Selasa, 04 Oktober 2016

Percakapan di Pesisir

3

pict taken from yogyakarta.panduanwisata.id

Seperti biasa aku selalu harus mengaduk-aduk isi tasku dulu untuk bisa menemukan name-tag yang terselip di antara notes, payung, dompet, dan penghuni tasku yang lain. Tote bag, model tas paling favorit, sekaligus paling menyusahkan karena hanya ada satu kantong untuk semua barang. Favorit tapi menyusahkan? Yeaa, karena kerumitan macam itulah yang membuatku disebut perempuan.

“Makanya name-tag tuh dipakai, jangan dimasukin dalam tas!”

Haikal tiba-tiba sudah ada di sebelahku, melepas sejenak name-tag yang diselipkan di sakunya, dan taraaaaaaa… pintu terbuka.

“Nggak mau ah, ntar penumpang-penumpang angkot jadi tahu namaku semua dong. Kalau aku digodain ntar gimana?” sahutku cuek.

“GR amat, lu.”

Tepat sebelum Haikal masuk ruangannya (yang notabene bersebelahan dengan ruanganku), kutarik sedikit jaket hitamnya.

“Kal, Kal, tunggu bentar,” pintaku.

“Apaan?”

“Kal kapan liburan lagi, Kal? Masa terakhir kali liburan bareng temen-temen di sini kan hampir setahun yang lalu. Mumpung lagi musim panas, nih.”

“Musim panaaaas, kayak di Eropa aja ada musim panas segala. Hahahaha. Hmm, liburan ya? Boleh juga ide lu. Lu mau kemana? Ke gunung? Ke kota? Ke goa? Atau ke pantai?”

“Pantai!”

“Yaudah, nanti gua cari destinasi yang pas. Mau ambil cuti sekalian?”

“Ih jangan, sayang cutinya. Weekend aja.”

“Okelah.”

***

Dermaga Pulau Pari menyambut kami berdelapan yang hampir tiga jam mengarungi lautan. Pulau ini adalah salah satu dari gugusan Kepulauan Seribu, salah satu destinasi yang tepat untuk sejenak menghilangkan penat di ibu kota. Kalau kantong cekak, bisa naik kapal dari dermaga Kaliadem. Tapi kalau ada uang lebih, naik kapal via Ancol tentu lebih nyaman dibandingkan berdesak-desakan dalam kapal yang bersandar di Muara Angke ini.

Setelah turun dari kapal, bisa ditebak, aku mengamati mereka bertujuh yang sedang asyik wefie dengan action-cam milik Haikal. Haikal melambaikan tangannya, isyarat untuk mengajakku berada dalam satu frame dengan mereka. Tiga jepretan, lalu kami berjalan lagi mengikuti Bang Salim, tour guide kami selama di Pulau Pari ini.

“Lu kenapa sih, nggak biasanya lu pendiem gini?”

“Nggakpapa kok, I’m okay.”

“Yailah pakai ngeles segala. Kenapa? Gara-gara ini open trip? Kamu jadi berasa jalan-jalan sama orang asing, gitu?”

“Ah, you know me so well, lah, Kal. Aku kan emang ngerasa lebih nyaman kalau liburan sama orang yang aku kenal.”

“Lu kenal gua. Lagian kan lu tau sendiri, pas gua lempar ajakan di grup kantor, weekend ini banyak yang pada pulang kampung. Sementara lu buru-buru pengen ngetrip. Jalan tengahnya ya ini. Nikmatin aja, nggak selamanya stranger itu annoying. Okay?”

Aku menarik napas panjang, “Okay, boss.”

Agenda pertama dan utama di siang hingga sore hari nanti adalah snorkeling. Berita buruknya aku nggak bisa berenang, tapi berita baiknya adalah nggak perlu bisa berenang untuk ikutan snorkeling. Yeay!

Perahu kami bergerak dari spot snorkeling satu ke spot berikutnya. Masing-masing spot punya kelebihan tersendiri. Di spot pertama, nggak terlalu banyak ikan di sana, tapi terumbu karangnya memang jempolan, warna-warni, bentuknya pun macam-macam. Lain lagi dengan spot ke dua, di sini bisa dijumpai banyak jenis ikan kecil-kecil. Kalau saja nggak ada larangan, rasanya mau aku masukin plastik saja deh, ikan-ikannya.

Hobi sepertinya memang bisa jadi bahan pembicaraan yang paling asyik. Kami berdelapan yang baru bertemu hari ini, bisa langsung akrab hanya karena sharing tentang tempat-tempat wisata yang pernah kami kunjungi. Aku nggak begitu banyak bicara, tapi juga sudah nggak sependiam sebelumnya. Haikal benar, nikmati saja.

Sore itu kami menikmati sunset di Pantai Lipi. Pantai yang luas, dengan rerimbunan tanaman bakau di beberapa sisinya. Bakau punya peran yang besar untuk menjaga kelestarian pesisir. Bukan hanya meredam gelombang, lebih dari itu, bakau pun jadi habitat yang nyaman untuk ikan-ikan kecil di sana. Dan tentu saja, jadi spot foto yang unik untuk turis-turis macam kami ini.

***
Jam lima kurang lima belas, tiga perempuan di sebelahku nggak berhasil kubangunkan. Ada agenda mengejar sunrise pagi ini di Pantai Pasir Perawan, dan jujur saja aku sama sekali nggak ingin melewatkannya. Seandainya harus ke sana sendirian pun, aku nggak masalah. Toh hanya perlu bersepeda selama selama 5 menitan untuk sampai ke sana.

Akhirnya kuputuskan untuk berangkat sendirian saja. Setelah merapatkan jaket, aku membuka pintu rumah, dan tiba-tiba..

“Mau kemana?”

“Astaghfirullah!”

“Eh, maaf, kaget ya?”

“Astaga, kamu udah bangun toh, ternyata? Kirain masih molor kayak yang lain. Udah sholat subuh?” tanyaku sambil menghela napas panjang demi meredakan debar jantungku yang nyaris lepas karena tak menyangka ada Vero di teras rumah.

“Udah tadi di masjid.” jawabnya.

“Oooh, bagus deh.” Aku segera menghampiri sepedaku dan bersiap berangkat.

“Eh pertanyaanku belum kamu jawab. Kamu mau kemana?”

“Mau ngejar sunrise ke Pantai Pasir Perawan.” jawabku cuek.

“Ikut.”

Jadilah pagi itu, kami berdua mengayuh sepeda demi bisa menikmati sunrise. Sebenarnya aku nggak berharap Vero ikut, akan lebih menyenangkan kalau aku menyaksikan matahari terbit sendirian saja. Pasti lebih syahdu rasanya.

Benar saja, lima menit kemudian kami sampai. Pantai masih sepi, kami segera duduk senyaman mungkin beralaskan pasir pantai. Sunyi, langit masih gelap. Hanya ada kami, bintang-bintang di langit, dan suara riak ombak dari kejauhan.

“Kamu sering ke pantai?“

Pertanyaan Vero memecah kesunyian diantara kami.

“Nggak juga. At least setahun sekali lah, aku ke pantai. Aku nggak kayak kamu yang traveler sejati, hampir tiap weekend ngebolang kemana-mana.”

“Eh? Ternyata kamu nyimak juga ya ceritaku pas di perahu tadi siang? Aku kira kamu nggak dengerin.”

“Dari jarak sedekat itu, gimana bisa aku nggak nyimak cerita kalian masing-masing.”

“Apa yang kamu suka dari pantai?” tanyanya.

God, haruskah aku bercerita panjang lebar pada stranger satu ini?

“Banyak. Aku suka warna senja yang memantul di air laut. Aku suka dengerin suara ombak. Aku suka bikin jejak-jejak di pasir pantai.”

“Hmm..”

“Satu lagi. Aku suka cara pesisir yakin bahwa ombak, setelah mengambil beberapa butir pasirnya ke lautan, akan menggantinya dengan sesuatu yang berbeda. Mungkin dengan pasir yang baru, mungkin juga dengan cangkang kerang yang mengkilap. Pesisir nggak pernah tahu, tapi dia punya keyakinan dan kesabaran untuk itu.”

Dari sudut mata, aku bisa merasakan bahwa Vero sedang menatapku lekat. Aku menoleh padanya, dan aku benar. Seketika Vero kembali memandang lautan.

“Filosofi yang menarik. Aku aja nggak pernah kepikiran, tuh.”

“Jangan berlebihan.”

“Anyway, kamu sekantor ya, sama Haikal?”

“Iya. Kamu kayaknya udah akrab banget sama dia ya?”

“Gimana nggak akrab, aku temennya sejak kecil. Nasib juga yang membawa kami sama-sama merantau ke Jakarta. Yaah, ketemunya dia lagi, dia lagi.”

“Jodoh kali, kalian berdua.” Aku tertawa. Vero juga.

“Najis.”

Tak lama, matahari mulai menampakkan dirinya perlahan. Lingkaran berwarna keemasan itu demikian indah dan membius. Aku dan Vero berhenti berbicara. Kami hanya bisa takjub menyaksikan pemandangan yang langka ini. Pemandangan yang nggak akan bisa dijumpai di Jakarta, mengingat gedung-gedung pencakar langitnya sudah memenuhi pandangan ke angkasa. Jangankan sunrise, bintang saja sudah jarang bisa terlihat.

“Mmmm.. So, kapan ya bisa liburan bareng lagi kayak gini?” tanya Vero sambil memusatkan pandangannya padaku.

Aku berdiri, membersihkan bagian belakang celanaku dari pasir pantai yang mungkin masih menempel.

“Pantai ini. Liburan ini. Buatku nggak lebih dari sekedar tempat singgah dari rutinitas.”

Tatapan heran Vero mengikutiku.

Aku tersenyum, kemudian melangkah pergi menuju pohon tempat sepedaku kusandarkan.


3 komentar:

  1. Balasan
    1. sayangnya Haikal hanya figuran di sini, huahahaha.. Tapi bolehlah nanti kalau timing nya pas, dibikin cerita lebih lanjut tentang Haikal.. Aku suka nama tokohnya, btw, haha :p

      Hapus
  2. Haikal kah?? nice name, tapi bikin aku keinget sama orang yang super duper nyebelin,,untungnya Haikal di sini gak nyebelin malah bikin ketawa :D

    BalasHapus