Minggu, 28 Februari 2016

Book Review: "Bulan" by Tere Liye

0

pict taken from goodreads.com


Setelah petualangan mendebarkan Raib, Seli, dan Ali di Klan Bulan, perjalanan mereka dilanjutkan dalam buku ini, Bulan, buku kedua dari serial "BUMI". Buku ini saya dapatkan secara tidak sengaja dari seorang teman, melalui acara tukar buku. Awalnya yaa asal aja, minta bukunya Tere Liye, nah dapat lah buku Bulan ini. Setelah saya selesai baca buku "Bumi", tertulis di halaman belakangnya "bersambung di Buku Bulan". Lah, pas banget!

Kalau di buku "Bumi" menguak asal-usul si Raib, maka di buku "Bulan" ini, kita akan disuguhkan sedikit riwayat dari Seli. Seli, teman Raib yang ternyata juga memiliki kemampuan khusus. Jika Raib bisa menghilang, maka Seli bisa mengeluarkan petir dari kedua tangannya. Hal ini tidak lain dan tidak bukan adalah karena Seli keturunan spesial dari Klan Matahari. Kondisi masa lalu mengakibatkan Seli dan orang tuanya harus tinggal di bumi.

Demi menjaga kelangsungan hidup yang damai antara empat Klan, petinggi-petinggi dari Klan Bulan mencari dukungan dari Klan lainnya, mereka menyasar Klan Matahari. Raib, Seli, dan Ali kembali diajak untuk pergi ke Klan Matahari oleh para petinggi Klan Bulan, yaitu Av, Miss Selena, dan Ily (anak tertua Ilo, baca buku Bumi dulu yah, makanya :D). 

Berbagai hal terjadi di luar dugaan ketika mereka sampai di Klan Matahari. Mulai terpaksa ikut Festival Bunga Matahari, melalui banyak rintangan yang belum pernah dijumpai sebelumnya untuk bisa menemukan bunga matahari yang mekar pertama kali, sampai harus menghadapi misi rahasia Fala-tara-tana II, Sang Ketua Konsil. Banyak yang harus dikorbankan, persahabatan dan kekuatan mereka benar-benar diuji, mampukah mereka menjalani itu semua?

Dalam buku ini, kembali saya dibuat terpesona oleh imajinasi Tere Liye ketika menggambarkan kondisi di Klan Matahari. Susunan nama penduduknya, nama tempat dan kota di sana, macam-macam binatang dan tumbuhan yang ada di sana, dan masih banyak lagi yang lain. Bagian ending yang tidak terduga, membuat saya nggak sabar menunggu buku selanjutnya yang katanya akan terbit di tahun ini, buku "Matahari".

Siap berpetualang lagi di dunia fantasi milik Tere Liye? Segera beli dan baca bukunya yaaa ! :D


untuk @nedd_

0

Hai Kakak Kangpos, pasti lagi baca-baca surat hari ini dengan muka sumringah, bahkan mungkin senyam-senyum sendiri ya? :p

Just want to say thankyou, karena sudah meluangkan waktu untuk membaca surat-surat aku, surat-surat kami yang berada dalam naunganmu (tsaaah, naungan :p). Nggak mudah pasti, perlu kesabaran untuk membaca semuaa surat cinta yang jumlahnya puluhan, atau bahkan ratusan setiap harinya. Di sela-sela kesibukanmu, semoga ini menjadi selingan yang menyenangkan. Semoga kamu menikmatinya :D

Ah iya, terimakasih karena selalu menyelipkan komen singkat atas semua postingan surat. Aku tahu kalau para Kangpos pasti membaca surat-surat karya anak buahnya, tapi, komen singkat dari Kakak tuh, kayak apresiasi tersendiri sih. Menunjukkan kalau surat cinta itu bisa menghadirkan sebuah opini dari pembacanya, nggak sekedar tulisan yang dibaca selintas lalu saja.

Kak punya aku smule ya? Soundcloud juga ya? Sama lho! Next time akan follow dan join, deh :D

Akhir kata, pertahankan prestasimu ya, kak! (macam pesan guru yang ada di raport anak SD, hahaha)

Oiya, last but not least. Terimakasih sudah pilih suratku jadi surat cinta favorit di hari ke 28, yaa.. :)

Hope to see you again on the next event, cao! :D

Sabtu, 27 Februari 2016

Book Review: Bumi by Tere Liye

0

pict taken from goodreads.com


Awal melihat novel ini di box best seller toko buku deket kosan, aku langsung tertarik. Tertarik karena cover nya yang bergambar telapak tangan? Tertarik dengan judulnya yang cuma satu kata "Bumi"? Tertarik karena pengarangnya yang Tere Liye (yang ini iya, sih)? Tapi, yang paling bikin tertarik pengen baca adalah setelah aku baca sinopsis di belakang bukunya.

........... Namaku Raib. Dan aku bisa menghilang.

Aku orangnya memang suka berimajinasi. Lalu sekalinya tau Tere Liye punya buku fiksi fantasi begini, wah, nggak pakai pikir panjang deh, langsung beli! Di kepalaku langsung menerka-nerka nih. Tere Liye kan biasanya nulis buku yang kalem, penuh maknsa hidup nan filosofis gitu. Lah kalau nulis buku yang bergenre fantasi bakal kayak apa yaa?

Lewat buku ini, maka aku langsung nggak merasa salah menempatkan Tere Liye sebagai salah satu penulis favorit yang aku tunggu-tunggu karyanya! Tere Liye memang serba bisa.

Bumi adalah buku pertama dari serial "BUMI", jadi akan ada lanjutannya nih buku. Kisah diawali dengan penceritaan mengenai si Raib, tokoh utama dari buku ini. Raib adalah seorang gadis biasa berumur 15 tahun. Dia hidup bersama ayah dan ibunya, menjalani kehidupan yang normal layaknya remaja lain di usia serupa. Hanya ada satu yang berbeda, Raib punya kemampuan khusus. Menghilang!

Dalam buku "Bumi" ini, Tere Liye berkisah tentang petualangan Raib bersama teman-teman baiknya, Seli dan Ali. Dunia yang dikira sederhana, ternyata menyimpan kehidupan yang kompleks, berjalan secara bersamaan, namun tidak pernah bersinggungan. Ada Klan Bulan, Klan Bumi, Klan Matahari, dan Klan Bintang. Tidak ada yang menyadari itu semua, sampai seorang dari Klan Bulan melompati dimensi, menemui Raib di bumi. Setelah tahun-tahun berlalu, akhirnya Raib, Seli, dan Ali, mengetahui jati dirinya masing-masing. Masa lalu mulai terkuak, lalu pertempuran semakin tidak terelakkan!

Setelah membaca novel Rindu-nya Tere Liye yang selow abis, membaca novel Bumi ini, mataku seperti nggak mau lepas dari bukunya. Pengen baca teruuuus sampai tuntas. Novelnya seru banget! Di buku ini, masih dijumpai di beberapa part, gaya nulis khas dari Tere Liye yang kalem, sabar, runut, dan filosofis. Tapi sisanya, aku diajak berimajinasi, diajak bertualang ke tempat-tempat yang tidak terbayangkan. Aku diajak turut merasakan kecemasan para tokohnya, ketegangan dalam perang, dan mendalami karakter-karakter yang ada dalam buku ini. Rasanya amazing!

Aku bisa bilang bahwa, ini adalah sisi lain dari Tere Liye. Salah satu yang harus dibaca! :D

Hei, Jodoh!

0

Apa yang kamu takutkan dari para traveller?

Kakinya yang tampak tidak bisa berhenti melangkah? Raganya yang seperti tidak bisa dibuat betah di dalam rumah? Jiwanya yang kau pikir selalu rindu kebebasan?

Sejauh-jauhnya seorang traveller melangkah, akan selalu ada rumah di dalam pikirnya.

Sebebas-bebasnya jiwa seorang traveller, akan selalu ada jiwa lain yang mengikatnya, membuatnya rindu untuk bertemu.

Sebanyak apapun destinasi yang menjadi impian-impiannya, berada di samping orang tercinta akan menjadi destinasi yang tak ternilai untuknya.

Jadi apa yang kau takutkan?

Ketika cincin telah melingkari jarinya, hari-hari bersamamu akan jadi perjalanan panjang yang paling menyenangkan untuknya.

Jadilah rumahnya, tempatnya selalu rindu untuk pulang.

Senin, 15 Februari 2016

Kepada Tanya yang Rindu Jawaban

3

Kepada setiap tanya yang merindukan jawab,

Di suatu pagi ketika kau kembali mengusik ingatan
Maka kenanglah bagian indahnya saja
Aku paham jika segala sesuatu diciptakan berpasangan, pun dengan pertanyaan
Pasti berjodoh dengan satu jawaban sebagai pasangannya
Tapi akupun cukup mengerti bila tidak semua jawaban bisa mudah diungkapkan
Banyak pertimbangan, semakin dewasa, pertimbangan itu beranak-pinak
Tentang apa yang bisa dan tidak bisa
Tentang apa yang pantas dan tidak pantas dikatakan

Di suatu malam ketika kau kembali dari ketiadaan sementaramu
Maka besarkanlah hatimu
Luaskanlah penerimaan akan segala
Kau bisa memaksa diri sendiri bertanya
Tapi jawaban tidak, dia punya tuannya sendiri
Bukan wilayahmu untuk memaksanya memenuhi ingin tahumu

Lalu, di suatu senja jika pertanyaan-pertanyaan itu kembali menghadirkan ragu dan sendu
Maka nikmatilah saja senjanya
Rasakan syahdu warna langit luas
Tenggelamlah, dalam lautan jingga keikhlasan yang indah

Resapi, bahwa separuh hidup adalah menerima

Sabtu, 13 Februari 2016

Kepada Teman Baru yang Baik Hatinya

0

Hai, sudah tiga bulan lebih berlalu sejak aku menapakkan kaki di tanah Sumatra untuk pertama kali. Kota Medan, tempat kalian tinggal. Aku datang sebagai orang asing, yang bahkan hanya singgah dua hari di sana. Tapi kebaikan kalian menjadi salah satu hal yang akan terus aku ingat.

Hammam, tuan tanah Medan yang baik, menemani pelesir ke sana sini.

Agung, wirausahawan dari Aceh. Yang bahkan tidak ada kata "agung" dalam namanya. Sayang sekali yaa waktu aku ke sana nggak bisa nyobain smoochi nya. Udah diborong habis sama sang tetangga kontrakan.

Fauzi, happy wedding yaa Ji. Maafkan aku nggak bisa datang.

Dani, teman seangkatan yang nggak berubah sama sekali kelakuannya. Masih cerewet, masih gila seperti saat pertama kenal.

Terimakasih karena sudah menyambut dengan sangat ramah dan menyenangkan. Dua hari di Medan, dengan banyak kebaikan yang nggak terlupa. Terimakasih sambutan karaokean rame-ramenya. Terimakasih ke durian ucok-nya. Terimakasih sudah dicarikan jas hujan. Terimakasih karena telah membuat aku nggak merasa sendirian selama di Medan. Senang bisa kenal kalian semuaaa.. :D

See yaa next time, guys. Semoga bisa bertemu kembali :)

Jumat, 12 Februari 2016

Kepada Hujan

0

Rintik menari-nari di balik jendela kantor. Aku dari balik kubikel, memandang mendung di luar, jeruji hujan terus menghujam. Di bawahnya, kendaraan dan lalu lintas yang tersendat, arus pulang yang terhambat. Sesekali terdengar raungan klakson. Jalanan Jakarta di kala hujan mungkin sedikit banyak memicu emosi orang-orang yang tidak sabaran. Kupandang arlojiku, sudah jam 5. Aku belum ingin pulang, aku akan sempatkan menulis surat dulu kepadamu.

Kepada hujan yang akhir-akhir ini sering sambang, tahukah kamu bahwa aku menyimpan banyak sekali kenang, bahkan lebih banyak daripada genang yang kamu cipta?

Banyak kenangan yang kupunya di tengah rinai syahdumu. Duhai, apakah memang tetesanmu itu ditakdirkan untuk hal-hal melankolis romantis dan semacamnya?  Dulu sekali, aku pernah mengalami perpisahan di tengah hujan, air mata bisa terkaburkan. Atau juga satu pertemuan indah, masih manis untuk sesekali diingat, tapi aku tahu beberapa hal memang terjadi hanya sekali, tidak ada jalan kembali. Maka denganmu, air mata terkaburkan, senyum juga indah disembunyikan. Luruh dalam syahdu irama rintikmu.

Kepada hujan yang tampak belum ingin reda, tahukah aroma tanahmu yang menguar itu menguapkan banyak rasa yang terpendam kembali naik ke permukaan, bahkan lebih banyak dari yang dapat terbayang di akhir hari sebelum mata terpejam?

Untukku, kamu seperti mesin waktu. Rasa-rasa yang sudah jauh dipendam, setiap kali kau turun ke bumi, seperti menguap lagi menuju ke langit, melewati hati. Dalam butiran airmu ada berjuta rahasia, ada cerita-cerita sederhana yang mungkin tidak mampu disampaikan kata. Maka ketika butiranmu pecah sedikit saja saat menyentuh bumi, tanpa bisa dicegah, rasa-rasa beterbangan ke angkasa. Membuat sendu, juga rindu.

Kepada hujan yang datang bersama gemuruh langit kelabu, tahukah jika gelegarmu justru kadang menghadirkan sepi dalam diri, bahkan lebih sunyi daripada pagi yang paling dini?

Dan mendengarmu yang jatuh di atap rumah, di aspal jalan raya, di atas helai daun pepohonan, menghadirkan sensasi yang unik. Kamu riuh dalam ramaimu. Kamu damai berada dalam ributmu. Dan ada hawa kesendirian di balik ribuan jarummu. Rumit, huh? Tapi ada gelenyar damai, setiap menatapmu turun dari langit sana. Turun pasrah, seakan kamu mengerti itu hanya bagian dari sebuah siklus. Satu sesi yang harus dilalui untuk bisa berada di langit lagi. Sesederhana itu.

Wahai hujan, tidakkah kamu telah tahu bahwa aku punya tempat khusus di hatiku untukmu? Maka dalam setiap gerimis, setiap deras yang menderu, bahkan jika hanya berupa sisa tetes embun di pagi hari, aku selalu berdoa, semoga sejuk dan teduhmu senantiasa mengantarkan doa-doa ke langit sana, dan turun di teras rumah mereka yang namanya tersebut dalam doa.. :)


Rabu, 10 Februari 2016

Sepeda, Pulau, dan Kamu

2

Dear you,

Hai, apa kabar? Terakhir kali jumpa nyaris dua tahun yang lalu, ya? Tapi aku masih ingat bagaimana kamu yang pendiam, duduk di tengah kami yang ramai mengobrol nggak jelas, dan bahkan ngeceng-cengin kamu, orang yang baru saja kami kenal, ehm, baru aku kenal juga.

Aku masih ingat, pagi setelah subuh itu, di pagi ketika malam masih menyisakan gelapnya, dan jarum gerimis turun dari langit sana, kamu terdiam menatap kami semua yang saling kenal. Kamu di sana sebagai teman dari temanku. Aku mencoba mencairkan suasana, tapi ah, kamu pendiam sekali rupanya. Aku jadi salah tingkah sendiri, hahaha.

Aku masih ingat juga, di kapal, kita duduk bersebelahan. Di sana kita berkesempatan mengobrol lebih banyak, tapi tetap saja, banyak-mu itu yaa menurutku tetap seuprit, hehe. Tapi nggak apa, namanya juga baru kenal. Setidaknya, aku tahu kamu begitu karena memang kamu dasarnya pendiam, bukan karena sombong. It's okay :)

Aku masih ingat (lagi) waktu kamu berbaik hati menukar sepedamu dengan sepedaku yang kampas rem-nya menempel ke roda dan menjadikan kayuhannya semakin berat. Tertinggal di belakang rombongan, kamu menawariku bergantian sepeda. Entah apa yang kamu rasakan saat itu, kasihan atau sebal melihatku yang mulai merengek ingin tukar sepeda ke teman-temanku yang lain. Hmm, apapun pertimbanganmu, aku ucapkan terima kasih, ya :)

Kamu masih ingat nggak, waktu kita dan teman-teman yang lain sedang menunggu sunrise di pantai pasir perawan? Kamu sibuk dengan seekor kepiting kecil di pasir pantai, yang di sebelah kepiting itu ada sebentuk kepiting kecil yang lain tapi tidak bergerak. Kamu bersikeras itu mungkin saja teman si kepiting kecil. Tapi, usut punya usut, ternyata itu bekas ganti kulitnya si kepiting. Kamipun tertawa. Kamu juga.

Apa kamu masih ingat kalau setahun yang lalu, dalam event yang sama, aku juga mengirimimu surat? Surat yang saat itu tematik, dikirimkan untuk orang yang pertemuan pertamanya membuat kesan dan belum bisa ditemui lagi. atau mungkin bahkan tidak bertemu lagi. Tahun ini, berarti ini surat ke dua buatmu. Aku nggak yakin kamu akan membaca, apalagi ingat, hehe. Tapi nggakpapa, aku sudah cukup senang bisa menyampaikan sesuatu lewat kata.

Sibuk apa kamu sekarang? Ah, aku tak berani menyapamu secara langsung, jadi lewat sini saja. Tak apa sekalipun kamu tak menjawab, atau bahkan mungkin tidak membaca pertanyaanku barusan. Aku hanya ingin bertanya.

Kadang aku bertanya-tanya sendiri, mungkin nggak yaa bisa ketemu lagi? Hahaha. Tapi kubiarkan pertanyaan itu menguap, tidak akan kukungkung dalam hati, biar bisa sampai ke langit, dan Tuhan mungkin bisa mempertimbangkannya untuk bisa mempertemukan kita lagi di suatu waktu nanti, di suatu tempat yang sama-sama kita sukai, atau di kesempatan yang kita tidak bida menduganya sama sekali.

Yang ingin aku sampaikan adalah, mmm, entahlah, sebenarnya aku hanya ingin menulis ini saja, membiarkan kenang-kenangan itu bermain-main lagi di kepala. Pokoknya terima kasih sekali lagi, deh untuk sepedanya.. :)

Sudah deh, segini dulu ya suratnya, bisa sih lebih panjang lagi, tapi nanti curhatnya kebanyakan, hahahaha. Bye bye :)

Selasa, 09 Februari 2016

Buku Harian Digital

0

Dear my blog,

Hai, ini tepat postinganku yang ke 405. Hari ini aku akan menulis surat cinta untukmu, blog yang sudah menemaniku cukup lama, sejak tahun 2011. Wow, sudah lima tahun ya ternyata? :)

Terima kasih ya, karena sudah menjadi salah satu saranaku mencurahkan isi hati. Aku tidak selalu menuliskan segala sesuatunya secara tersurat, mudah dipahami apa adanya, jadi di situlah tempat kita saling berbagi rahasia. Hanya aku dan kamu yang tahu makna-makna yang sengaja kusembunyikan dalam postingan-postingan di sini. Terima kasih karena kamu tak pernah membuka rahasia itu tanpa seizinku.

Terima kasih juga, karena kamu selalu sabar, tak pernah marah walau kadang aku melupakanmu untuk beberapa waktu. Sungguh bukan maksudku untuk berhenti menghiasi halamanmu dengan postinganku, tapi kamu tahu lah, kalau sedang lelah-lelahnya, jangankan membuka laptop untuk posting, aku hanya sanggup mengecek handphone sebentar, lalu tertidur pulas. Seharian aku menatap komputer, jadi kalau sudah ada di kos, sebisa mungkin aku menjauh dengan yang namanya laptop. Tapi tenang saja, aku sudah bertekad untuk lebih sering posting di tahun ini. Mungkin aku akan pulang lebih lambat, untuk menyempatkan posting sebentar.

Lima tahun dan masih akan berjalan. Semoga kamu akan selalu menjadi tempatku merekam setiap jejak perjalanan, membagi rahasia, dan jadi saranaku mengabadikan rasa lewat kata.. :)

Selamat Ulang Tahun ke 5.. :D

Kamis, 04 Februari 2016

Ibu Satu Hari

0

Hai, Bu resepsionis, apa kabar? Sudah empat bulan berlalu sejak saya menginap di tempat Ibu. Bagaimana keadaan Ibu? Sehatkah? Semoga iya.

Masih melekat di ingatan saya, tanggal 3 Oktober 2015, saya mencari-cari Residence Hotel. Hotel yang saya pesan untuk saya menginap selama satu malam di Medan. Saya belum pernah berkunjung ke hotel ini, ini adalah kunjungan pertama saya ke kota Medan, Sumatera Utara. Salah satu pertimbangan saya memilih hotel ini adalah, selain harga yang murah, juga letaknya yang sangat strategis, di belakang Masjid Raya Medan.

Pagi menjelang siang kala itu, ketika akhirnya sampai di Residence Hotel, pemandangan pertama yang saya dapat adalah sosok Ibu yang duduk di balik meja resepsionis. Setelah mengecek ini itu, check in beres, sayapun berlalu ke kamar dan beristirahat.

Sampai pada siangnya, saya keluar untuk menghadiri pernikahan seorang teman baik, saya menitipkan kunci kamar pada Ibu. Ibupun bertanya,

"Mau kemana mbak? Jalan-jalan ya? Ada yang mengantar?"

Ah, care sekali, itu yang ada dalam batin saya. Ibu ingat tidak kalau saya sempat diam sejenak, tidak langsung menjawab pertanyaan Ibu? Itu karena saya terkesan dengan kepedulian Ibu.. :)

Mungkin ada sekitar tiga sampai empat kali peristiwa itu berulang: saya titip kunci kamar -- Ibu bertanya apakah saya ada yang menemani/mengantar -- saya menjawab -- Ibu melepas saya dengan senyum yang ramah. Kalau saja hotel Ibu memberikan kuesioner, pasti saya beri nilai sempurna untuk pelayanannya yang serasa di rumah sendiri ini. I'm serious, Bu.

Hari Minggu tiba. Cepat sekali rasanya waktu berjalan ketika saya ada di Medan, Bu. Saya bahkan tidak sempat menanyakan nama Ibu. Saya tidak akan melupakan pesan Ibu ketika saya check out untuk balik ke Jakarta di hari itu.

Ibu bilang, "Mbak pulang naik apa? Ada yang mengantar? Saya doain mbak main ke Medan lagi kapan-kapan, biar bisa mampir ke sini lagi," sambil memeluk saya erat. Seperti pelukan Mama ketika saya akan kembali merantau ke Jakarta.

Traveling selalu membawa cerita baru, tempat baru, orang-orang baru. Ini semi solo traveling saya yang paling jauh dibanding yang sebelumnya. Kali ini saya bertemu orang-orang baru, dan Ibu adalah salah satunya.

Terimakasih ya, Bu, untuk membuat saya merasa seperti di rumah sendiri selama di Medan. Terimakasih sudah bertanya, terimakasih sudah peduli. Terimakasih sudah mendoakan saya biar bisa jalan-jalan ke Medan lagi.

Maafkan saya yang nggak sempat menanyakan nama Ibu. Sampai jumpa lagi di lain kesempatan, Bu.. :)


Sincerely,
Saya yang rindu sama Ibu


Selasa, 02 Februari 2016

Lebih Dari Sekedar Ibukota

1

Dear Jakarta,

Sudah dua hari ini selalu hujan deras sepanjang hari. Aku jadi sering memandang keluar jendela kantor, mengamati pemandangan Monas dan kubah Masjid Istiqlal yang sedikit mengabur karena kabut dan hujan deras. Jakarta, kamu ternyata sudah lebih dari sebuah kota yang dulu hanya bisa kulihat melalui televisi.

Nggak terasa, sudah 2 tahun lebih aku menjejaki tanahmu, Jak. Jujur saja kukira dulu kamu seperti yang dibicarakan orang-orang di luar sana: kejam. Tapi, makin ke sini aku makin paham, kamu nggak kejam, kamu hanya terbiasa menempa orang-orang di wilayahmu menjadi sosok yang lebih kuat. Mungkin, aku bisa jadi salah satu buktinya.

Aku anak tunggal, Jak, anak yang nggak pernah jauh dari rumah dalam waktu lama. Lalu sekalinya harus merantau, aku langsung merantau ke tanahmu, belajar hidup mandiri. Literally mandiri, karena aku tak punya satupun sanak saudara di sini. Dari yang awalnya aku nggak berani pergi jauh-jauh dari kosan, sampai sekarang malah enjoy walau harus kemana-mana sendirian. Bahkan yang terbaru, aku berani keluar pulau sendirian. Entahlah, mungkin hawa tanahmu bisa menjadikan orang lebih berani. Oh iya, sejak aku berdiri di tanahmu, Jak, aku jadi lebih cepat hapal sama jalanan. Beda jauh dibandingkan waktu aku di Surabaya, dodol ampun-ampunan lah kalau soal jalanan. Mungkin, kalau di Surabaya aku kan yakin, sejauh apapun tersesat, akan selalu ada yang menjemput untuk pulang. Lha kalau nyasar di sini, siapa yang mau njemput aku, Jak? :p

Dua tahun berjalan, kamu sudah lebih dari sekedar kota untukku, Jak. Banyak yang sudah terjadi selama di sini. Beberapa sudutmu sudah penuh kenangan yang siap muncul kembali dalam ingatan. Bahkan, sepanjang jalan sekitaran kosan dan kantorku itu sudah serupa tempat bersejarah. Ada saja yang bisa kuingat ketika pagi berangkat naik angkot dan (mau nggak mau) ngelihat ke arah luar, memandangi jalan, serta beberapa bangunan yang biasa aku lewati di perjalanan. Ada banyak hal, Jak, yang sudah menyesap dalam-dalam di tanahmu, yang setiap hujan datang, kenangan itu seakan menyatu dengan aroma tanah yang kuhirup.

Ada banyak cerita, yang kelak akan bisa kubagikan jika seseorang menyebut namamu di depanku.

Thanks Jak, for being a good city for me, and keeping my memories.. :)



Sincerely,
Aulia, yang merantau di tanahmu

Senin, 01 Februari 2016

untitled ke sekian

0

Kamu pernah merasakannya?
Rasa ketika kau tahu senja tak seharusnya segelap ini
Rasa ketika kau tahu mestinya hujan tidak sederas ini
Rasa ketika akhirnya kau sadar, harusnya bukan itu yang kau rasakan

Rasa ketika kau tahu bukan jawaban itu yang mestinya kau katakan
Atau bahkan pertanyaannya yang salah
Atau diri yang terlalu memberi toleransi
Atas deviasi tanya jawab yang hadir di luar batas wajarnya

Suatu saat mungkin kau akan paham
Kalau aliran ini tak semestinya turun ke muara yang itu
Kau hanya sengaja mengeruk lebih dalam
Sengaja membelokkannya
Sampai di ujung sana kau akhirnya mengerti
Bukan ke muara yang ini, ia harus berhenti

Harta Karun di Pulau Sempu

0

Dear Pulau Sempu,

Sepagi tadi, tiba-tiba terlintas nama sebuah pulau di daerah Malang, Jawa Timur, yang pernah aku kunjungi bersama teman-teman terbaikku. Ya, itu namamu, Pulau Sempu. Kudengar sekarang kamu sudah tak boleh dikunjungi lagi selain untuk kepentingan penelitian, ya? Karena kamu sebenarnya cagar alam, yang nggak semestinya dikunjungi orang banyak dan malah merusak vegetasi alamimu. Hmm, maafkan kami dulu yang pernah mengunjungimu, ya. Sungguh tak ada sedikitpun niat untuk merusakmu, kami cuma ingin menikmati indahnya karya Sang Maha Arsitek yang menciptakan panorama cantik di tempatmu.

Anyway, aku ingin bercerita sedikit padamu, tentang harta karun yang aku temukan ketika berkunjung ke sana. Harta karun? Iya, harta karun. Tapi tentu ini harta karun versiku, bukan versi bajak laut yang biasanya berupa peti berisikan uang dan emas. Harta karun versiku adalah teman-teman terbaikku, yang pada mereka aku nggak malu lagi menunjukkan sisi terlemahku sekalipun.

Kalau kamu masih ingat, aku dan teman-temanku mengunjungimu ketika masih masuk musim hujan. Itu membuat medanmu yang lumayan berat menjadi sangat berat, karena lumpur yang ada dimana-mana. Lumpurnya nggak tanggung-tanggung, hampir selutut, sementara kami nggak terlatih menghadapi situasi yang seperti itu. Modal kami saat itu cuma satu: nekad! Bisa diprediksi, perjalanan yang harusnya hanya memakan waktu sekitar 2 hingga 3 jam, berkembang luar biasa jadi hampir seharian. Kami yang awalnya berniat menginap sehari aja, jadi minta dijemput besokannya lagi. Luar biasa bangetlah medanmu di kala musim hujan itu.

Tapi, justru karena itulah, aku menemukan harta karunku di sana. Di tengah ketidakpastian jalan (baca: nyaris nyasar), satu hal yang paling membuatku kagum adalah nggak ada satupun yang mengeluh. Aku masih inget banget lho, badan rasanya udah lelah, sakit semua, beberapa ada yang meneteskan air mata takut nggak bisa pulang. Kami menghabiskan waktu malam hari itu menginap di tengah hutan, di tengah suara-suara monyet yang bertengkar, dihantui suara petir, takut akan turunnya hujan. Kami hanya makan mie instan beberapa suap, bahkan setelah melalui perjalanan yang melelahkan. Tapi kami tetap saling bantu, kami tetap saling menguatkan satu sama lain. Yang kuat, ngebantuin bawain barang-barang. Rasa haus yang bersarang di kerongkongan nggak serta merta bikin kami minum secara semena-mena, semua menahan diri, semua paham kalau air yang terbatas itu harus cukup untuk kami ber-11.

Saat itu, bisa dibilang aku berada di titik terlemahku. Aku takut, aku lelah, aku rasanya pengen pulang aja. Tapi, demi ngelihat temen-temen yang masih semangat, aku jadi semangat lagi deh. Kalau ditanya siapa yang sudah lihat aku di titik terlemahku, maka aku akan jawab, selain keluarga di rumah, mereka yang sudah melihatnya. Mereka yang mungkin waktu itu kesel banget lihat aku, tapi tetep menyemangati, tetep membantu, dan... ah, aku kehabisan kata-kata.

Mereka benar-benar harta karunku yang kutemukan di tanahmu. Terima kasih, Pulau Sempu.. :)



Sincerely,
Aulia, yang pernah menjelajahi tanahmu