Senin, 03 Oktober 2016

Kedai, Perkenalan, dan Perempuan Berlesung Pipi

1

pict taken from www.maketheworldcyou.com


“Selamat sore, selamat datang, mau pesan apa?”

“Hmm, lychee tea dingin for today. Thanks,” begitu saja lalu perempuan itu langsung melangkah meninggalkan kasir menuju tempat duduk favoritnya di sebelah jendela besar.

Mall ini bukanlah mall elite, tapi lokasinya yang strategis sungguh menjadi godaan tersendiri untuk dikunjungi. Apalagi, di tempat ini, di kedai kopi ini, perempuan itu seperti menemukan dunianya. Dia tak pernah suka tempat yang terlalu ramai, dan tempat ini memberikan suasana yang sesempurna keinginannya.

“Lihat deh, apa gua bilang, dia selalu duduk di situ.” seorang pelayan lelaki memulai percakapan dengan temannya.

“Siapa maksud lu?”

“Tuh, cewek yang tadi pesen lychee tea dingin,” katanya sambil mengangkat sedikit dagunya ke arah tempat duduk di sebelah jendela besar.

“Bukannya hampir tiap Jumat malam dia ke sini ya?”

“Yoi, dan selalu sendirian, hahaha”

“Ngapain lu ketawa? Lu pengen nemenin? Sana aja coba kalau berani.”

“Ngaco, lu.”

“Lah kok ngaco? Walaupun terkesan dingin, tuh cewek manis juga, lho. Lu pernah perhatiin dua lesung pipinya waktu senyum dan bilang ‘thanks’, nggak? Manis bener, cuy!”

“Dasar mata keranjang, lu!”

“Apanya yang mata keranjang? Gua Cuma ngomong fakta. Ah udahlah, gua mau beresin meja yang di sebelah sana dulu.”

Percakapan dua pelayan akhirnya terhenti. Tak ada yang salah dari apa yang mereka bicarakan sedari tadi. Mulai soal frekuensi kunjungan, tempat duduk favorit, sampai dua lesung pipi yang tampak ketika perempuan itu tersenyum.

Sebenarnya tidak banyak yang bisa dilihat dari balik jendela besar yang ada di salah satu sudut kedai ini, hanya ada persimpangan Senen yang dipenuhi kendaraan bermotor dan pemandangan fly over yang sepertinya tidak bisa banyak membantu mengurai kemacetan arus kendaraan yang menuju ke arah Matraman. Tapi ada satu hal yang disukai perempuan berlesung pipi itu:

warna-warni lampu mobil dan motor yang ada di jalanan.

Kerlip-kerlip itu mengingatkannya pada masa kecil yang indah di kampung halaman, tempat kakeknya dulu rajin mengajaknya berburu kunang-kunang. Tapi semuanya hanya tinggal kenangan. Kakeknya telah lama tiada, pun kampungnya, sudah berganti wajah menjadi kota besar.

Perempuan itu baru saja hampir berhasil menyendok sepotong lychee dari dalam gelas, ketika mendadak seorang lelaki duduk di hadapannya.

“Sorry, saya boleh duduk di sini?”

Dengan lesung pipi yang masih tersembunyi, perempuan berambut sebahu itu mengedarkan pandangannya ke sekitar, sebelum akhirnya menjawab, “Sepertinya masih banyak kursi yang kosong, kan?”

“Iya, saya tahu. Mmm. Saya hanya mau ngobrol sebentar, boleh?”

Perempuan itu menyandarkan tubuhnya ke sofa.

“Tergantung, mas.”

“Tergantung?” tanya lelaki itu tak paham.

“Iya, tergantung. Tergantung apakah kita akan sering bertemu lagi atau nggak.”

“Oh, itu. Saya sudah lama mengamati kamu yang sering berkunjung ke tempat ini, duduk di kursi yang sama, di hari Jumat malam. Bisa dibilang frekuensi kunjungan kita sama. Saya hanya tiga bulan di Jakarta. Lusa tugas saya selesai di sini, saya akan kembali ke Bontang sesegera mungkin. Jadi hampir bisa dijamin kalau kita nggak akan bertemu lagi.”

“Okay, good then. First, yang ingin saya tanyakan adalah, kenapa kamu ingin ngajak saya ngobrol?” perempuan itu merapikan anak rambutnya ke belakang telinga, seperti bersiap untuk mulai mendengarkan.

“Pertama, saya penasaran kenapa kamu selalu terlihat sendirian. Saya, hampir-hampir nggak pernah pergi sendirian. Saya selalu butuh teman bicara, teman ngobrol. Biasanya saya ke sini sama teman-teman, dan hari ini terpaksa saya harus pergi sendirian. Itu juga yang akhirnya membuat saya berani menghampiri kamu, supaya saya punya teman ngobrol, walau sebentar.”

“Memangnya apa yang salah dengan menghabiskan waktu seorang diri saja? Saya kasih tahu nih, mas. Saya kerja di kantor rata-rata 9 sampai 10 jam dalam sehari. Maka dalam jangka waktu itu juga saya berinteraksi dengan orang lain. Di akhir weekday, inilah waktu yang saya pilih untuk me time, menghabiskan waktu sendirian. Main sama temen paling kalau lagi ada yang ngajak ketemuan aja. Saya prefer istirahat kalau weekend.”

“Hmm, menarik. Kamu nggak ngerasa risih gitu, tiap ada orang yang pandangannya seolah bilang ‘ih kok sendirian doang, sih’? Kebanyakan orang akan merasa risih kalau mendapatkan pandangan itu, saya salah satunya.”

“Ngapain musingin orang?” perempuan itu tertawa kecil, kedua lesung pipinya terlihat jelas.

Lelaki di hadapannya tertawa terbahak, seperti mendengar lelucon yang paling konyol. Lalu sejenak kemudian pandangannya beralih ke novel bersampul merah tua di pangkuan perempuan itu.

“Kamu suka baca?” tanyanya.

Si perempuan berlesung pipi kemudian mengangkat novel yang baru dibacanya separuh itu.

“Ya, saya suka baca. Kamu tahu Tere Liye?”

“Iya tahu. Tapi saya nggak ngikutin bukunya, sih. Salah satu penulis favorit kamu?”

“Yeaa, bisa dibilang begitu. Ini novel Matahari, lanjutan seri Bumi dan Bulan, kalau suatu saat kamu penasaran dan ingin baca. Saya saranin sih, kamu baca mulai buku pertamanya. Ceritanya nyambung.”

“Oooh, nice. Ah iya, kamu sudah lama kah di Jakarta?”

“Kalau satu tahun lima bulan itu dibilang lama, berarti iya, saya sudah lama di Jakarta.”

“Kamu betah?”

“Betah aja.”

“Saya tiga bulan di Jakarta, rasanya sudah pengen balik ke Bontang aja sejak minggu pertama.”

“Why?”

“Jakarta macetnya ampun-ampunan, beda dengan di Bontang.”

Kali ini, perempuan itu yang terbahak.

“Ya iyalah!” tuntas tertawa, perempuan itu memandang ke luar jendela. Kemacetan masih mengular, dia menghela napas panjang dan melanjutkan kata-katanya.

“Buat saya, mas, Jakarta adalah tempat dimana hal-hal baik dalam hidup saya bermula. Pekerjaan yang baik, kondisi finansial yang baik, kehidupan yang lebih baik. Kemacetan hanyalah nila setitik yang menurut saya seharusnya nggak akan merusak susu sebelanga, kebaikan-kebaikan lain yang ada di kota ini. Saya selamanya nggak pernah setuju dengan peribahasa itu, anyway.”

“Begitukah? Mungkin memang saya harus tinggal lebih lama di Jakarta ya, supaya nggak hanya dapat macetnya aja?”

“Bisa jadi, mas.”

“Okay, sepertinya saya harus duluan. Terima kasih ngobrol-ngobrolnya, walau sebentar.”

“It’s okay. Saya masih akan di sini, silakan duluan.” jawabnya pendek.

Lelaki berbaju biru tua itu sudah berjalan beberapa langkah sampai akhirnya memutuskan untuk kembali menuju tempat duduk di samping jendela besar.

“Sorry, boleh saya tahu nama kamu? Saya Rendi,” ucapnya sambil mengulurkan jabat.

Perempuan berlesung pipi itu sejenak ragu.

“Just call me Faya.”
   


1 komentar:

  1. Wow kebetulan yang unik,, aku punya kelompok kecil bernama 'faya' gabungan dari nama 4 anggota kelompok. Btw nice story. Aku suka dengan sudut pandang Faya pada Ibukota, karena sejujurnya itu juga yang aku rasakan pada Kota Jakarta.

    BalasHapus