Minggu, 02 Oktober 2016

Dua Jam Sebelum Terbang

0




Aku selalu suka penerbangan di pagi hari. Itulah sebabnya, bisa dihitung dengan jari aku naik pesawat ketika hari sudah gelap. Aku lebih suka memandang angkasa yang benderang, dibanding mengamati kerlip lampu kota dari ketinggian. Jadi sepagi ini, di kala orang-orang lebih memilih bergelung di balik selimutnya berteman hawa dingin hujan, aku sudah turun dari mobil dan melangkahkan kaki masuk bandara.

Penerbanganku masih sekitar dua jam lagi, jadi aku memutuskan untuk mampir dulu ke kedai kopi sejuta umat. Segelas green tea frappe dan dua potong risol sepertinya cocok mengganjal perut untuk sementara waktu.

Salah besar jika aku mengira sepagi ini orang-orang belum berminat minum kopi. Kedai ini penuh sekali. Ah, ada satu kursi kosong ternyata, di depan seorang perempuan muda. It’s okay, semoga dia mau sharing meja denganku.

“Permisi, mba. Saya boleh duduk di sini?” tanyaku sambil mencoba menemukan kedua matanya yang menerawang ke pintu masuk gerbang keberangkatan, seperti menunggu sesuatu. Atau seseorang?

“Oh, boleh. Kosong kok, silakan,” katanya sambil tersenyum, membuat kedua lesung pipinya terlihat jelas.

Aku pun duduk, dan segera menyeruput green tea frappe-ku. Green tea frappe dingin. Bahkan di hari yang dingin pun aku tetap suka minuman dingin. Aku tak pernah suka minuman panas, menurutku itu tidak bisa menghilangkan dahaga sama sekali. Perempuan muda di depanku ini hanya diam. Aku juga tidak mengajaknya berbicara. Entahlah, sepertinya dia juga tidak begitu berminat untuk mengobrol.
Kebekuan itu hanya bertahan sekitar sepuluh menit, sampai kulihat air matanya menetes dan membuatku hampir tersedak.

“Mba, perlu tisu?” aku mengangsurkan sekotak tisu travel pack-ku kepadanya. Dia tersenyum, mengambil beberapa lembar, lalu terdiam lagi.

Tepat sebelum aku mengeksekusi potongan terakhir risol di piring, perempuan ini akhirnya bicara juga.

“Saya boleh cerita?” tanyanya.

What? Cerita? Memangnya kita saling kenal? Tapi demi melihat matanya yang masih berkaca-kaca..

“Sure, why not. Mba mau cerita apa?” kataku akhirnya. Tak ada ruginya aku mendengarkan, toh penerbanganku masih lama.

“Kamu pernah nggak, sengaja ingin pergi dari seseorang yang kamu sayangi?” tanyanya sambil menatapku. Matanya mengerjap-ngerjap, seolah mencegah tetesan air matanya mengalir lagi.

“Mmm, nggak pernah, sih, mba. Kenapa memangnya?”

“Itu yang sedang saya lakukan sekarang. Pergi dari orang yang saya sayangi selama tiga tahun belakangan ini.”

Hening sejenak, aku bingung harus bagaimana menanggapinya. Haruskah aku melempar pandangan bersimpati? Atau cukup ucapan “oh” saja? Mimpi apa lah aku dicurhati orang yang tidak aku kenal pagi-pagi seperti ini.

“Hah? Kenapa harus pergi Mba?”

Aku mencoba terlihat tertarik dengan ceritanya, siapa tahu itu bisa sedikit menghibur hatinya. Sok sekali, padahal aku sendiri sedang butuh dihibur.

“Karena nggak akan ada masa depan buat kami berdua..” kalimatnya terasa menggantung, dan yaaa, aku mulai penasaran sungguhan.

“Mmm, memangnya dia siapanya Mba? Pacar Mba?”

Tiba-tiba dia tersenyum, kemudian menarik napas panjang, seperti bersiap untuk bercerita panjang lebar.

“Jakarta sudah lebih dari sekedar kota rantauan buat saya. Dua tahun pertama yang sepi, sampai di tahun ke tiga, dia datang dan hari-hari indah saya pun dimulai. Dua tahun lamanya kami dekat, mencoba saling tahu kesukaan masing-masing, pergi ke kedai kopi setiap hari Sabtu, berkirim kabar ketika sedang berjauhan, dan banyak lagi hal-hal indah yang sampai sekarang masih melekat di ingatan saya. “

Aroma kopi menguar di seantero kedai. Hiruk pikuk orang-orang yang mengobrol di sana-sini seketika seperti hilang suara di telingaku. Entah bagaimana caranya, perempuan berbaju merah maroon di depanku ini seakan menghipnotis aku untuk turut meresapi ceritanya, menyelami luka yang sedang merayapi hatinya, sejenak lupa kalau aku sendiri punya luka yang harus disembuhkan.

“Hmm, lalu?” tanyaku ragu-ragu.

“Lalu setahun yang lalu, kami memutuskan untuk membawa hubungan kami ke arah yang lebih serius.”

“Pernikahan?” tanyaku tercekat.

“Tepat. Tapi semua tidak berjalan dengan mulus seperti bayangan kami sebelumnya.”

“Why?”

“Difference.”

“Perbedaan apa?”

“Perbedaan yang nggak mungkin untuk disatukan.”

“Bukannya segala sesuatu pasti ada jalan keluarnya, Mba? Memangnya perbedaan apa yang sampai nggak mungkin untuk disatukan?” tanyaku tak paham.

“Jalan keluarnya hanya satu, saya atau dia dilahirkan kembali. Dan itu mustahil, kan? Kita nggak pernah bisa memilih rahim tempat kita berdiam hingga lahir ke dunia.”

Dia tertawa kecil, tawa yang pahitnya bisa terasa sampai ke ulu hati. Aku masih tak paham juga perbedaan apa yang dia bicarakan. Tapi, memperkirakan bahwa mempertanyakan perbedaan itu akan membuat luka hati perempuan ini semakin menganga lebar, kuurungkan niatku.

“Ehm, lalu kalian memutuskan untuk berpisah, gitu?”

“Saya yang mundur. Pernikahan itu bukan hanya menyatukan dua orang anak manusia. Lebih dari itu, pernikahan itu momen bersatunya dua keluarga. Kalau sejak awal keluarganya nggak bisa menerima saya, untuk apa bersikeras dilanjutkan. Itu yang ada dalam pikiran saya.”

“Dia tahu, hari ini Mba pergi?” selidikku demi melihat dua koper besar berwarna biru muda di belakang kursinya. Perempuan ini pasti mau pergi dalam waktu lama.

“Nggak. Tapi kalau kamu menebak saya diam-diam berharap dia datang ke sini dan mencegah saya pergi, kamu benar.”

Aku hanya bisa menatapnya iba, dan diam-diam mencoba membayangkan betapa hancurnya hati perempuan ini terpaksa meninggalkan orang yang dia sayangi. Tunggu. Mencoba? Benarkah aku mencoba?

“Hanya dengan cara seperti ini, saya bisa membuatnya berhenti memperjuangkan saya di hadapan keluarga besarnya.”

Sejenak perempuan berambut pendek ini melihat arloji pink yang melingkar di pergelangan tangannya, memastikan waktu. Lalu dipindahnya ponsel dan dompetnya dari atas meja ke dalam ransel kecil yang sedari tadi ada di pangkuannya.

“Okay, time’s up. Saya harus pergi. Eh, terima kasih ya, sudah mendengarkan saya bercerita, padahal kita nggak saling kenal.”

“It’s okay, Mba. Semoga dengan cerita sama saya, beban di hati Mba bisa sedikit berkurang.”

Kami berdua berdiri, saling bersalaman. Entah kenapa tak satu pun dari kami yang berniat menanyakan nama. Bergegas dia melewati meja kami menuju pintu keluar kedai.

Aku yakin masih banyak cerita perpisahan yang terpendam dalam setiap langkah-langkah yang menjejak lantai bandara ini. Perpisahan tidak pernah indah, bagaimanapun bentuknya. Di sela-sela kebanggaan menerima beasiswa ke luar negeri, ada anak yang diam-diam sedih meninggalkan orang tuanya di tanah air. Di balik bergengsinya amanah tugas ke kota besar, ada seorang ibu yang tidak rela harus berpisah dengan bayi mungilnya barang sehari pun.

Tidak ada orang yang suka dengan perpisahan. Tidak ada.

Aku memandang jendela, hujan masih juga turun dengan derasnya. Bayangan Vero menari-nari dalam kepalaku. Apa yang akan dilakukan lelaki itu jika tahu aku benar-benar pergi? Bohong jika tadi kukatakan bahwa aku tidak pernah dengan sengaja pergi meninggalkan orang yang aku sayangi. Itulah yang sedang kulakukan sekarang. Dan kalau saja aku tidak bertemu perempuan tadi, mungkin sudah kusobek tiket dalam genggamanku ini, mencoba mengulang semua dari awal lagi. Tapi kini tekadku sudah bulat, demi teringat kata-kata perempuan itu sebelum kami benar-benar berpisah tadi…

“Adalah menyakitkan ketika saya dan dia duduk bersisian, namun sebenarnya ada jarak bernama perbedaan yang membentang demikian luas. Dengan kepergian saya, jarak tak kasat mata itu akan mewujud dalam angka, nyata senyata nyatanya. Keadaan itulah yang pada akhirnya akan membuat kami lebih mudah memaafkan diri kami sendiri karena menemukan alasan yang tepat untuk saling berhenti berharap dan mengandaikan masa depan yang sejak awal sebenarnya tidak pernah ada untuk kami.”



God, bagaimana bisa perempuan tadi seakan membuatku bercermin?

0 komentar:

Posting Komentar