Senin, 31 Oktober 2016

Kesempatan Pertama

0


pic taken from linkedIn


Jumat malam, salah satu rumah sakit besar di kawasan Jakarta Pusat itu masih juga tampak sibuk. Ambulance silih berganti memasuki pintu gerbang. Beberapa perawat dan dokter tampak tergesa melayani pasien yang seperti tak habis-habis datangnya. Faya yang tak begitu suka berada di tengah hiruk pikuk yang menyayat hati itu memilih untuk terus berjalan ke arah timur, melewati bangunan Unit Gawat Darurat, hingga tibalah dia di taman rumah sakit.

Taman itu cukup luas, ada air mancur di tengahnya, sementara di tepi-tepinya berjajar bangku-bangku dari kayu. Hanya tinggal dua bangku yang kosong, Faya akhirnya memilih untuk duduk di bangku yang paling dekat dengan air mancur. Setelah meneguk air mineral yang dia bawa kemana-mana, Faya menengok jam tangannya sebentar, lalu mengeluarkan tab dari tasnya. Tak lama, Faya tenggelam dalam e-book yang baru didownloadnya siang tadi.

Ketenangan Faya tiba-tiba terusik oleh dering handphone-nya sendiri.

Nomor yang tidak dikenal. Kalau dulu jaman kuliah, telepon semacam ini akan langsung di-reject-nya. Tapi sejak bekerja, kebiasaan itu tak lagi bisa dilakukannya. Telepon dari nomor tak dikenal bisa saja berhubungan penting dengan pekerjaannya.

“Halo, selamat malam. Iya benar, saya Faya. Apa? Kartu nama? Astaga. Oke, nggak jauh kok. Saya di RSPAD. Terima kasih banyak.”

Faya menghela napas panjang dan tak henti-henti mengutuki dirinya yang ceroboh.

Tak sampai sepuluh menit kemudian, handphone-nya kembali berdering.

“Halo? Iya. Saya di tamannya, mas. Tahu nggak? Oke. Saya pakai cardigan warna biru muda, ya.”

Faya berdiri dari tempat duduknya sambil terus mengarahkan pandangan ke gerbang taman. Lalu lelaki berseragam biru tua itu muncul. 

“Maaf ya, mas. Jadi merepotkan.”

“Ah nggakpapa, kok.”

“Tadi saya habis ambil pesanan kartu nama, malah ketinggalan. Untung ada mas....eh mas siapa ya?”

“Erick.”

Mereka berjabat tangan. Dalam hati, Erick akhirnya membenarkan kata-kata Rendi di stasiun sore itu. Ya, perempuan ini memang cantik, dan welcome dengan orang asing.

“Faya keberatan kalau saya ikut duduk sebentar di sini?” tanya Erick.

“Ah, nggak, silakan.”

“Jadi...Kamu ngapain di rumah sakit?”

“Cuma mau konsultasi kesehatan sebentar. Kebetulan, teman SMA saya dulu ada yang jadi dokter di sini.” Jawab Faya seraya merapatkan cardigan-nya, angin sepoi di malam hari memang terasa lebih dingin dari yang seharusnya.
“Ooh. Kamu sering ya, ke kedai kopi itu?”

Faya mengangguk. “Yaaa, hampir tiap Jumat malam saya ke sana. Kamu sering ke sana juga, kah?”

“Hmm, nggak juga. Eh by the way, baju batik di hari Jumat. Kalau tebakan saya benar, jangan-jangan kita dari Instansi yang sama, ya?” cepat-cepat Erick mengalihkan pembicaraan, mana mungkin dia bilang kalau dia pergi ke kedai itu atas saran Rendi.

Faya memperhatikan seragam lelaki di sampingnya itu.

“Kayaknya sih, begitu. Kebetulan yang lucu, ya.”

Sejenak Faya tersenyum. Matanya menyipit, kedua lesung pipinya terlihat jelas. Namun bagi Erick, itu adalah sejenak yang lama.

“Kamu kok sama sekali nggak kelihatan takut atau risih, sih, sama orang asing?” tanya Erick yang sebenarnya sedari tadi sudah terpesona dengan keramahan Faya. Rendi benar, perempuan ini unik.

“Memangnya kenapa harus takut atau risih?”

“I dont know, tapi normalnya orang kan nggak welcome sama orang asing, apalagi perempuan.”

“Jadi saya nggak normal gitu, maksudnya?”

“Eh, nggak gitu, Fay.” ralat Erick cepat. Wajahnya tampak merasa bersalah, sementara Faya malah tertawa.

“Berhati-hati dengan orang asing itu perlu, tapi waspada dengan orang terdekat itu malah harus,” jawab Faya sambil memandang air mancur di tengah taman. 

“Kok gitu?”

Faya menarik napas panjang, seperti bersiap untuk bicara panjang lebar.

“Orang asing itu nggak punya kepentingan apapun sama hidup kita. Sekali dia datang, lalu pergi, sudah. Sementara orang terdekat justru sebaliknya. Pernah dengar pepatah yang bilang bahwa orang yang paling kamu cintai itu adalah orang yang punya peluang paling besar untuk menyakitimu?”

“Iya, pernah.”

“Thats it! In my opinion, orang asing justru bisa jadi pemerhati yang paling tulus, pemberi doa yang  tanpa pamrih. ”

“Gimana dengan sahabat? Tiap orang selalu punya sahabat, orang yang dipercaya.”

“Saya punya banyak sahabat. Sahabat saya ada di mana-mana. Bapak-bapak yang kebetulan duduk bersebelahan dengan saya di kereta, teman backpacking di Belitung yang bahkan saya udah lupa namanya, lelaki yang tiba-tiba ngajak saya ngobrol di kedai kopi. Saya bersahabat dengan cara yang berbeda. ”

“Luar biasa. Baru kali ini saya ketemu orang seperti kamu.”

“Apanya yang luar biasa? Dikhianati teman terbaik itu bukan pengalaman yang menyenangkan, mas. Jadi yaa, seperti inilah saya yang sekarang.”

Keheningan menyergap mereka berdua selama beberapa detik. Faya yang selalu terbuka dengan orang asing. Erick yang sedari tadi ingin masuk lebih jauh lagi menyelami pemikiran-pemikiran Faya. Gemericik air mancur menghiasi diam keduanya.

“Jadi kurang lebih, manusia yang satu akan memberikan jejak pada kehidupan manusia yang lain , ya? Sementara mereka nggak tahu, seberapa dalam dan seberapa besar pengaruh jejak mereka itu nantinya.”

“Yap. Makanya jaga sikap, kita nggak akan tahu bahwa jejak kita itu bisa saja mengubah cara pandang, atau bahkan hidup seseorang,” pungkas Faya sambil tetap memandang air mancur di depannya, sampai tiba-tiba handphone-nya berdering.

“Yaa, Gin? Udah? Oke aku ke ruangan.” Faya memasukkan handphone-nya ke dalam tas, berkemas.

“Mas Erick saya duluan, ya. Thanks sudah bawain kartu nama saya ke sini.”

“You’re welcome. Saya juga mau pulang. Sampai ketemu lagi, Fay.”

Keduanya berdiri lalu beranjak pergi ke arah yang berlawanan. Seperti teringat sesuatu, cepat-cepat Faya memanggil lelaki yang sejak tadi menjadi teman ngobrolnya itu.

“Mas Erick!”

Lelaki yang dipanggilnya itu menoleh. “Ya, Fay?”

“Nomor saya, tolong segera dihapus, ya. Thanks.”

Selasa, 18 Oktober 2016

Pertemuan di Rintik Hujan

4

pict taken from autotekno.sindonews.com


Hujan tidak pernah gagal membuat kenangan terputar kembali di ingatan. Ada memori di setiap rintiknya. Lalu ketika tetesan air itu menyentuh tanah, aromanya akan terhirup kuat-kuat, sampai kedua mata ini terpejam karena syahdunya. Jakarta diguyur hujan sore ini. Aku bukan termasuk yang cinta-cinta banget sama hujan, tapi akupun nggak pernah mengutuknya. Tengah-tengah saja, bukankah yang berlebihan itu selalu tak baik adanya?

Halte Tosari bisa dipastikan akan penuh sesak jika sudah hujan begini. Aku sebagai salah satu pengguna setia bus Transjakarta sudah paham benar hal itu. Pasalnya, ketika hujan turun, halte ini tak hanya menampung orang yang menunggu bus datang, tapi juga disesaki mereka-mereka yang menanti hujan sedikit reda agar bisa melanjutkan perjalanan. Karena itulah, aku lebih memilih untuk keluar halte menuju jembatan penyeberangan.

Ada dua hal yang aku syukuri kali ini. Fakta pertama bahwa hujan kali ini nggak disertai angin kencang. Fakta ke dua adalah jembatan penyeberangan ini punya kanopi yang agak panjang di tepi-tepinya. Dua hal ini yang membuatku terlindung dari kuyup. Aku tak pernah bisa kehujanan.

Aku merapatkan jaket merah mudaku dan memandang ke bawah. Macet. Barisan kendaraan mengular, membentuk garis-garis nyala merah yang tersebar di seluruh bagian jalan. Biasanya, di hari hujan seperti ini, Ibu membuatkanku minuman hangat. Entah itu teh manis, susu, atau cokelat hangat. Kemudian kami akan berbincang di taman belakang, sembari menikmati hawa dingin yang ditawarkan hujan. Ah, hujan selalu sedamai itu jika aku berada di dekat Ibu.

“Perlu tisu?”

Tiba-tiba seorang lelaki menyorongkan selembar tisu padaku. Astaga, memangnya aku menangis?

“Ah, nggak, makasih,” sahutku sambil terus memperhatikan jalanan, hujan belum berhenti.

“Eh kenapa? Tisunya bersih kok, ya walau ini tisu dari bungkusan burger gua, sih.”

Aku masih diam saja. Baru satu minggu di Jakarta, aku tak punya pilihan lagi selain harus selalu waspada.

“Lu baru ya, di Jakarta?”

“Nggak kok, mas,” tukasku pendek.

“Oh dari Jawa ternyata.”

Sial ketahuan. Aku harus mengingatkan diriku sendiri berkali-kali kalau jangan panggil “mas”, di Jakarta panggilnya “bang”. Dan nyatanya masih salah juga.

“Gua memang belum terlalu lama di Jakarta. Tapi, tingkah lu yang terlihat amazed banget ngelihatin kemacetan, plus sikap defensif lu barusan, sudah cukup jadi indikasi kalau lu emang baru menjejak di Jakarta.”

“Hhh, yayaya. Kalau aku baru, terus kenapa?”

Orang ini sotoy juga, maunya apa pula.

“Ya nggakpapa, hehe.”

Aku menoleh sebentar. Lelaki ini memang nggak tampak seperti orang jahat, sih. Lihat saja mulutnya yang belepotan saus burger itu. Hah, sudah jelas dia yang lebih butuh tisu daripada aku.

“Pasti lu masih berat ninggalin kota kelahiran lu, ya?”

Aku menghela napas panjang. Kalau saja sedang tidak hujan, aku mau cepat-cepat pergi dari sebelah lelaki ini. Demi apa, dari beberapa orang yang juga ada di jembatan penyeberangan ini, kenapa dia harus berdiri di sebelahku, sih?

“Yaa, bisa dibilang gitu.”

“Wajar kok itu. Dulu gua juga gitu. Homesick, kalau orang-orang bilang. Tapi, lelaki bukanlah lelaki kalau belum merantau,” jelasnya jumawa.

Aku memandangnya lagi. Lelaki ini bisa saja agak sedikit lebih tampan, kalau saja gaya bicaranya nggak sok tau macam begitu.

“Eh, sorry ya, burgernya gua habisin sendirian,” katanya sambil melipat bungkusan burger ke dalam saku jaket hitamnya. Okay, satu nilai plus, dia nggak buang sampah sembarangan.

“It’s okay, lagian aku juga nggak doyan burger.”

“Doyannya apa dong?”

“Nasi pecel.”

Demi mendengar jawabanku, dia terbahak, sampai orang-orang memandang ke arah kami.

“Apanya yang lucu, sih?” tanyaku sebal. Mencuri perhatian seisi jembatan penyeberangan ini jelaslah nggak masuk dalam rencanaku. Aku malah ingin terlihat transparan saja, berada di sini tanpa dihiraukan siapapun. Bukankah kesendirian itu seringkali mendamaikan berisiknya pertanyaan di dalam hati?

“Yaelah gitu aja marah. Lu di Jakarta ngapain, sih? Kerja?”

“Iya.”

“Oooh, di mana?”

Duh, kepo.

“Oke oke nggak usah dijawab juga nggakpapa kok.”

Akhirnya sadar diri juga nih orang.

“Gua ganti pertanyaan aja.”

What? -___-

“Kalau berat ninggalin kampung halaman, ngapain lu ke Jakarta?”

“Bukan aku yang milih untuk penempatan di Jakarta.”

“Oooh, accidentally merantau. Pantesan.”

“Pantesan apa?”

“Pantesan galau.”

Aku melengos. Hujan berhenti dong, selamatkan aku dari lelaki jangkung yang sok akrab ini.

“Gua dulu juga mengalami fase-fase itu, kok. Gua mengalami kangen rumah, pengen rasanya tiap weekend pulang. Tapi akhirnya gua realistis, uang gua nggak sebanyak itu untuk bisa beli tiket pesawat tiap minggu, hahaha.”

Kali ini aku ikut tertawa, tapi nggak begitu keras. Orang asing ini ternyata lucu juga.

“Terus kamu ngapain biar nggak galau kepikiran rumah melulu?”

“Gua cari kesibukan.”

“Diplomatis banget jawabanmu.”

“Dengar dulu. Gua cari kesibukan yang menyenangkan. Misal, ikutan open trip ke pantai-pantai di Kepulauan Seribu, ikutan event lari, pergi ke pameran seni, apa aja lah, asal gua nggak punya waktu nganggur.”

“Does it work?”

“Iyalah. Pikiran-pikiran negatif itu harus dialihkan, harus ditipu dengan hal-hal yang positif. Merantau itu punya banyak manfaat. Gua nggak akan bilang manfaatnya ke lu, lu yang harus ngerasain sendiri, cari tahu sendiri. Sama kayak obat. Obat itu pahit, lu nggak bakal suka. Tapi, lu sendiri yang bisa ngerasain khasiatnya, ngerasain manfaatnya. Lu nggak bakal percaya kalau cuma denger dari orang lain.”

Hujan masih turun, tapi rintik-rintiknya telah jauh lebih kecil dan jarang dibandingkan satu jam yang lalu. Satu jam? Great, satu jam di sore hari ini aku habiskan bersama lelaki asing di jembatan penyeberangan. Kalau di FTV, mungkin cerita ini akan berakhir dengan tuker-tukeran nomor handphone.

“Okey, then, hujannya sudah reda. Aku duluan.”

“Eh, tunggu. Gua Haikal, lu siapa?”

“Aku nggak biasa kenalan sama orang asing, maaf ya.”

“Hmm, okelah. Berarti kalau ketemu lagi, lu yang wajib nyapa gua, karena gua nggak tau gimana caranya nyapa lu duluan,” katanya sambil memasang earphone di kedua telinganya.

Kami lalu saling tersenyum, kemudian berjalan menuju arah yang berlawanan.

Meninggalkan genangan-genangan air kecil di jembatan yang merekam sebuah pertemuan.



Senin, 10 Oktober 2016

Umpan Lambung

0

pict taken from asfanforever.wordpress.com

Sebagai stasiun besar di Ibu Kota, Gambir tidak pernah sepi dari hari ke hari. Barisan orang lalu lalang dari loket satu menuju loket lainnya. Suara mesin pemanggil antrian otomatis menggema di ruang tunggu pintu utara. Stasiun bukan hanya tempat orang-orang yang bergembira karena pulang, tapi juga tempat dimana wajah-wajah yang digelayuti rindu mencoba tetap tegar. Sesekali pun bisa dijumpai rona yang penuh semangat karena pertama kali menjejak tanah rantauan.

Di salah satu bangku melingkar, seorang lelaki duduk dengan satu koper hitam berukuran tanggung di depannya. Tangannya menggenggam bungkusan kertas berisi roti rasa kopi. Sesekali matanya diarahkan ke luar, memandang jam tangannya sebentar, lalu kembali sibuk mengisi rongga mulutnya. Di tengah kesibukannya mengunyah, ada sorot gelisah yang tampak di kedua matanya. Seperti menunggu sesuatu yang tak kunjung datang.

“Rendi!”

Belum sempat lelaki itu menelan rotinya, orang yang sedari tadi ditunggunya itu sudah menepuk-nepuk pundaknya lumayan keras.

“Astagaa, biarlah saya telan dulu rotinya, bro. Jangan main peluk saja kamu ini. Lagian kita kan sama-sama laki-laki, nggak enak juga dilihat orang.”

“Soriii, bro! Ndak kira lah saya masih sempat ketemu kamu.”

“Bukan main. Sudah berapa lama kamu di Jakarta?”

“Hmmm, kira-kira hampir empat tahun saya di sini, Ren, kenapa memang?”

“Nggakpapa, saya kira kamu bakal nyapa saya pakai lu-gua, hahaha”

Lelaki bernama Rendi itu pun menggeser tempat duduknya, memberi tempat untuk orang yang sudah dinantikannya sejak tadi.

“Saya boleh lama di rantauan, tapi logat sepertinya lebih kuat melekat, Ren. Sama lah seperti kamu. Ah iya, maaf ya tiga bulan ini saya sibuk sekali, ndak bisa temani kamu keliling-keliling Jakarta.”

“Nggakpapa, saya paham lah kesibukannya anak buah Bu Menteri.”

“Ah, jangan gitu lah. Saya kan cuma remah-remah roti, Ren, kayak yang kamu makan itu. ”

Lalu keduanya tergelak.

“Ah iya, apa kabar si Rania?”

“Kami dah lama putus, Ren. Sudahlah nggak usah dibahas. Kamu sendiri gimana? Masih sama yang dulu?”

“Sama lah nasib kita, bro. Ah iya, saya jadi ingat, kapan hari saya ketemu salah satu spesies perempuan yang unik banget.”

“Unik gimana, Ren?”

“Sejak pertama saya lihat dia di tempat ngopi itu, saya langsung ngerasa ada yang beda sama dia. Pertama, dia selalu sendirian. Ke dua, dia nggak pernah pesan kopi, padahal di situ menu default-nya ya kopi.”

“Ke tiga?” lelaki di sebelah Rendi ini mulai tampak penasaran, kedua alisnya nyaris saling bertautan.

“Yang ke tiga, yang baru saya tahu waktu saya nekad ngajak dia ngobrol.”

“Ngajak ngobrol? Serius, Ren?”

“Saya serius. Hal ke tiga yang bikin dia beda adalah, dia begitu terbuka sama orang asing.”

“Jadi orangnya ramah, gitu?”

Rendi terlihat berpikir sejenak.

“Nggak bisa dibilang ramah juga, sih, bro. Dia itu dingin malahan sebenarnya. Tapi dia bisa bikin saya yang orang asing ini, nyaman ngobrol sama dia.”

“Hmm, aneh.”

“Kita selalu bisa ngerasain kan, kalau orang yang kita ajak bicara itu ngerasa nggak nyaman sama kita? Itu yang nggak saya rasakan ketika ngobrol sama dia.”

“Kok kayaknya kamu terkesan banget sama dia, Ren? Suka ya?”

“Sudah cukup lah saya nggak mau LDR lagi, bro. Nanti putus lagi, gagal kawin lagi lah saya.”

“Jangan galau gitu, lah, Ren!”

“Eh saya nggak galau. Coba lah bro, kalau waktumu luang di hari Jumat malam, kamu pergi ke tempat ngopi di Atrium situ, tuh. Cari perempuan yang duduk di sebelah jendela besar.”

“Kalau ada banyak perempuan yang duduk di sebelah jendela besar?”

“Perempuan ini eye-catching banget, bro. Dia punya dua lesung pipi yang kelihatan jelas banget kalau dia ketawa. Rambutnya pendek sebahu. Kalau kamu cari tipe perempuan yang unik. Saya sarankan sekali kamu coba temui perempuan ini, bro.”

Setelah mengamati jam tangannya beberapa saat, Rendi tampak bersiap-siap. Diikuti teman bicaranya sejak tadi, mereka menuju area parkiran sebelah kiri. Tepat waktu, bus Damri berwarna putih baru saja melewati palang pintu masuk.

“Jam berapa pesawatmu balik Bontang?”

“Masih jam 9 nanti. Mending nunggu daripada ketinggalan pesawat, kan.”

“Tiga bulan di Jakarta, kamu sudah belajar banyak dari macetnya kota ini, Ren.”

Rendi tertawa. Kemacetan Jakarta, sesuatu yang dia benci itu sebentar lagi mungkin akan jadi sesuatu yang dia rindukan suatu saat nanti.

“Saya berangkat, bro. Kapan-kapan mainlah ke Bontang.”

“Beres. Salam buat ibu bapak dan adik-adikmu, ya, Ren.”

“Siap. Oke, sampai ketemu lagi, bro!”

Sekali lagi mereka berdua berpelukan. Salam perpisahan dari dua orang teman akrab semasa kuliah. Rendi yang memilih kembali ke pangkuan kampung halaman, sementara lelaki yang dipanggilnya “bro” ini masih belum lelah berkelana, menjajaki tempat-tempat baru yang belum pernah dia jamah sebelumnya.

Sebelum benar-benar naik ke bus, Rendi menoleh ke arah teman baiknya itu sambil berkata,

“Perempuan itu… Namanya Faya.”

***

Gambir masih penuh dengan hiruk pikuk kesibukannya. Sementara teman baik Rendi juga sedang sibuk menimbang-nimbang.


Besok kan, hari Jumat.

Selasa, 04 Oktober 2016

Percakapan di Pesisir

3

pict taken from yogyakarta.panduanwisata.id

Seperti biasa aku selalu harus mengaduk-aduk isi tasku dulu untuk bisa menemukan name-tag yang terselip di antara notes, payung, dompet, dan penghuni tasku yang lain. Tote bag, model tas paling favorit, sekaligus paling menyusahkan karena hanya ada satu kantong untuk semua barang. Favorit tapi menyusahkan? Yeaa, karena kerumitan macam itulah yang membuatku disebut perempuan.

“Makanya name-tag tuh dipakai, jangan dimasukin dalam tas!”

Haikal tiba-tiba sudah ada di sebelahku, melepas sejenak name-tag yang diselipkan di sakunya, dan taraaaaaaa… pintu terbuka.

“Nggak mau ah, ntar penumpang-penumpang angkot jadi tahu namaku semua dong. Kalau aku digodain ntar gimana?” sahutku cuek.

“GR amat, lu.”

Tepat sebelum Haikal masuk ruangannya (yang notabene bersebelahan dengan ruanganku), kutarik sedikit jaket hitamnya.

“Kal, Kal, tunggu bentar,” pintaku.

“Apaan?”

“Kal kapan liburan lagi, Kal? Masa terakhir kali liburan bareng temen-temen di sini kan hampir setahun yang lalu. Mumpung lagi musim panas, nih.”

“Musim panaaaas, kayak di Eropa aja ada musim panas segala. Hahahaha. Hmm, liburan ya? Boleh juga ide lu. Lu mau kemana? Ke gunung? Ke kota? Ke goa? Atau ke pantai?”

“Pantai!”

“Yaudah, nanti gua cari destinasi yang pas. Mau ambil cuti sekalian?”

“Ih jangan, sayang cutinya. Weekend aja.”

“Okelah.”

***

Dermaga Pulau Pari menyambut kami berdelapan yang hampir tiga jam mengarungi lautan. Pulau ini adalah salah satu dari gugusan Kepulauan Seribu, salah satu destinasi yang tepat untuk sejenak menghilangkan penat di ibu kota. Kalau kantong cekak, bisa naik kapal dari dermaga Kaliadem. Tapi kalau ada uang lebih, naik kapal via Ancol tentu lebih nyaman dibandingkan berdesak-desakan dalam kapal yang bersandar di Muara Angke ini.

Setelah turun dari kapal, bisa ditebak, aku mengamati mereka bertujuh yang sedang asyik wefie dengan action-cam milik Haikal. Haikal melambaikan tangannya, isyarat untuk mengajakku berada dalam satu frame dengan mereka. Tiga jepretan, lalu kami berjalan lagi mengikuti Bang Salim, tour guide kami selama di Pulau Pari ini.

“Lu kenapa sih, nggak biasanya lu pendiem gini?”

“Nggakpapa kok, I’m okay.”

“Yailah pakai ngeles segala. Kenapa? Gara-gara ini open trip? Kamu jadi berasa jalan-jalan sama orang asing, gitu?”

“Ah, you know me so well, lah, Kal. Aku kan emang ngerasa lebih nyaman kalau liburan sama orang yang aku kenal.”

“Lu kenal gua. Lagian kan lu tau sendiri, pas gua lempar ajakan di grup kantor, weekend ini banyak yang pada pulang kampung. Sementara lu buru-buru pengen ngetrip. Jalan tengahnya ya ini. Nikmatin aja, nggak selamanya stranger itu annoying. Okay?”

Aku menarik napas panjang, “Okay, boss.”

Agenda pertama dan utama di siang hingga sore hari nanti adalah snorkeling. Berita buruknya aku nggak bisa berenang, tapi berita baiknya adalah nggak perlu bisa berenang untuk ikutan snorkeling. Yeay!

Perahu kami bergerak dari spot snorkeling satu ke spot berikutnya. Masing-masing spot punya kelebihan tersendiri. Di spot pertama, nggak terlalu banyak ikan di sana, tapi terumbu karangnya memang jempolan, warna-warni, bentuknya pun macam-macam. Lain lagi dengan spot ke dua, di sini bisa dijumpai banyak jenis ikan kecil-kecil. Kalau saja nggak ada larangan, rasanya mau aku masukin plastik saja deh, ikan-ikannya.

Hobi sepertinya memang bisa jadi bahan pembicaraan yang paling asyik. Kami berdelapan yang baru bertemu hari ini, bisa langsung akrab hanya karena sharing tentang tempat-tempat wisata yang pernah kami kunjungi. Aku nggak begitu banyak bicara, tapi juga sudah nggak sependiam sebelumnya. Haikal benar, nikmati saja.

Sore itu kami menikmati sunset di Pantai Lipi. Pantai yang luas, dengan rerimbunan tanaman bakau di beberapa sisinya. Bakau punya peran yang besar untuk menjaga kelestarian pesisir. Bukan hanya meredam gelombang, lebih dari itu, bakau pun jadi habitat yang nyaman untuk ikan-ikan kecil di sana. Dan tentu saja, jadi spot foto yang unik untuk turis-turis macam kami ini.

***
Jam lima kurang lima belas, tiga perempuan di sebelahku nggak berhasil kubangunkan. Ada agenda mengejar sunrise pagi ini di Pantai Pasir Perawan, dan jujur saja aku sama sekali nggak ingin melewatkannya. Seandainya harus ke sana sendirian pun, aku nggak masalah. Toh hanya perlu bersepeda selama selama 5 menitan untuk sampai ke sana.

Akhirnya kuputuskan untuk berangkat sendirian saja. Setelah merapatkan jaket, aku membuka pintu rumah, dan tiba-tiba..

“Mau kemana?”

“Astaghfirullah!”

“Eh, maaf, kaget ya?”

“Astaga, kamu udah bangun toh, ternyata? Kirain masih molor kayak yang lain. Udah sholat subuh?” tanyaku sambil menghela napas panjang demi meredakan debar jantungku yang nyaris lepas karena tak menyangka ada Vero di teras rumah.

“Udah tadi di masjid.” jawabnya.

“Oooh, bagus deh.” Aku segera menghampiri sepedaku dan bersiap berangkat.

“Eh pertanyaanku belum kamu jawab. Kamu mau kemana?”

“Mau ngejar sunrise ke Pantai Pasir Perawan.” jawabku cuek.

“Ikut.”

Jadilah pagi itu, kami berdua mengayuh sepeda demi bisa menikmati sunrise. Sebenarnya aku nggak berharap Vero ikut, akan lebih menyenangkan kalau aku menyaksikan matahari terbit sendirian saja. Pasti lebih syahdu rasanya.

Benar saja, lima menit kemudian kami sampai. Pantai masih sepi, kami segera duduk senyaman mungkin beralaskan pasir pantai. Sunyi, langit masih gelap. Hanya ada kami, bintang-bintang di langit, dan suara riak ombak dari kejauhan.

“Kamu sering ke pantai?“

Pertanyaan Vero memecah kesunyian diantara kami.

“Nggak juga. At least setahun sekali lah, aku ke pantai. Aku nggak kayak kamu yang traveler sejati, hampir tiap weekend ngebolang kemana-mana.”

“Eh? Ternyata kamu nyimak juga ya ceritaku pas di perahu tadi siang? Aku kira kamu nggak dengerin.”

“Dari jarak sedekat itu, gimana bisa aku nggak nyimak cerita kalian masing-masing.”

“Apa yang kamu suka dari pantai?” tanyanya.

God, haruskah aku bercerita panjang lebar pada stranger satu ini?

“Banyak. Aku suka warna senja yang memantul di air laut. Aku suka dengerin suara ombak. Aku suka bikin jejak-jejak di pasir pantai.”

“Hmm..”

“Satu lagi. Aku suka cara pesisir yakin bahwa ombak, setelah mengambil beberapa butir pasirnya ke lautan, akan menggantinya dengan sesuatu yang berbeda. Mungkin dengan pasir yang baru, mungkin juga dengan cangkang kerang yang mengkilap. Pesisir nggak pernah tahu, tapi dia punya keyakinan dan kesabaran untuk itu.”

Dari sudut mata, aku bisa merasakan bahwa Vero sedang menatapku lekat. Aku menoleh padanya, dan aku benar. Seketika Vero kembali memandang lautan.

“Filosofi yang menarik. Aku aja nggak pernah kepikiran, tuh.”

“Jangan berlebihan.”

“Anyway, kamu sekantor ya, sama Haikal?”

“Iya. Kamu kayaknya udah akrab banget sama dia ya?”

“Gimana nggak akrab, aku temennya sejak kecil. Nasib juga yang membawa kami sama-sama merantau ke Jakarta. Yaah, ketemunya dia lagi, dia lagi.”

“Jodoh kali, kalian berdua.” Aku tertawa. Vero juga.

“Najis.”

Tak lama, matahari mulai menampakkan dirinya perlahan. Lingkaran berwarna keemasan itu demikian indah dan membius. Aku dan Vero berhenti berbicara. Kami hanya bisa takjub menyaksikan pemandangan yang langka ini. Pemandangan yang nggak akan bisa dijumpai di Jakarta, mengingat gedung-gedung pencakar langitnya sudah memenuhi pandangan ke angkasa. Jangankan sunrise, bintang saja sudah jarang bisa terlihat.

“Mmmm.. So, kapan ya bisa liburan bareng lagi kayak gini?” tanya Vero sambil memusatkan pandangannya padaku.

Aku berdiri, membersihkan bagian belakang celanaku dari pasir pantai yang mungkin masih menempel.

“Pantai ini. Liburan ini. Buatku nggak lebih dari sekedar tempat singgah dari rutinitas.”

Tatapan heran Vero mengikutiku.

Aku tersenyum, kemudian melangkah pergi menuju pohon tempat sepedaku kusandarkan.