Selasa, 18 Oktober 2016

Pertemuan di Rintik Hujan

4

pict taken from autotekno.sindonews.com


Hujan tidak pernah gagal membuat kenangan terputar kembali di ingatan. Ada memori di setiap rintiknya. Lalu ketika tetesan air itu menyentuh tanah, aromanya akan terhirup kuat-kuat, sampai kedua mata ini terpejam karena syahdunya. Jakarta diguyur hujan sore ini. Aku bukan termasuk yang cinta-cinta banget sama hujan, tapi akupun nggak pernah mengutuknya. Tengah-tengah saja, bukankah yang berlebihan itu selalu tak baik adanya?

Halte Tosari bisa dipastikan akan penuh sesak jika sudah hujan begini. Aku sebagai salah satu pengguna setia bus Transjakarta sudah paham benar hal itu. Pasalnya, ketika hujan turun, halte ini tak hanya menampung orang yang menunggu bus datang, tapi juga disesaki mereka-mereka yang menanti hujan sedikit reda agar bisa melanjutkan perjalanan. Karena itulah, aku lebih memilih untuk keluar halte menuju jembatan penyeberangan.

Ada dua hal yang aku syukuri kali ini. Fakta pertama bahwa hujan kali ini nggak disertai angin kencang. Fakta ke dua adalah jembatan penyeberangan ini punya kanopi yang agak panjang di tepi-tepinya. Dua hal ini yang membuatku terlindung dari kuyup. Aku tak pernah bisa kehujanan.

Aku merapatkan jaket merah mudaku dan memandang ke bawah. Macet. Barisan kendaraan mengular, membentuk garis-garis nyala merah yang tersebar di seluruh bagian jalan. Biasanya, di hari hujan seperti ini, Ibu membuatkanku minuman hangat. Entah itu teh manis, susu, atau cokelat hangat. Kemudian kami akan berbincang di taman belakang, sembari menikmati hawa dingin yang ditawarkan hujan. Ah, hujan selalu sedamai itu jika aku berada di dekat Ibu.

“Perlu tisu?”

Tiba-tiba seorang lelaki menyorongkan selembar tisu padaku. Astaga, memangnya aku menangis?

“Ah, nggak, makasih,” sahutku sambil terus memperhatikan jalanan, hujan belum berhenti.

“Eh kenapa? Tisunya bersih kok, ya walau ini tisu dari bungkusan burger gua, sih.”

Aku masih diam saja. Baru satu minggu di Jakarta, aku tak punya pilihan lagi selain harus selalu waspada.

“Lu baru ya, di Jakarta?”

“Nggak kok, mas,” tukasku pendek.

“Oh dari Jawa ternyata.”

Sial ketahuan. Aku harus mengingatkan diriku sendiri berkali-kali kalau jangan panggil “mas”, di Jakarta panggilnya “bang”. Dan nyatanya masih salah juga.

“Gua memang belum terlalu lama di Jakarta. Tapi, tingkah lu yang terlihat amazed banget ngelihatin kemacetan, plus sikap defensif lu barusan, sudah cukup jadi indikasi kalau lu emang baru menjejak di Jakarta.”

“Hhh, yayaya. Kalau aku baru, terus kenapa?”

Orang ini sotoy juga, maunya apa pula.

“Ya nggakpapa, hehe.”

Aku menoleh sebentar. Lelaki ini memang nggak tampak seperti orang jahat, sih. Lihat saja mulutnya yang belepotan saus burger itu. Hah, sudah jelas dia yang lebih butuh tisu daripada aku.

“Pasti lu masih berat ninggalin kota kelahiran lu, ya?”

Aku menghela napas panjang. Kalau saja sedang tidak hujan, aku mau cepat-cepat pergi dari sebelah lelaki ini. Demi apa, dari beberapa orang yang juga ada di jembatan penyeberangan ini, kenapa dia harus berdiri di sebelahku, sih?

“Yaa, bisa dibilang gitu.”

“Wajar kok itu. Dulu gua juga gitu. Homesick, kalau orang-orang bilang. Tapi, lelaki bukanlah lelaki kalau belum merantau,” jelasnya jumawa.

Aku memandangnya lagi. Lelaki ini bisa saja agak sedikit lebih tampan, kalau saja gaya bicaranya nggak sok tau macam begitu.

“Eh, sorry ya, burgernya gua habisin sendirian,” katanya sambil melipat bungkusan burger ke dalam saku jaket hitamnya. Okay, satu nilai plus, dia nggak buang sampah sembarangan.

“It’s okay, lagian aku juga nggak doyan burger.”

“Doyannya apa dong?”

“Nasi pecel.”

Demi mendengar jawabanku, dia terbahak, sampai orang-orang memandang ke arah kami.

“Apanya yang lucu, sih?” tanyaku sebal. Mencuri perhatian seisi jembatan penyeberangan ini jelaslah nggak masuk dalam rencanaku. Aku malah ingin terlihat transparan saja, berada di sini tanpa dihiraukan siapapun. Bukankah kesendirian itu seringkali mendamaikan berisiknya pertanyaan di dalam hati?

“Yaelah gitu aja marah. Lu di Jakarta ngapain, sih? Kerja?”

“Iya.”

“Oooh, di mana?”

Duh, kepo.

“Oke oke nggak usah dijawab juga nggakpapa kok.”

Akhirnya sadar diri juga nih orang.

“Gua ganti pertanyaan aja.”

What? -___-

“Kalau berat ninggalin kampung halaman, ngapain lu ke Jakarta?”

“Bukan aku yang milih untuk penempatan di Jakarta.”

“Oooh, accidentally merantau. Pantesan.”

“Pantesan apa?”

“Pantesan galau.”

Aku melengos. Hujan berhenti dong, selamatkan aku dari lelaki jangkung yang sok akrab ini.

“Gua dulu juga mengalami fase-fase itu, kok. Gua mengalami kangen rumah, pengen rasanya tiap weekend pulang. Tapi akhirnya gua realistis, uang gua nggak sebanyak itu untuk bisa beli tiket pesawat tiap minggu, hahaha.”

Kali ini aku ikut tertawa, tapi nggak begitu keras. Orang asing ini ternyata lucu juga.

“Terus kamu ngapain biar nggak galau kepikiran rumah melulu?”

“Gua cari kesibukan.”

“Diplomatis banget jawabanmu.”

“Dengar dulu. Gua cari kesibukan yang menyenangkan. Misal, ikutan open trip ke pantai-pantai di Kepulauan Seribu, ikutan event lari, pergi ke pameran seni, apa aja lah, asal gua nggak punya waktu nganggur.”

“Does it work?”

“Iyalah. Pikiran-pikiran negatif itu harus dialihkan, harus ditipu dengan hal-hal yang positif. Merantau itu punya banyak manfaat. Gua nggak akan bilang manfaatnya ke lu, lu yang harus ngerasain sendiri, cari tahu sendiri. Sama kayak obat. Obat itu pahit, lu nggak bakal suka. Tapi, lu sendiri yang bisa ngerasain khasiatnya, ngerasain manfaatnya. Lu nggak bakal percaya kalau cuma denger dari orang lain.”

Hujan masih turun, tapi rintik-rintiknya telah jauh lebih kecil dan jarang dibandingkan satu jam yang lalu. Satu jam? Great, satu jam di sore hari ini aku habiskan bersama lelaki asing di jembatan penyeberangan. Kalau di FTV, mungkin cerita ini akan berakhir dengan tuker-tukeran nomor handphone.

“Okey, then, hujannya sudah reda. Aku duluan.”

“Eh, tunggu. Gua Haikal, lu siapa?”

“Aku nggak biasa kenalan sama orang asing, maaf ya.”

“Hmm, okelah. Berarti kalau ketemu lagi, lu yang wajib nyapa gua, karena gua nggak tau gimana caranya nyapa lu duluan,” katanya sambil memasang earphone di kedua telinganya.

Kami lalu saling tersenyum, kemudian berjalan menuju arah yang berlawanan.

Meninggalkan genangan-genangan air kecil di jembatan yang merekam sebuah pertemuan.



4 komentar:

  1. Baca ini di KRL menuju stasiun Jakarta kota, pas pertama baca udah muncul nih senyum, bahasanya aku suka aul, cara aul menulis ttg hujan :).. Makin scroll kbawah jdi tersenyum mkin lebar. Seriusan tuh mas2 bikin org yg galau sukses tersenyum lebar... Bacaan yg mnyenangkn untuk memulai hari d penuh sesaknya krl bogor-jakarta kota... 😘😘😘😘

    BalasHapus
  2. Baca ini di KRL menuju stasiun Jakarta kota, pas pertama baca udah muncul nih senyum, bahasanya aku suka aul, cara aul menulis ttg hujan :).. Makin scroll kbawah jdi tersenyum mkin lebar. Seriusan tuh mas2 bikin org yg galau sukses tersenyum lebar... Bacaan yg mnyenangkn untuk memulai hari d penuh sesaknya krl bogor-jakarta kota... 😘😘😘😘

    BalasHapus
  3. Jujur, chibs...dari pertama kali kenal...baru kali ini aku mampir di blogmu...always have many great things to share...simple, tapi gaya penyampaiannya yg lugas, jujur, dan apaadanya bikin yg baca ikut larut didalamnya...sukak banget...keep inspiring bi...kangen kalian adek2ku yg unyu n awesome...*colek bu bidan hihi

    BalasHapus
  4. "bukankah yang berlebihan itu selalu tak baik adanya?" suka banget sama kalimat ini.

    BalasHapus