Senin, 12 September 2016

Book Review: Metafora Padma by Bernard Batubara

0

pict taken from goodreads.com

Bernard Batubara adalah salah satu penulis favoritku. Hampir setiap dia nerbitin buku baru, aku selalu beli. Kenapa aku bilang hampir? Karena, yang aku beli adalah buku kumpulan cerpennya. Untuk novel, aku belum pernah baca karyanya, hehe. So, ketika aku tahu Bara baru aja nerbitin buku kumpulan cerpen, langsung lah aku beli. Dan, Metafora Padma-nya Bara kali ini habis dalam sekali duduk saja :p

Terakhir kali baca karyanya Bara adalah kumpulan cerpennya yang berjudul "Jatuh Cinta adalah Cara terbaik Untuk Bunuh Diri" (bisa lihat review nya di sini). Dari segi jumlah/tebal halaman, Metafora Padma jauh lebih tipis dari buku sebelumnya. Tapi, ada satu kesamaan dari kedua buku ini, yaitu sama-sama punya atmosfer suram. Suram? Iya, suram abis.

First of all, ada 11 cerpen dalam Metafora Padma yang bakal membuatmu terhanyut dalam kesuraman peristiwa-peristiwa yang terjadi di dalamnya. Menurutku, ada beberapa cerpen yang implisit banget, dan aku nggak bisa nangkep makna atau maksud sebenarnya. But, seperti yang aku bilang sebelumnya, kalau kamu berharap menemukan kisah-kisah manis nan unyu-unyu karena terpikat sama cover-nya yang bergambar bunga mawar merah, siap-siap saja kecewa. Beberapa kali aku sempat bergidik ngeri (fyi, aku nggak seberapa suka sesuatu yang sadis-sadis, thats why aku nggak suka nonton film thriller T.T), tapi yaa karena penasaran, aku terusin aja bacanya, hehe. 

Anyway, Metafora Padma memang nggak berisi kisah manis penuh romansa, tapi nggak berarti Bara kehilangan kemampuan untuk mempesonakan pembacanya. Bara berhasil menciptakan setting yang terasa dekat sekali dengan pembacanya. Bikin aku berasa ada di situasi yang sedang dia gambarkan dalam cerita. Ambillah kisah pahit Harumi dalam cerpen Perkenalan, masa lalu Fu yang kelam lewat cerpen "Es Krim", dan sembilan cerpen lainnya yang yaaah at least bisa bikin aku ngebatin "astagaaa.." sambil berasa miris-miris gimana gitu T.T 

Wondering mengapa Bara bikin kumpulan cerpen yang suram-suram begitu (dan ada beberapa cerpen yang setting-nya sama), terjawab sudah ketika aku selesai membaca bukunya dan baca bagian "ucapan terima kasih"..

Tidak lupa: Glori Paputungan, terima kasih. Kamu yang sudah memberi saya keberanian untuk menceritakan apa yang sebetulnya tidak ingin saya ceritakan.

Penasaran sesuram apa atmosfer dalam buku ini? :p     

0 komentar:

Posting Komentar