Senin, 01 Februari 2016

Harta Karun di Pulau Sempu

1

Dear Pulau Sempu,

Sepagi tadi, tiba-tiba terlintas nama sebuah pulau di daerah Malang, Jawa Timur, yang pernah aku kunjungi bersama teman-teman terbaikku. Ya, itu namamu, Pulau Sempu. Kudengar sekarang kamu sudah tak boleh dikunjungi lagi selain untuk kepentingan penelitian, ya? Karena kamu sebenarnya cagar alam, yang nggak semestinya dikunjungi orang banyak dan malah merusak vegetasi alamimu. Hmm, maafkan kami dulu yang pernah mengunjungimu, ya. Sungguh tak ada sedikitpun niat untuk merusakmu, kami cuma ingin menikmati indahnya karya Sang Maha Arsitek yang menciptakan panorama cantik di tempatmu.

Anyway, aku ingin bercerita sedikit padamu, tentang harta karun yang aku temukan ketika berkunjung ke sana. Harta karun? Iya, harta karun. Tapi tentu ini harta karun versiku, bukan versi bajak laut yang biasanya berupa peti berisikan uang dan emas. Harta karun versiku adalah teman-teman terbaikku, yang pada mereka aku nggak malu lagi menunjukkan sisi terlemahku sekalipun.

Kalau kamu masih ingat, aku dan teman-temanku mengunjungimu ketika masih masuk musim hujan. Itu membuat medanmu yang lumayan berat menjadi sangat berat, karena lumpur yang ada dimana-mana. Lumpurnya nggak tanggung-tanggung, hampir selutut, sementara kami nggak terlatih menghadapi situasi yang seperti itu. Modal kami saat itu cuma satu: nekad! Bisa diprediksi, perjalanan yang harusnya hanya memakan waktu sekitar 2 hingga 3 jam, berkembang luar biasa jadi hampir seharian. Kami yang awalnya berniat menginap sehari aja, jadi minta dijemput besokannya lagi. Luar biasa bangetlah medanmu di kala musim hujan itu.

Tapi, justru karena itulah, aku menemukan harta karunku di sana. Di tengah ketidakpastian jalan (baca: nyaris nyasar), satu hal yang paling membuatku kagum adalah nggak ada satupun yang mengeluh. Aku masih inget banget lho, badan rasanya udah lelah, sakit semua, beberapa ada yang meneteskan air mata takut nggak bisa pulang. Kami menghabiskan waktu malam hari itu menginap di tengah hutan, di tengah suara-suara monyet yang bertengkar, dihantui suara petir, takut akan turunnya hujan. Kami hanya makan mie instan beberapa suap, bahkan setelah melalui perjalanan yang melelahkan. Tapi kami tetap saling bantu, kami tetap saling menguatkan satu sama lain. Yang kuat, ngebantuin bawain barang-barang. Rasa haus yang bersarang di kerongkongan nggak serta merta bikin kami minum secara semena-mena, semua menahan diri, semua paham kalau air yang terbatas itu harus cukup untuk kami ber-11.

Saat itu, bisa dibilang aku berada di titik terlemahku. Aku takut, aku lelah, aku rasanya pengen pulang aja. Tapi, demi ngelihat temen-temen yang masih semangat, aku jadi semangat lagi deh. Kalau ditanya siapa yang sudah lihat aku di titik terlemahku, maka aku akan jawab, selain keluarga di rumah, mereka yang sudah melihatnya. Mereka yang mungkin waktu itu kesel banget lihat aku, tapi tetep menyemangati, tetep membantu, dan... ah, aku kehabisan kata-kata.

Mereka benar-benar harta karunku yang kutemukan di tanahmu. Terima kasih, Pulau Sempu.. :)



Sincerely,
Aulia, yang pernah menjelajahi tanahmu

1 komentar: