Minggu, 20 November 2016

Batas yang Jelas

7

pict taken from picture.4ever.eu

Lapangan Banteng di hari Sabtu bisa dipastikan tak akan pernah sepi. Mulai anak muda sampai lansia, dari yang sekedar jalan santai hingga ditemani pelatih lari. Tempat ini terbagi menjadi tiga area. Area pertama adalah lapangan sepakbola, kemudian di sebelahnya ada jogging track, dan area ke tiga adalah taman. Mereka yang biasa lari pagi nggak hanya memfavoritkan jogging track, tapi juga area taman yang punya pemandangan pepohonan hijau nan menyejukkan mata.

Pagi itu matahari masih malu-malu bersembunyi. Sementara di ujung jogging track, Haikal sedang membenahi ikatan sepatunya, memastikannya erat dan terasa nyaman. Beres dengan sepatu, Haikal menegakkan badannya dan memulai pemanasan ringan. Hanya perlu waktu sepuluh menit, sampai badannya dirasa siap untuk lari pagi hari ini.

“Kal!”

“Ah, datang juga, lu, akhirnya. Sejak kapan lu bangun pagi pas weekend begini, ha?”

“Sejak dulu, lah, bro! Yuk ah!”

Yang Haikal tahu, Vero tak pernah absen untuk bangun siang di kala weekend. Yang Vero tahu, dia harus bangun pagi hari ini, menemui Haikal, dan memenuhi rasa penasarannya sejak pulang dari liburan ke pantai dua bulan yang lalu.

“Mau liburan ke mana lagi, lu?”

“Rencananya sih ke Lombok, Kal, hehe..”

“Kapan?”

“Bulan depan. Gua udah beli tiket, udah pesen penginapan juga. Tinggal berangkat aja.”

“Ooh.”

Dua sahabat itu terus berlari mengelilingi lapangan. Bulatnya matahari mulai nampak di samping gedung kembar Djuanda. Sejuk pagi perlahan menghangat. Vero dan Haikal membicarakan masa dimana mereka masih sering bertemu, berdiskusi banyak hal, dan sering pergi ke tempat-tempat eksotis bersama teman satu geng pecinta alam mereka yang kini sudah tersebar ke seluruh penjuru Indonesia.

“Kal, lu nggak mau ngadain open trip lagi?”

“Nggak tau. Belum ada rencana. Kenapa? Lu mau ngajak gua liburan?”

“Bukan ngajak lu, lah!” sahut Vero cepat.

“Lah terus?”

“Gua pengen ketemu lagi sama temen lu, tuh.”

“Temen gua? Temen gua yang mana?”

“Yang waktu itu ikut liburan.”

“Kanaya maksud lu?” reflek Haikal membelalakkan kedua matanya dan menatap Vero.

“Biasa aja dong, respon lu gitu amat. Nggak suka?”

“Bukan gitu, gua kaget aja. Kenapa lu pengen ketemu sama dia? Lu ngutang sama dia ya? Astaga kebiasaan lu sejak jaman kuliah nggak berubah juga ya. Kebangetan, lu pikir Kanaya itu ibu kantin? Sini lah lu bayar lewat gua aja, ntar gua sampein ke Kanaya.”

“Sembarangan, lu! Gua kasih keringet baru tau rasa lu!” ancam Vero sambil mengacungkan handuknya yang sudah separuh basah. Lalu keduanya tergelak.

“Jadi, apa yang bikin lu pengen ketemu sama Kanaya?”

“Nggak tau, Kal, gua penasaran aja sama dia.”

“Penasaran kenapa?”

“Haduh, masa gua mesti cerita panjang lebar dulu, sih?”

“Ya iyalah, Kanaya kan temen gua. Lagian, siapa tahu ada yang bisa gua bantu. Kali aja rasa penasaran lu bisa cukup terselesaikan dengan ketemu gua.”

“Dasar, lu!”

Vero seperti berpikir sejenak, mencoba memutuskan akan memulai ceritanya dari mana.

“Lu inget nggak, waktu itu kalian pada kesiangan nggak ngejar sunrise?”

“Hmm, iya inget.”

“Waktu itu, gua sama Kanaya pergi berdua buat ngelihat sunrise di Pantai Pasir Perawan.”

“Masa?! Pas kami pada bangun, si Kanaya lagi nyiap-nyiapin sarapan, kok.”

“Dia memang balik duluan, ninggalin gua yang masih nikmatin sunrise, sembari kepikiran kata-katanya.”

“Kata-kata apa?” kedua alis Haikal bertautan.

“Yaah, ada beberapa hal yang kami bicarain waktu itu. Gua tertarik sama filosofinya dia tentang pantai. Tapi di sisi lain, gua juga terheran-heran sama nggak ramahnya dia waktu gua tanya kapan bisa liburan bareng lagi.”

Haikal tertawa, matanya sejenak menatap arak-arakan awan di langit, mencoba mengingat peristiwa tiga tahun lalu.

“Kenapa lu ketawa?”

“Kanaya itu memang nggak ramah sama orang asing. Pertama kali gua ketemu Kanaya tuh di jembatan penyeberangannya halte Tosari. Waktu itu, kami sama-sama kejebak hujan. Dia lagi galau gara-gara baru ngerasain yang namanya merantau. Gua ajak ngobrol, dan defensif banget sikapnya. Bahkan, nyebut nama aja dia nggak mau.”

“Segitunya?”

“Iya, segitunya. Lumayan tengsin juga waktu itu, gara-garanya gua udah sebut nama dan ngulurin tangan, eeeh dia malah bilang kalau nggak biasa kenalan sama orang asing. Baru kali itu rasanya gua ditolak kenalan sama cewek, biasanya kan cewek yang rebutan pengen kenal gua.”

“Ckckck, pede amat lu, bro.”

“Hahaha. Yah, jadi jangan kaget sih, kalau dia jutek sama lu.”

“Tapi gua tetep pengen ketemu dia lagi, Kal.”

“Ngapa sih? Lu suka ya sama dia?”

Vero diam, bingung. Harus dijawab apa lah pertanyaan Haikal ini?

“Gua belum bisa bilang gitu, sih. Tapi gua tertarik sama dia. Eh tapi dia masih single, kan?”

“Setahu gua sih, masih.”

Cuaca Sabtu pagi itu amat bersahabat. Sinar matahari yang menghangatkan, sesekali angin sepoi pun bertiup, memberi kesejukan untuk meringankan lelah. Jogging track sedang tak begitu ramai, orang-orang lebih tertarik pergi ke area taman, sedang ada festival Flona di sana.

“Kal, udahan yuk, udah belasan kali muter nih, udah lima kilometer kayaknya.”

“Lemah, lu. Yaudah yuk duduk bentar di tribun.”

Tribun yang ada di lapangan Banteng ini memang tak begitu besar. Hanya terdiri dari beberapa tingkat, dan letaknya di sisi kiri gerbang masuk.

Haikal menenggak habis air dalam botol minumnya, sementara Vero sibuk melemaskan otot-otot kakinya.

“Jadi gimana, Kal? Gimana caranya gua bisa ketemu Kanaya lagi?”

“Lu tahu nggak, kenapa gua lebih pilih lari di sini, daripada area taman yang di sebelah itu?”

“Ya kan lagi ada acara di situ, Kal.”

“Aduh, bukan itu alasannya. Jogging track ini jaraknya jelas. Satu kali putaran, 400 meter. Batasannya juga jelas, tuh lu perhatiin ada bendera-bendera kecil di ujung lapangan, di paving pembatasnya bahkan ada tulisannya juga tiap 50 meter.”

“Hubungannya sama Kanaya tuh, apaan?”

“Bro, gua kenal lu sejak lama. Lu tuh baik sama semua orang, dan kebaikan lu juga sering disalahartikan. Walaupun lu nggak bermaksud kayak gitu.”

Haikal menghela napas panjang sebelum melanjutkan kata-katanya.

“Kanaya itu emang jutek sama orang asing. Karena apa? Karena sekalinya dia udah kenal sama orang, apalagi udah deket sama orang, dia bakalan baik banget, percaya banget, dan banget-banget yang lainnya. Konsekuensinya, kalau disakitin, dia akan ngerasa sakit banget juga.”

“Menurut lu, gua bakal nyakitin dia gitu?”

“Kagak. Gua cuma mau ngingetin, lu mesti bikin batasan-batasan yang jelas soal perlakuan-perlakuan lu nanti ke Kanaya, ini nyambung sama jogging track yang gua bilang tadi. Kalau emang lu memposisikan diri lu sebagai teman, jangan lu lakuin hal-hal yang ngelewatin batas itu. Ibaratnya kalau temenan tuh perhatiannya level 2, jangan lu lebay ngasih perhatian sampai level 5.”

“Hmm, ya, paham gua.”

“Satu lagi.”

“Apa?”


Haikal menegakkan posisi duduknya lalu tegas berkata, “Kanaya itu rumah. Kalau lu belum mantap, kalau lu baru pengen singgah sebentar, cukuplah lu berada di terasnya aja.”

Senin, 31 Oktober 2016

Kesempatan Pertama

0


pic taken from linkedIn


Jumat malam, salah satu rumah sakit besar di kawasan Jakarta Pusat itu masih juga tampak sibuk. Ambulance silih berganti memasuki pintu gerbang. Beberapa perawat dan dokter tampak tergesa melayani pasien yang seperti tak habis-habis datangnya. Faya yang tak begitu suka berada di tengah hiruk pikuk yang menyayat hati itu memilih untuk terus berjalan ke arah timur, melewati bangunan Unit Gawat Darurat, hingga tibalah dia di taman rumah sakit.

Taman itu cukup luas, ada air mancur di tengahnya, sementara di tepi-tepinya berjajar bangku-bangku dari kayu. Hanya tinggal dua bangku yang kosong, Faya akhirnya memilih untuk duduk di bangku yang paling dekat dengan air mancur. Setelah meneguk air mineral yang dia bawa kemana-mana, Faya menengok jam tangannya sebentar, lalu mengeluarkan tab dari tasnya. Tak lama, Faya tenggelam dalam e-book yang baru didownloadnya siang tadi.

Ketenangan Faya tiba-tiba terusik oleh dering handphone-nya sendiri.

Nomor yang tidak dikenal. Kalau dulu jaman kuliah, telepon semacam ini akan langsung di-reject-nya. Tapi sejak bekerja, kebiasaan itu tak lagi bisa dilakukannya. Telepon dari nomor tak dikenal bisa saja berhubungan penting dengan pekerjaannya.

“Halo, selamat malam. Iya benar, saya Faya. Apa? Kartu nama? Astaga. Oke, nggak jauh kok. Saya di RSPAD. Terima kasih banyak.”

Faya menghela napas panjang dan tak henti-henti mengutuki dirinya yang ceroboh.

Tak sampai sepuluh menit kemudian, handphone-nya kembali berdering.

“Halo? Iya. Saya di tamannya, mas. Tahu nggak? Oke. Saya pakai cardigan warna biru muda, ya.”

Faya berdiri dari tempat duduknya sambil terus mengarahkan pandangan ke gerbang taman. Lalu lelaki berseragam biru tua itu muncul. 

“Maaf ya, mas. Jadi merepotkan.”

“Ah nggakpapa, kok.”

“Tadi saya habis ambil pesanan kartu nama, malah ketinggalan. Untung ada mas....eh mas siapa ya?”

“Erick.”

Mereka berjabat tangan. Dalam hati, Erick akhirnya membenarkan kata-kata Rendi di stasiun sore itu. Ya, perempuan ini memang cantik, dan welcome dengan orang asing.

“Faya keberatan kalau saya ikut duduk sebentar di sini?” tanya Erick.

“Ah, nggak, silakan.”

“Jadi...Kamu ngapain di rumah sakit?”

“Cuma mau konsultasi kesehatan sebentar. Kebetulan, teman SMA saya dulu ada yang jadi dokter di sini.” Jawab Faya seraya merapatkan cardigan-nya, angin sepoi di malam hari memang terasa lebih dingin dari yang seharusnya.
“Ooh. Kamu sering ya, ke kedai kopi itu?”

Faya mengangguk. “Yaaa, hampir tiap Jumat malam saya ke sana. Kamu sering ke sana juga, kah?”

“Hmm, nggak juga. Eh by the way, baju batik di hari Jumat. Kalau tebakan saya benar, jangan-jangan kita dari Instansi yang sama, ya?” cepat-cepat Erick mengalihkan pembicaraan, mana mungkin dia bilang kalau dia pergi ke kedai itu atas saran Rendi.

Faya memperhatikan seragam lelaki di sampingnya itu.

“Kayaknya sih, begitu. Kebetulan yang lucu, ya.”

Sejenak Faya tersenyum. Matanya menyipit, kedua lesung pipinya terlihat jelas. Namun bagi Erick, itu adalah sejenak yang lama.

“Kamu kok sama sekali nggak kelihatan takut atau risih, sih, sama orang asing?” tanya Erick yang sebenarnya sedari tadi sudah terpesona dengan keramahan Faya. Rendi benar, perempuan ini unik.

“Memangnya kenapa harus takut atau risih?”

“I dont know, tapi normalnya orang kan nggak welcome sama orang asing, apalagi perempuan.”

“Jadi saya nggak normal gitu, maksudnya?”

“Eh, nggak gitu, Fay.” ralat Erick cepat. Wajahnya tampak merasa bersalah, sementara Faya malah tertawa.

“Berhati-hati dengan orang asing itu perlu, tapi waspada dengan orang terdekat itu malah harus,” jawab Faya sambil memandang air mancur di tengah taman. 

“Kok gitu?”

Faya menarik napas panjang, seperti bersiap untuk bicara panjang lebar.

“Orang asing itu nggak punya kepentingan apapun sama hidup kita. Sekali dia datang, lalu pergi, sudah. Sementara orang terdekat justru sebaliknya. Pernah dengar pepatah yang bilang bahwa orang yang paling kamu cintai itu adalah orang yang punya peluang paling besar untuk menyakitimu?”

“Iya, pernah.”

“Thats it! In my opinion, orang asing justru bisa jadi pemerhati yang paling tulus, pemberi doa yang  tanpa pamrih. ”

“Gimana dengan sahabat? Tiap orang selalu punya sahabat, orang yang dipercaya.”

“Saya punya banyak sahabat. Sahabat saya ada di mana-mana. Bapak-bapak yang kebetulan duduk bersebelahan dengan saya di kereta, teman backpacking di Belitung yang bahkan saya udah lupa namanya, lelaki yang tiba-tiba ngajak saya ngobrol di kedai kopi. Saya bersahabat dengan cara yang berbeda. ”

“Luar biasa. Baru kali ini saya ketemu orang seperti kamu.”

“Apanya yang luar biasa? Dikhianati teman terbaik itu bukan pengalaman yang menyenangkan, mas. Jadi yaa, seperti inilah saya yang sekarang.”

Keheningan menyergap mereka berdua selama beberapa detik. Faya yang selalu terbuka dengan orang asing. Erick yang sedari tadi ingin masuk lebih jauh lagi menyelami pemikiran-pemikiran Faya. Gemericik air mancur menghiasi diam keduanya.

“Jadi kurang lebih, manusia yang satu akan memberikan jejak pada kehidupan manusia yang lain , ya? Sementara mereka nggak tahu, seberapa dalam dan seberapa besar pengaruh jejak mereka itu nantinya.”

“Yap. Makanya jaga sikap, kita nggak akan tahu bahwa jejak kita itu bisa saja mengubah cara pandang, atau bahkan hidup seseorang,” pungkas Faya sambil tetap memandang air mancur di depannya, sampai tiba-tiba handphone-nya berdering.

“Yaa, Gin? Udah? Oke aku ke ruangan.” Faya memasukkan handphone-nya ke dalam tas, berkemas.

“Mas Erick saya duluan, ya. Thanks sudah bawain kartu nama saya ke sini.”

“You’re welcome. Saya juga mau pulang. Sampai ketemu lagi, Fay.”

Keduanya berdiri lalu beranjak pergi ke arah yang berlawanan. Seperti teringat sesuatu, cepat-cepat Faya memanggil lelaki yang sejak tadi menjadi teman ngobrolnya itu.

“Mas Erick!”

Lelaki yang dipanggilnya itu menoleh. “Ya, Fay?”

“Nomor saya, tolong segera dihapus, ya. Thanks.”

Selasa, 18 Oktober 2016

Pertemuan di Rintik Hujan

4

pict taken from autotekno.sindonews.com


Hujan tidak pernah gagal membuat kenangan terputar kembali di ingatan. Ada memori di setiap rintiknya. Lalu ketika tetesan air itu menyentuh tanah, aromanya akan terhirup kuat-kuat, sampai kedua mata ini terpejam karena syahdunya. Jakarta diguyur hujan sore ini. Aku bukan termasuk yang cinta-cinta banget sama hujan, tapi akupun nggak pernah mengutuknya. Tengah-tengah saja, bukankah yang berlebihan itu selalu tak baik adanya?

Halte Tosari bisa dipastikan akan penuh sesak jika sudah hujan begini. Aku sebagai salah satu pengguna setia bus Transjakarta sudah paham benar hal itu. Pasalnya, ketika hujan turun, halte ini tak hanya menampung orang yang menunggu bus datang, tapi juga disesaki mereka-mereka yang menanti hujan sedikit reda agar bisa melanjutkan perjalanan. Karena itulah, aku lebih memilih untuk keluar halte menuju jembatan penyeberangan.

Ada dua hal yang aku syukuri kali ini. Fakta pertama bahwa hujan kali ini nggak disertai angin kencang. Fakta ke dua adalah jembatan penyeberangan ini punya kanopi yang agak panjang di tepi-tepinya. Dua hal ini yang membuatku terlindung dari kuyup. Aku tak pernah bisa kehujanan.

Aku merapatkan jaket merah mudaku dan memandang ke bawah. Macet. Barisan kendaraan mengular, membentuk garis-garis nyala merah yang tersebar di seluruh bagian jalan. Biasanya, di hari hujan seperti ini, Ibu membuatkanku minuman hangat. Entah itu teh manis, susu, atau cokelat hangat. Kemudian kami akan berbincang di taman belakang, sembari menikmati hawa dingin yang ditawarkan hujan. Ah, hujan selalu sedamai itu jika aku berada di dekat Ibu.

“Perlu tisu?”

Tiba-tiba seorang lelaki menyorongkan selembar tisu padaku. Astaga, memangnya aku menangis?

“Ah, nggak, makasih,” sahutku sambil terus memperhatikan jalanan, hujan belum berhenti.

“Eh kenapa? Tisunya bersih kok, ya walau ini tisu dari bungkusan burger gua, sih.”

Aku masih diam saja. Baru satu minggu di Jakarta, aku tak punya pilihan lagi selain harus selalu waspada.

“Lu baru ya, di Jakarta?”

“Nggak kok, mas,” tukasku pendek.

“Oh dari Jawa ternyata.”

Sial ketahuan. Aku harus mengingatkan diriku sendiri berkali-kali kalau jangan panggil “mas”, di Jakarta panggilnya “bang”. Dan nyatanya masih salah juga.

“Gua memang belum terlalu lama di Jakarta. Tapi, tingkah lu yang terlihat amazed banget ngelihatin kemacetan, plus sikap defensif lu barusan, sudah cukup jadi indikasi kalau lu emang baru menjejak di Jakarta.”

“Hhh, yayaya. Kalau aku baru, terus kenapa?”

Orang ini sotoy juga, maunya apa pula.

“Ya nggakpapa, hehe.”

Aku menoleh sebentar. Lelaki ini memang nggak tampak seperti orang jahat, sih. Lihat saja mulutnya yang belepotan saus burger itu. Hah, sudah jelas dia yang lebih butuh tisu daripada aku.

“Pasti lu masih berat ninggalin kota kelahiran lu, ya?”

Aku menghela napas panjang. Kalau saja sedang tidak hujan, aku mau cepat-cepat pergi dari sebelah lelaki ini. Demi apa, dari beberapa orang yang juga ada di jembatan penyeberangan ini, kenapa dia harus berdiri di sebelahku, sih?

“Yaa, bisa dibilang gitu.”

“Wajar kok itu. Dulu gua juga gitu. Homesick, kalau orang-orang bilang. Tapi, lelaki bukanlah lelaki kalau belum merantau,” jelasnya jumawa.

Aku memandangnya lagi. Lelaki ini bisa saja agak sedikit lebih tampan, kalau saja gaya bicaranya nggak sok tau macam begitu.

“Eh, sorry ya, burgernya gua habisin sendirian,” katanya sambil melipat bungkusan burger ke dalam saku jaket hitamnya. Okay, satu nilai plus, dia nggak buang sampah sembarangan.

“It’s okay, lagian aku juga nggak doyan burger.”

“Doyannya apa dong?”

“Nasi pecel.”

Demi mendengar jawabanku, dia terbahak, sampai orang-orang memandang ke arah kami.

“Apanya yang lucu, sih?” tanyaku sebal. Mencuri perhatian seisi jembatan penyeberangan ini jelaslah nggak masuk dalam rencanaku. Aku malah ingin terlihat transparan saja, berada di sini tanpa dihiraukan siapapun. Bukankah kesendirian itu seringkali mendamaikan berisiknya pertanyaan di dalam hati?

“Yaelah gitu aja marah. Lu di Jakarta ngapain, sih? Kerja?”

“Iya.”

“Oooh, di mana?”

Duh, kepo.

“Oke oke nggak usah dijawab juga nggakpapa kok.”

Akhirnya sadar diri juga nih orang.

“Gua ganti pertanyaan aja.”

What? -___-

“Kalau berat ninggalin kampung halaman, ngapain lu ke Jakarta?”

“Bukan aku yang milih untuk penempatan di Jakarta.”

“Oooh, accidentally merantau. Pantesan.”

“Pantesan apa?”

“Pantesan galau.”

Aku melengos. Hujan berhenti dong, selamatkan aku dari lelaki jangkung yang sok akrab ini.

“Gua dulu juga mengalami fase-fase itu, kok. Gua mengalami kangen rumah, pengen rasanya tiap weekend pulang. Tapi akhirnya gua realistis, uang gua nggak sebanyak itu untuk bisa beli tiket pesawat tiap minggu, hahaha.”

Kali ini aku ikut tertawa, tapi nggak begitu keras. Orang asing ini ternyata lucu juga.

“Terus kamu ngapain biar nggak galau kepikiran rumah melulu?”

“Gua cari kesibukan.”

“Diplomatis banget jawabanmu.”

“Dengar dulu. Gua cari kesibukan yang menyenangkan. Misal, ikutan open trip ke pantai-pantai di Kepulauan Seribu, ikutan event lari, pergi ke pameran seni, apa aja lah, asal gua nggak punya waktu nganggur.”

“Does it work?”

“Iyalah. Pikiran-pikiran negatif itu harus dialihkan, harus ditipu dengan hal-hal yang positif. Merantau itu punya banyak manfaat. Gua nggak akan bilang manfaatnya ke lu, lu yang harus ngerasain sendiri, cari tahu sendiri. Sama kayak obat. Obat itu pahit, lu nggak bakal suka. Tapi, lu sendiri yang bisa ngerasain khasiatnya, ngerasain manfaatnya. Lu nggak bakal percaya kalau cuma denger dari orang lain.”

Hujan masih turun, tapi rintik-rintiknya telah jauh lebih kecil dan jarang dibandingkan satu jam yang lalu. Satu jam? Great, satu jam di sore hari ini aku habiskan bersama lelaki asing di jembatan penyeberangan. Kalau di FTV, mungkin cerita ini akan berakhir dengan tuker-tukeran nomor handphone.

“Okey, then, hujannya sudah reda. Aku duluan.”

“Eh, tunggu. Gua Haikal, lu siapa?”

“Aku nggak biasa kenalan sama orang asing, maaf ya.”

“Hmm, okelah. Berarti kalau ketemu lagi, lu yang wajib nyapa gua, karena gua nggak tau gimana caranya nyapa lu duluan,” katanya sambil memasang earphone di kedua telinganya.

Kami lalu saling tersenyum, kemudian berjalan menuju arah yang berlawanan.

Meninggalkan genangan-genangan air kecil di jembatan yang merekam sebuah pertemuan.



Senin, 10 Oktober 2016

Umpan Lambung

0

pict taken from asfanforever.wordpress.com

Sebagai stasiun besar di Ibu Kota, Gambir tidak pernah sepi dari hari ke hari. Barisan orang lalu lalang dari loket satu menuju loket lainnya. Suara mesin pemanggil antrian otomatis menggema di ruang tunggu pintu utara. Stasiun bukan hanya tempat orang-orang yang bergembira karena pulang, tapi juga tempat dimana wajah-wajah yang digelayuti rindu mencoba tetap tegar. Sesekali pun bisa dijumpai rona yang penuh semangat karena pertama kali menjejak tanah rantauan.

Di salah satu bangku melingkar, seorang lelaki duduk dengan satu koper hitam berukuran tanggung di depannya. Tangannya menggenggam bungkusan kertas berisi roti rasa kopi. Sesekali matanya diarahkan ke luar, memandang jam tangannya sebentar, lalu kembali sibuk mengisi rongga mulutnya. Di tengah kesibukannya mengunyah, ada sorot gelisah yang tampak di kedua matanya. Seperti menunggu sesuatu yang tak kunjung datang.

“Rendi!”

Belum sempat lelaki itu menelan rotinya, orang yang sedari tadi ditunggunya itu sudah menepuk-nepuk pundaknya lumayan keras.

“Astagaa, biarlah saya telan dulu rotinya, bro. Jangan main peluk saja kamu ini. Lagian kita kan sama-sama laki-laki, nggak enak juga dilihat orang.”

“Soriii, bro! Ndak kira lah saya masih sempat ketemu kamu.”

“Bukan main. Sudah berapa lama kamu di Jakarta?”

“Hmmm, kira-kira hampir empat tahun saya di sini, Ren, kenapa memang?”

“Nggakpapa, saya kira kamu bakal nyapa saya pakai lu-gua, hahaha”

Lelaki bernama Rendi itu pun menggeser tempat duduknya, memberi tempat untuk orang yang sudah dinantikannya sejak tadi.

“Saya boleh lama di rantauan, tapi logat sepertinya lebih kuat melekat, Ren. Sama lah seperti kamu. Ah iya, maaf ya tiga bulan ini saya sibuk sekali, ndak bisa temani kamu keliling-keliling Jakarta.”

“Nggakpapa, saya paham lah kesibukannya anak buah Bu Menteri.”

“Ah, jangan gitu lah. Saya kan cuma remah-remah roti, Ren, kayak yang kamu makan itu. ”

Lalu keduanya tergelak.

“Ah iya, apa kabar si Rania?”

“Kami dah lama putus, Ren. Sudahlah nggak usah dibahas. Kamu sendiri gimana? Masih sama yang dulu?”

“Sama lah nasib kita, bro. Ah iya, saya jadi ingat, kapan hari saya ketemu salah satu spesies perempuan yang unik banget.”

“Unik gimana, Ren?”

“Sejak pertama saya lihat dia di tempat ngopi itu, saya langsung ngerasa ada yang beda sama dia. Pertama, dia selalu sendirian. Ke dua, dia nggak pernah pesan kopi, padahal di situ menu default-nya ya kopi.”

“Ke tiga?” lelaki di sebelah Rendi ini mulai tampak penasaran, kedua alisnya nyaris saling bertautan.

“Yang ke tiga, yang baru saya tahu waktu saya nekad ngajak dia ngobrol.”

“Ngajak ngobrol? Serius, Ren?”

“Saya serius. Hal ke tiga yang bikin dia beda adalah, dia begitu terbuka sama orang asing.”

“Jadi orangnya ramah, gitu?”

Rendi terlihat berpikir sejenak.

“Nggak bisa dibilang ramah juga, sih, bro. Dia itu dingin malahan sebenarnya. Tapi dia bisa bikin saya yang orang asing ini, nyaman ngobrol sama dia.”

“Hmm, aneh.”

“Kita selalu bisa ngerasain kan, kalau orang yang kita ajak bicara itu ngerasa nggak nyaman sama kita? Itu yang nggak saya rasakan ketika ngobrol sama dia.”

“Kok kayaknya kamu terkesan banget sama dia, Ren? Suka ya?”

“Sudah cukup lah saya nggak mau LDR lagi, bro. Nanti putus lagi, gagal kawin lagi lah saya.”

“Jangan galau gitu, lah, Ren!”

“Eh saya nggak galau. Coba lah bro, kalau waktumu luang di hari Jumat malam, kamu pergi ke tempat ngopi di Atrium situ, tuh. Cari perempuan yang duduk di sebelah jendela besar.”

“Kalau ada banyak perempuan yang duduk di sebelah jendela besar?”

“Perempuan ini eye-catching banget, bro. Dia punya dua lesung pipi yang kelihatan jelas banget kalau dia ketawa. Rambutnya pendek sebahu. Kalau kamu cari tipe perempuan yang unik. Saya sarankan sekali kamu coba temui perempuan ini, bro.”

Setelah mengamati jam tangannya beberapa saat, Rendi tampak bersiap-siap. Diikuti teman bicaranya sejak tadi, mereka menuju area parkiran sebelah kiri. Tepat waktu, bus Damri berwarna putih baru saja melewati palang pintu masuk.

“Jam berapa pesawatmu balik Bontang?”

“Masih jam 9 nanti. Mending nunggu daripada ketinggalan pesawat, kan.”

“Tiga bulan di Jakarta, kamu sudah belajar banyak dari macetnya kota ini, Ren.”

Rendi tertawa. Kemacetan Jakarta, sesuatu yang dia benci itu sebentar lagi mungkin akan jadi sesuatu yang dia rindukan suatu saat nanti.

“Saya berangkat, bro. Kapan-kapan mainlah ke Bontang.”

“Beres. Salam buat ibu bapak dan adik-adikmu, ya, Ren.”

“Siap. Oke, sampai ketemu lagi, bro!”

Sekali lagi mereka berdua berpelukan. Salam perpisahan dari dua orang teman akrab semasa kuliah. Rendi yang memilih kembali ke pangkuan kampung halaman, sementara lelaki yang dipanggilnya “bro” ini masih belum lelah berkelana, menjajaki tempat-tempat baru yang belum pernah dia jamah sebelumnya.

Sebelum benar-benar naik ke bus, Rendi menoleh ke arah teman baiknya itu sambil berkata,

“Perempuan itu… Namanya Faya.”

***

Gambir masih penuh dengan hiruk pikuk kesibukannya. Sementara teman baik Rendi juga sedang sibuk menimbang-nimbang.


Besok kan, hari Jumat.