabiskan.

Tapi ternyata tandas juga sih.. :p

Hujan turun sepanjang siang hingga sore itu. Hawanya dingin banget, dan bener-bener nggak ada yang bisa dilakukan ketika hujan macam begitu. Jadilah sesiangan dan sesorean itu kami berempat hanya menghabiskan waktu di tenda masing-masing. Aku dan mbak titis sibuk tidur, entah mas imam dan mas yogi.

Bangun-bangun, di luar sudah gelap. Aku mengamati arloji, jam 6 lewat. Setengah teriak, aku tanya ke tenda sebelah, udah pada sholat magrib apa belum, pada jawab belum. Mataku masih berat, kuputuskan tidur lagi beberapa menit setelah pesen untuk diajakin sholat magrib bareng. 

Lepas berwudhu, kami nggak jadi sholat di mushola karena ngantriiii, akhirnya kami balik sholat di tenda. Aku mengamati langit yang gelap, bener-bener gelap, sepertinya mendung masih betah menggantung di langit, menutupi cemerlangnya sinar gemintang untuk sampai ke penglihatan kami. Pondok Saladah ramai lalu lalang orang, ke toilet, ke mushola, atau sekedar bercengkrama dan bernyanyi bersama di warung sekitar. 

Selesai sholat di tenda, mas yogi masak air (biar mateng) untuk bikin minuman anget. Awalnya dia nawarin, masak makanan apa gimana, tapi kami kayaknya lebih pengen minum yang anget-anget aja. Jadilah dia bikinin teh dan energen untuk kami berempat. Nikmat banget rasanya, minum energen panas di tengah cuaca yang dingin. Kamipun lempar-lemparan snack juga, ngobrol, sembari ngabisin minuman masing-masing. 

Nggak lama, mas yogi keluar tenda, mungkin mau sholat ata buang sampah, entahlah. Baru beberapa langkah nggak seberapa jauh dari tenda, dia balik sambil setengah lari tergopoh-gopoh menuju tenda..

"Ih, ih, mas imam, ada babi mas! Ada babi! Besar banget, segini nih.." katanya sambil peragain pake tangan.

Kami langsung kaget kan. 

"Di mana babinya?"

"Itu tuh, di situ, dari sini kelihatan, tuh lihat tuh.." mas yogi ngarahin head lampnya ke arah si babi biar kami bisa ngelihat juga.

Bukannya ngusir, mas yogi malah ambil kamera, berniat ngefoto babi hutannya. Tapi dia balik lagi ke tenda karena nggak berhasil.

"Wah mas, babinya besar, kalau nyerang bisa robek nih tenda."

Ih amit-amit, batinku. Lalu mas yogi pun benar-benar pergi, kayaknya ke mushola sih. Nah, ketegangan baru saja dimulai setelah ini.

Aku dan mbak titis yang masih asik ngobrol-ngobrol dikagetkan dengan suara berisik di tendanya mas imam. Grasak grusuk, aku dan mbak titis lihat tenda mas imam gerak-gerak.

"Duh, babinya di belakang tendaku nih! Yog.. Yog.." seru mas imam.

Aku dan mbak titis jadi ikut panik, kan. Refleks kami langsung nutup tenda sambil teriak-teriak manggil mas yogi, tapi nih orang nggak muncul-muncul. Dilema, mau di dalam tenda takut babinya nyerang, mau keluar takut dikejar.

"Mas imam, gimana nih, apa kita keluar aja, kabur?" tanyaku sambil tetep panik.

"Yaudah lah keluar aja yuk, babinya masih di sini nih."

Akhirnya kami keluar dari tenda masing-masing, cepet-cepetan, kabur ke arah mushola, sambil sesekali nengok ke belakang, kali aja babinya ngejar.

Sudahlah kami pasrah, kalaupun tenda diacak-acak sama tuh babi, paling nggak kami nggak diserang juga. Ternyata bener, mas yogi ada di mushola. Ceritalah kami kalau babi hutannya nyerang tenda mas imam. Sementara mereka berdua kembali ke tenda, aku dan mbak titis mampir ke toilet dulu.

Nggak lama kemudian, mereka berdua balik, mas yogi nyuci rain cover tasnya.

"Tendanya sobek," kata mas imam.

"Seriusan??"

"Iya seriusan, lumayan gede. Pas balik ke sana tadi, tasnya yogi udah diluar, sempat diseret kayaknya sama babinya."

WHAT?!

Kamipun akahirnya memutuskan untuk kembali ke tenda. Aku masih aja deg-degan, takut babinya tiba-tiba nyerang lagi, kan. Tapi tenang, kami sudah dapat saran cara mengusir babi dari akang-akang yang jaga pos di depan mushola..

"Di-senter-in aja, sambil di-hus-hus gitu. Pokoknya jangan disakitin aja, nanti bisa makin marah.."

Tuh kan, babi aja nggak boleh disakitin, apalagi... Ah sudahlah.. *baper* *lagi*

Tapi yaaa, dengan babi hutan yang segede itu, dengan rusaknya tenda cowok, dengan ditariknya tas mas yogi yang berat, manalah bisa kami merasa tenang dengan saran "disenterin dan dihus-hus-in"??

Sesampainya di tenda, kami nggak langsung masuk.



"Ati-ati lho, jangan-jangan tuh babinya udah bobok di dalem tenda," mas yogi mencoba melucu.

Ketawa sih, dan kagum sempet-sempetnya nih orang ngelucu, padahal kami habis diserang babi.

tendanya robek :(

tas mas yogi yang abis diseret babi hutan >.<


"Jadi, ini malem kita mau masak lagi apa langsung tidur aja?" tanya mas yogi kalem.

Miapah dia masih nawarin masak lho! Makan!

Aku udah nggak berselera makan. Lapar sih, tapi pikiranku dipenuhi bayangan kalau babi itu bakalan mampir lagi ke tenda kami. Sebelum kembali masuk tenda, mas yogi pasang barrier pake tali gitu deh di sekitar tenda, sebagai usaha untuk menghalangi gangguan babi.



Barrier terpasang, kami masuk tenda masing-masing lagi dan bersiap untuk tidur.

Sebelumnya mas yogi berpesan...

"Sekalian diberesin aja, barang-barang dimasukin tas semua. Jadi paling nggak kan ntar kalau babinya narik tasnya berat, eh atau malah jadi narik kitanya ya? Hahha"

(to be continued)