Rintik menari-nari di balik jendela kantor. Aku dari balik kubikel, memandang mendung di luar, jeruji hujan terus menghujam. Di bawahnya, kendaraan dan lalu lintas yang tersendat, arus pulang yang terhambat. Sesekali terdengar raungan klakson. Jalanan Jakarta di kala hujan mungkin sedikit banyak memicu emosi orang-orang yang tidak sabaran. Kupandang arlojiku, sudah jam 5. Aku belum ingin pulang, aku akan sempatkan menulis surat dulu kepadamu.
Kepada hujan yang akhir-akhir ini sering sambang, tahukah kamu bahwa aku menyimpan banyak sekali kenang, bahkan lebih banyak daripada genang yang kamu cipta?
Banyak kenangan yang kupunya di tengah rinai syahdumu. Duhai, apakah memang tetesanmu itu ditakdirkan untuk hal-hal melankolis romantis dan semacamnya? Dulu sekali, aku pernah mengalami perpisahan di tengah hujan, air mata bisa terkaburkan. Atau juga satu pertemuan indah, masih manis untuk sesekali diingat, tapi aku tahu beberapa hal memang terjadi hanya sekali, tidak ada jalan kembali. Maka denganmu, air mata terkaburkan, senyum juga indah disembunyikan. Luruh dalam syahdu irama rintikmu.
Kepada hujan yang tampak belum ingin reda, tahukah aroma tanahmu yang menguar itu menguapkan banyak rasa yang terpendam kembali naik ke permukaan, bahkan lebih banyak dari yang dapat terbayang di akhir hari sebelum mata terpejam?
Untukku, kamu seperti mesin waktu. Rasa-rasa yang sudah jauh dipendam, setiap kali kau turun ke bumi, seperti menguap lagi menuju ke langit, melewati hati. Dalam butiran airmu ada berjuta rahasia, ada cerita-cerita sederhana yang mungkin tidak mampu disampaikan kata. Maka ketika butiranmu pecah sedikit saja saat menyentuh bumi, tanpa bisa dicegah, rasa-rasa beterbangan ke angkasa. Membuat sendu, juga rindu.
Kepada hujan yang datang bersama gemuruh langit kelabu, tahukah jika gelegarmu justru kadang menghadirkan sepi dalam diri, bahkan lebih sunyi daripada pagi yang paling dini?
Dan mendengarmu yang jatuh di atap rumah, di aspal jalan raya, di atas helai daun pepohonan, menghadirkan sensasi yang unik. Kamu riuh dalam ramaimu. Kamu damai berada dalam ributmu. Dan ada hawa kesendirian di balik ribuan jarummu. Rumit, huh? Tapi ada gelenyar damai, setiap menatapmu turun dari langit sana. Turun pasrah, seakan kamu mengerti itu hanya bagian dari sebuah siklus. Satu sesi yang harus dilalui untuk bisa berada di langit lagi. Sesederhana itu.
Wahai hujan, tidakkah kamu telah tahu bahwa aku punya tempat khusus di hatiku untukmu? Maka dalam setiap gerimis, setiap deras yang menderu, bahkan jika hanya berupa sisa tetes embun di pagi hari, aku selalu berdoa, semoga sejuk dan teduhmu senantiasa mengantarkan doa-doa ke langit sana, dan turun di teras rumah mereka yang namanya tersebut dalam doa.. :)
0 komentar:
Posting Komentar