Minggu, 30 September 2012

Apalah arti menunggu

8

Fika membuka matanya pelan, sinar matahari memberkas menyusupi kamarnya. Hari ini hari Minggu, dan bangun siang adalah salah satu hobinya untuk menghabiskan waktu bersantai seharinya ini. Dikerjap-kerjapkan mata bulatnya, kemudian diliriknya kalender kecil di sisi tempat tidur. Tanggal 27, ada bulatan merah, dan bulatan itu seperti menyadarkannya akan sesuatu. Selimutnya segera disibakkan, rambut Fika masih acak-acakan, tapi itu tetap tak dapat menutupi kecantikannya, bahkan di saat baru bangun tidur seperti ini.

Fika meraih frame foto warna biru muda, ditatapnya gambar seseorang di situ dalam-dalam. Bibirnya tersenyum, tapi sinar matanya seperti menahan perih yang dalam. Perih yang disimpannya sendiri saja. Perih yang ditahannya atas nama cinta.

"Selamat pagi, Derry.. Ini tanggal 27 yang ke tigapuluh, semoga kamu benar-benar pulang.."

Dua tahun lebih Derry meninggalkan Fika, ke pulau terpencil di perbatasan, mengikuti orang tuanya. Tidak tahu kapan kembali, tapi lelaki itu menjanjikan satu waktu.

"Tunggu aku pulang, di tanggal ini, tanggal di mana aku pergi. Aku akan kembali di tanggal ini.."

Masih diingat betul oleh Fika, bagaimana pada saat itu airmatanya tidak berhenti mengalir. Beberapa bulan setelahnya, komunikasi masih berjalan lancar. Sampai suatu saat, di waktu yang tak diingatnya lagi, komunikasi mereka benar-benar terputus. Tidak ada lagi pesan pagi yang membuat Fika tersenyum seharian. Tidak ada juga pesan di malam hari, yang bisa membuat Fika tidur dengan rasa bahagia. Tidak ada lagi, sampai hari ini. Tapi Fika tidak pernah lelah. Setiap tanggal 27, ia selalu mampir ke stasiun, tempat salah satu keretanya membawa sebelah hatinya pergi.

___________________________________________________________________________

Fika memarkir motornya dan masuk ke dalam stasiun. Kemudian sosok lelaki yang amat dikenalnya itu tampak turun dari kereta. Setengah tak percaya, ia menguek-ucek matanya. Tapi, senyumnya yang merekah itu seketika berubah menjadi isak tangis.

Di ujung sana. Derry, dengan seorang wanita yang ia kecup keningnya. Seperti rindu, seperti cinta yang ada di antara mereka. Sementara Fika hanya bisa pulang.. Sendirian..

Sekarang aku tersadar
Cinta yang ku tunggu tak kunjung datang
Apalah arti aku menunggu
Bila kamu tak cinta lagi

Sabtu, 29 September 2012

If you're not the one :)

6

Hujan merambahi sore senduku hari ini. Aku sendirian di rumah, dengan pikiran yang mulai berkecamuk sejak siang tadi. Biasanya aku sangat suka tidur siang, jika sedang tidak ada kerjaan. Kebetulan, pekerjaanku sebagai editor freelance sedang tidak begitu ramai request. Jadi aku bisa sedikit bersantai. Tapi tidak dengan hari ini. Beberapa jam yang lalu, air mataku sempat tumpah.

Seseorang yang entah siapa, mengirimkan foto melalui akun whatsApp-ku. Foto Aldi, pacarku, dengan seorang wanita. Memang itu foto biasa, aku tidak mendapati keduanya sedang berpelukan atau semacamnya, yang bisa mengundang berbagai penafsiran. Tapi, seseorang itu mengatakan bahwa wanita yang ada di foto itu adalah mantan kekasih Aldi. Tidak biasanya dia tidak memberitahuku jika akan pergi atau bertemu dengan seseorang.

Aku mempermainkan handphone-ku, menimbang-nimbang apa aku akan menelepon Aldi atau tetap tersiksa dengan prasangkaku sendiri. Aku menerawang ke luar jendela. Ingatanku melayang ke waktu kurang lebih setahun yang lalu. Saat Aldi menyatakan cintanya padaku. Sungguh aku tidak melihat sedikitpun kebohongan di dalamnya. Aku dan dia memang tidak sering saling mengatakan cinta. Tapi itulah yang membuat sensasinya tetap sama.

Sabtu, 22 September 2012

pulanglah, cinta

0

Rio mengucek-ucek matanya sekali lagi. Matanya tidak gatal, tapi ada yang membuatnya merasa janggal. Seakan tidak bisa mempercayai apa yang dilihatnya. Sesosok wanita yang telah lama dikenalnya. Bukan hanya lama, tapi sangat lama. Bertahun-tahun, sampai dua tahun yang lalu wanita itu pergi. Sementara Rio membuat perjanjian dengan hatinya sendiri, bahwa ia akan menjaga hatinya untuk wanita itu seorang. Entah sampai kapan, jangka waktu yang ia sendiri tak tahu pasti.

Lalu wanita itu sekarang berada di sana. Di sudut taman, dengan sebuah buku yang digenggamnya. Ia tampak sibuk membaca. Sambil sesekali dibenarkan letak poninya yang mulai kepanjangan. Rupanya ia belum menyadari kehadiran Rio di sana. Pelan-pelan Rio menghampiri wanita itu.

"Tania?", tanyanya pelan. Wanita cantik di depannya mendongakkan kepala. Rio membelalakkan matanya seperti masih saja tak percaya.

"Rio? Kamu ngapain di sini?", wanita itu tampak kaget. Suaranya terdengar sedikit bergetar.

"Kapan kamu kembali ke sini? Kenapa nggak kasih tau aku?"

"Aku.. Aku..", suara Tania semakin lirih. Kemudian air mata mulai membanjiri kedua pipinya yang lembut. Seperti ada yang menyesaki dadanya sejak lama, berranta-rantai kalimat keluar dari mulut mungilnya. Banyak yang terjadi selama dua tahun ia meninggalkan Rio. Impiannya sebagai balerina profesional masih jelas tergambar di matanya yang jernih. Tapi cahaya semangat itu terlihat mulai meredup. Rio tak sanggup berkata-kata. Wanita yang demikian dicintainya, ditunggu sekian lama. Tania yang sedang menangis di depannya, seperti bukan Tania yang selalu tersenyum ceria untuknya dua tahun yang lalu.

Summer turned to winter
And the snow it turned to rain
And the rain turned into tears upon your face
I hardly recognized the girl you are today
And, God, I hope it's not too late

"Tania, kamu yang aku tunggu, dan itu nggak berubah sampai detik ini..", Rio menatap Tania sambil tersenyum. Hangat digenggamnya kedua telapak tangan Tania. Setelah melihatnya tersenyum, Rio merasa lega. Didorongnya kursi roda yang kini merengkuh tubuh Tania, penuh cinta.

'Cause you are not alone
And I am there with you
And we'll get lost together

Sejumput rindu buat Bunda

0

Bun, apa kabar? Aku di sini baik-baik aja. Bunda juga kan? Bun, aku kangen banget sama bunda. Sudah lama kita nggak ketemu. Tapi, aku emang selalu kangen sama bunda. Tiap mau makan, aku inget kalo bunda yang selalu masakin aku sama adek. Bunda selalu bingung mau masak apa, karena aku sama adek sering rebutan dimasakin sama bunda. Biasanya, bunda pasti dengan sabar menenangkan aku sama adek, dan janji bakal masakin apa yang kita minta, tapi gantian.

Tiap mau berangkat sekolah, aku juga selalu inget tangan lembut bunda yang nggak pernah lupa untuk mengelus rambutku. Kemudian mengecup keningku dengan sayang, berpesan agar aku belajar yang rajin di sekolah. Lalu bunda akan mengantarku sampai ke pagar, melihatku sampai hilang dari pandangan bunda.

Bun, Arinda sayang banget sama bunda. Bunda juga pasti sayang sama Arinda. Doain Arinda supaya bisa sukses, bisa buat bunda dan ayah bangga dan bahagia punya Arinda. Arinda kangen sama bunda..

Arinda menyeka buliran bening yang mengalir dari sudut matanya. Album foto itu masih terbuka lebar. Foto masa kecilnya dengan seorang wanita cantik. Wanita yang dipanggilnya bunda, yang sudah ada di surga.

Oh bunda ada dan tiada dirimu kan selalu
ada di dalam hatiku..

Kamis, 20 September 2012

Ulang Tahun Pertama

2

Vera melangkahkan kaki jenjangnya ke arah taman kecil di dekat rumahnya. Senja yang indah, langitnya merah, seperti menemani makhluk indah itu berjalan sendirian. Di tangannya ada kotak kecil yang dipegangnya dengan sangat hati-hati. Cardigan merah hati yang membalut kulit putihnya itu semakin dirapatkannya. Walau senja ini indah, anginnya kerapkali tak bersahabat sejak beberapa hari belakangan.

Taman itu tidak begitu besar. Ada beberapa mainan anak-anak seperti bandulan dan perosotan. Air mancur yang agak besar berdiri kokoh di bagian tengah. Sementara pohon-pohon rindang seperti memayungi bangku kayu yang tersebar di sekeliling taman. Vera memilih bangku kayu yang berada paling dekat dengan dengan air mancur. Ia suka sekali menikmati cipratan kecil air yang kadang mampir ke pipi tirusnya.

Gadis cantik itupun duduk. Dibuka juga kotak kecil yang sedari tadi dibawanya. Isinya cheesecake, dengan irisan stroberi sebagai topping. Sebatang lilin kecil diletakkan di atasnya, lalu dinyalakan. Cepat-cepat vera menangkupi nyala lilin dengan kedua telapak tangannya. Khawatir angin aan membuatnya padam.

happy birthday to me
happy birthday to me
happy birthday happy birthday
happy birthday to me

fuuuhh.. Vera meniup lilin di atas kue itu. Kemudian dia tersenyum. Dua lesung pipinya terlihat jelas.

"Biasanya kita lakuin ini tiap salah satu dari kita ulang tahun kan, Sam? Ini pertama kali aku melewatkannya sendirian..", katanya pelan. Matanya seperti menerawang jauh.

Vera mengambil sesuatu dari tas mungilnya. Kertas segiempat berwarna pink keemasan. Bertuliskan Samuel & Nindita.

Semoga kalian berbahagia..

Aku hancur ku terluka
Namun engkaulah nafasku
Kau cintaku meski aku
Bukan di benakmu lagi
Dan kuberuntung
Sempat memilikimu…

aku gila di kafe!

0

Malam ini dingin, dan aku memilih untuk menikmatinya sendirian saja. Jadi di sinilah aku, di kafe pinggir jalan. Sengaja aku pilih bangku yang berada di luar. Dalam hati aku cekikikan sendiri, berharap bisa mendapat peluang lebih besar untuk menikmati makhluk-makhluk kece yang mungkin lewat. Pikiran konyol, tapi itulah aku.

Aku meminum moccafruit blend-ku dengan malas. Ah, malam ini beda sekali dengan malam-malam biasanya. Buktinya, sudah sekitar setengah jam aku di sini, memandangi jalan, dan belum ada satupun sosok yang bisa mengalihkan perhatianku. Oke, bahkan untuk sekedar membuatku menoleh juga tak ada. Tambah bosanlah aku.

Eh tapi, tunggu. Aku lihat laki-laki ganteng! Oh Tuhan, jantung ini seperti mau copot. Dia tipeku banget! Rambut acak-acakan, jaket dan celana jeans. Sepatu keds yang seperti setahun tak dicuci. Seketika aku merasa di kafe ini hanya ada aku dan dia. Ah, dia duduk tepat di seberang mejaku! Dia tidak boleh tahu aku sedang mengamatinya. Lebih parah, dia tak boleh tahu aku sedang senyum-senyum sendiri nggak jelas.

Your stare was holdin’,
Ripped jeans, skin was showin’
Hot night, wind was blowin’
Where you think you’re going, baby?

Pikiranku jadi melayang ke mana-mana. Berharap aku bisa duduk di kursi di sebelahnya. Sekedar menemaninya ngobrol, atau mengelap sisa makanan di sudut bibirnya. Aduuuh, mikir apa aku ini. Tapi dia ganteng, sumpah. Aku berani taruhan, pasti di luar sana banyak perempuan yang tergila-gila padanya.

Oh my, dia melihat ke arahku! Aku lemas. Entah setan apa yang merasukiku saat ini. Kuubek-ubek tasku, mencari bolpoin, dan cepat kusobek kertas kecil. Aku menuliskan nomor handphone-ku. Aku menarik napas panjang, berharap parfumnya bisa terhirup dari jarak sejauh ini. Aku mabuk!

Aku berjalan menuju mejanya, kertas kecil sudah digenggaman. Oke, tinggal tersenyum, taruh di mejanya, dan lari secepat kilat. Tinggal selangkah lagi ke mejanya. Dan malaikat seperti menepuk jidatku.

It’s hard to look right,
At you baby,
But here’s my number,
So call me, maybe?

Bodoh, aku tak akan segila itu. Aku menertawai diriku sendiri.

Rabu, 19 September 2012

mereka bukan kita

0

Malam mulai menunjukkan arogannya. Angin yang dingin, tak lagi sepoi. Gulita yang memakan cahaya sampai tak bersisa. Aku mulai merapatkan jaketku, menarik retsletingnya sampai ke pangkal leher. Kalau sampai lebih dingin lagi dari ini, akan kupakai capuchon-nya, batinku. Lalu aku melihatmu, masih saja tenang dengan kaos oblong tipis berwarna biru tua kesayanganmu. Kamu sama sekali tidak tampak kedinginan.

Tunggu dulu, ada yang jauh lebih dingin sepertinya. Keadaan hatimu saat ini. Siang tadi kamu mengirim pesan singkat padaku, bahwa kamu ingin bicara. Aku merasa ada sesuatu yang tidak beres, jadi kuiyakan saja ajakanmu keluar malam ini. Jadi di taman ini, yang ayunannya kadang kita pakai untuk nostalgia semasa kecil. Kita akhirnya duduk berdua. Berdekatan, tapi entah aku merasa sangat jauh. Satu jam berlalu dalam hening, tidak ada yang membuka suara. Demi Tuhan aku membenci kamu yang sangat ahli dengan diam-mu. Rasanya ingin sekali kujitak kepalamu, sampai kamu marah, sampai kamu ngomel, sampai kamu menjitakku balik. Asalkan jangan diam seperti ini.

I'm counting the seconds until you break the silence
So please just break the silence!

Sampai akhirnya aku tak tahan, dan memberanikan diri untuk bicara. Aku menatap ujung kakiku yang juga diam.
"Kamu sebenernya mau ngomong apa sih? Cepetan dong. Nyadar nggak kalo dari tadi kita cuma diem-dieman?", kataku. Sementara kamu masih saja diam.

"Edo, kamu nggak denger aku dari tadi bersin-bersin? Aku lagi flu, tapi aku belain ikut kamu ke sini. Tapi kamunya malah diem aja. Ada apa sih? Kalo kamu nggak ngomong juga, mending aku pulang. Aku bisa cari taxi", aku mulai kesal. Kamu tak bergeming. Aku kehabisan kesabaran. Kutinggalkan bangku yang dingin ini, biar kamu bisa menikmatinya sendirian. Baru selangkah, kamu menahan lenganku.

Lalu bicaralah kamu. Seperti sekian lama memendam sesuatu. Kata-kata tidak berheti berluncuran dari mulutmu. Ternyata kamu bisa juga peduli dengan kata-kata oranglain. Kata-kata yang demikian sering menyudutkan kita. Bahwa kita amat berbeda. Bahwa kamu begitu. Sedangkan aku begini. Bahwa aku sebenarnya bisa mendapatkan yang lebih baik, dan bla bla bla. Aku bahkan tak sanggup mengingat semuanya secara keseluruhan.

Dan malam ini, aku menangkap dengan sangat jelas, rasa takut kehilangan yang amat dalam, yang berpendar berkilat-kilat dari kedua matamu. Aku hanya tersenyum.

"Mereka tahu apa tentang kita? Mereka nggak tahu apa-apa, dan nggak perlu tahu. Mereka nggak perlu memahami apa-apa, selama aku dan kamu ngerti gimana caranya ngejalanin apa yang kita perjuangkan, sampai detik ini..", kataku sambil menatap matanya dalam-dalam.

Di perjalanan pulang, aku membagi headset ke sebelah telinganya...

So you see, this world doesn't matter to me
I'll give up all I had just to breathe
The same air as you till the day that I die
I can't take my eyes off of you



Minggu, 16 September 2012

untukmu :)

0

untuk seseorang yang menyimpan rindunya semalaman

untuk seseorang yang mengalahkan egonya

untuk seseorang yang menunggu pagi dengan rindu yang mengetuk-ngetuk dadanya

untuk seseorang yang sebaris pesannya di pagi hari bisa membuatku tersenyum seharian

untuk seseorang yang kesabarannya melahirkan kekaguman

untuk seseorang yang kekuatannya tidak bisa kubayangkan




untuk kamu, yang kukirimi pesan rindu
semoga esok pagi rindumu masih untukku

Sabtu, 15 September 2012

Hidangan itu Bernama Masa Lalu

0

"Lagu ini saya persembahkan buat salah satu pengunjung restoran ini. Seorang wanita, yang sangat saya cinta sampai detik ini. Mungkin dia sedang berpura-pura tidak mengenal saya sekarang, tapi tak apa, melihatnya pun saya sudah bahagia.."

Pengunjung restoran itupun beberapa ada yang terlihat memandang sekeliling, mungkin mencari tahu siapa sosok wanita yang dibicarakan si penyanyi di panggung kecil bagian depan. Restoran itu belum lama berdiri, namun pelanggannya tidak perlu diragukan lagi banyaknya. Bukan hanya menjual makanan dan sajian lain yang memanjakan lidarh, tapi suasana dan kenyamanan juga turut memegang andil dalam membuat konsumen selalu saja kembali ke sana. Ada panggung kecil di bagian depan, dengan beberapa alat musik seperti gitar dan piano. Affan sendiri sudah setahun bekerja di sana, sebagai pengisi live music setiap malam.

Pelan dan syahdu dimainkannya lagu itu. Lagu lama dari grup band favoritnya, Kahitna. Seketika restoran itu hening, seakan-akan setiap orang di sana sedang turut merasakan emosi yang disampaikan Affan melalui lagunya.

Meski waktu datang dan berlalu sampai kau tiada bertahan
Semua takkan mampu mengubahku
Hanyalah kau yang ada di relungku
Hanyalah dirimu mampu membuatku jatuh dan mencinta
Kau bukan hanya sekedar indah
Kau tak akan terganti..

Affan mengakhiri lagunya dengan senyuman, sambil menatap seorang gadis berponi di ujung ruangan. Gadis itu tampak tak nyaman. Seperti ada masa lalu yang menjalari hati dan pikirannya. Belum habis makanan di mejanya, gadis itu tampak menggamit lengan kekasihnya, dan mengajaknya pergi.

Sekali ini Saja

4

Adisti menerawang jauh ke langit senja yang memerah. Terlihat segerombolan burung camar di sana, mungkin hendak pulang ke sarangnya. Angin mulai meniupkan hawa dingin, belum begitu menusuk, namun Adisti mulai merasa tak nyaman. Perlahan ia merapatkan cardigan biru tua bertuliskan huruf R berwarna merah. Huruf itu tertulis kecil, tidak begitu nampak. Sekali lagi angin memainkan rambut indahnya yang digerai sebahu, jepit cokelat yang dikenakannya tak sanggup menahan kemauan angin. Alhasil rambut lurusnya itu seakan terbang ke sana kemari.

"Senja ini dingin sekali..", gumamnya nyaris tak terdengar. Wajah ayunya mulai terlihat gundah. Mata yang biasanya berbinar indah jika sudah bertemu pantai itu pun seperti berkilat-kilat menggenang. Ada sesuatu yang ditahannya agar tak membuncah keluar. Ditatapnya ombak yang bergulung-gulung kecil mendekati kakinya. Lalu Adisti mundur sedikit, menghindar. Tak lama kemudian, gadis itu mengamati arloji di tangan kirinya, sudah hampir malam. Akhirnya, ia mengambil napas dalam-dalam sambil menyeka buliran-buliran bening yang sudah tak sanggup ditahannya.

Tuhan bila waktu dapat kuputar kembali
Sekali lagi untuk mencintanya
Namun bila waktuku telah habis dengannya
Biarkan cinta ini
Hidup untuk sekali ini saja

Adisti memutar tubuh dan mulai melangkah ke mobilnya. Masih melekat di ingatannya, Rinal yang memohon-mohon agar Adisti menunda kepergiannya ke London. Dua minggu saja, lelaki itu meminta Adisti untuk menghabiskan waktu dengannya lebih dulu, sebelum berangkat meninggalkannya. Saat itu, Adisti menganggap kekasihnya itu amat kekanak-kanakan. Bukan sekali itu Adisti harus meninggalkannya ke London karena libur kuliahnya sudah habis. Namun baru saat itu, Rinal demikian kukuh untuk menahannya lebih lama. Adisti hanya tertawa melihat tingkah lakunya, dan tetap memutuskan pergi. Sampai hari ini dia begitu menyesali semuanya.
Sebentar Adisti meraba tulisan R di cardigannya. Tepat di sebelah kiri, tempat jantungnya berdetak. Tempat inisial orang yang begitu dicintainya. Orang yang ia hadiri pemakamannya siang tadi.

Selasa, 11 September 2012

surat rindu buat Aira

0

Dear, Aira..

Hai, apa kabar kamu? Semoga baik-baik saja ya di sana. Bagaimana kabar Ibu, Bapak, dek Farhan? Semoga kalian sekeluarga selalu dalam lindungan Tuhan..

Hari ini, kuputuskan untuk mengirim email untukmu, Ra. Karena sepertinya aku ingin bercerita banyak hal. Akan terlalu panjang jika aku bercerita lewat sms. Apalagi kalau bercerita lewat telepon, habis banyak nanti pulsaku. Kan kamu tahu sendiri, aku di sini serba sangat hemat, Ayah sama Ibu nggak bisa ngasih sangu banyak-banyak tiap bulan. Kamu pasti maklum. Iya, kan? :)

Jakarta bukan tempat yang seindah aku bayangkan dulu, Ra. Di sini macet tiap hari. Aku harus berangkat pagi-pagi, kos ku lumayan jauh dari kampus. Kalau mau kos yang di deket kampus, harganya mahal banget, uangku nggak cukup, jadilah aku pilih yang agak jauh. Di sini juga nggak ada padang rumput luas kayak di desa kita, Ra. Hehehe. Jujur aja, aku kangen pas kita suka ngabisin waktu di padang rumput deket rumah..

Akhir-akhir ini, aku suka inget kalo kita keluar rumah pagi-pagi banget. Cuma untuk ngelihat matahari terbit, yang muncul dari balik gunung. Aku kangeeen banget. Aku kangen nikmatin pagi sama kamu, Ra. Inget nggak, biasanya kamu masih pake baju tidur. Aku juga masih bawa-bawa sarung. Lalu kita jalan beberapa menit sampai padang rumput. Di sana kita biasa cerita-cerita, nyanyi-nyanyi sambil nunggu matahari terbit

Ingatkan engkau kepada,
Embun pagi bersahaja,
Yang menemani mu,
Sebelum cahaya

Inget lagu itu kan? Itu lagu yang biasa kita nyanyiin di padang rumput. Iya, kita sering ada di sana, sebelum cahaya, sebelum matahari. Aku sudah download lagu itu, Ra, dan seringkali aku dengerin kalo aku lagi kangen kamu. Norak ya? :p

Yaudah, segini dulu deh.. Salam buat Bapak, Ibu, dek Farhan juga.. Bilangin, 4 tahun lagi, kamu aku lamar :)


dari lelakimu,
Yudho




Aira membaca email itu sekali lagi. Perlahan dihapusnya air mata rindu yang mulai menggenang di sudut matanya. Lalu sesungging senyum indah pun tergambar.

jingga kita

0

Sore ini seperti biasa aku masih saja di kampus. Kampus yang semakin penuh sesak oleh kehadiran mahasiswa baru berjumlah seribu lebih. Sesekali aku menguap, melihat sekilas pada jam yang melingkari tangan kiriku. Jam 5 sore, dan aku masih berdiam di bangku taman ini. Rapat event tahunan kampusku masih satu jam-an lagi. Aku mengamati jingga yang mulai memudar di langit. Sebentar lagi petang datang.

Jingga ini, yang biasanya kunikmati bersamamu. Seketika aku merasakan ada yang hilang, lagi. Beberapa bulan yang lalu, kita masih sering menikmati sore bersama-sama. Kamu bukan aktivis kampus sepertiku, tapi kamu demikian sabar menemaniku. Walaupun itu menungguiku rapat, yang jelas-jelas rapat itu bukan kepentinganmu. Kamu selalu membawakan aku makanan kecil, kamu tau aku selalu suka makan. Tanpa terasa makanan itu akan cepat sekali habis, seiring kita yang suka mengagumi langit senja. Selalu ada cerita yang membuat senja kita berlalu begitu cepat.

Aku suka ceritamu, tentang apapun itu. Kamu itu, orang paling ekspresif yang pernah aku kenal. Kalau bercerita, kamu selalu menggerak-gerkkan anggota tubuhmu, terutama tangan. Seakan-akan kamu ingin menggambarkan apa yang kamu ceritakan itu supaya lebih nyata di hadapanku. Ah iya, dengan mata bulat besar yang hampir setiap saat kurindukan. Ketika bercerita, matamu seringkali membulat lucu, sambil wajahmu menggambarkan ekspresi yang bermacam-macam.

Yah, bagaimana mungkin aku bisa membohongi hatiku sendiri kalau aku begitu merindukan kamu?

Tiba-tiba, aku menangkap sosok yang sepertinya amat kukenal. Rambut yang dikuncir kuda itu bergoyang ke sana kemari, sejalan dengan langkah si empunya kaki. Nindira. Masih saja, kuncir kudamu tak pernah bisa lepas. Kamu paling benci mengurai rambutmu. "Nusuk-nusuk mata lho..", begitu katamu ketika kutanya. Kamu ternyata menyadari keberadaanku di taman. Langkahmu terhenti, agak terlihat kikuk dari sini. Mata kita bertemu. Kita sama-sama terdiam. Lalu kulihat kamu seperti mulai akan berjalan ke arahku. Sontak aku mengemasi tasku, beranjak pergi, entah ke mana. Sambil tak lupa aku tersenyum kecil, untukmu.

Aku tak akan sanggup lagi mendengarkan suaramu, karena bagaimanapun aku tak ingin keputusanku goyah. Tentulah batas kesabaranmu ada kalanya berlaku juga. Masih teringat jelas di benakku, beberapa bulan yang lalu. Hari itu ulang tahunmu ke dua puluh satu, dan aku masih saja berkutat dengan rapat, rapat, rapat lagi. Sampai satu hari itu lewat, jam dua belas malam tinggal sejarah yang tak bisa kuulang. Aku melupakannya, maaf. Aku tahu bukan salahmu jika akhirnya kamu lebih memilih untuk menghabiskan waktumu bersamanya. Ya, dia yang lebih bisa mengingat segala hal spesial tentangmu. Sementara aku begitu pelupa. Aku tidak bisa melupakan ketika kamu memohon maaf padaku, karena pergi dengan lelaki itu tanpa seijinku. Bukan, aku bukannya membencimu. Tapi aku tidak bisa memaafkan diriku sendiri. Aku tak mau melukaimu lagi, Nindira. Cukup sekali itu saja aku harus melihatmu berlinang air mata. Cukup sekali itu saja aku membuatmu sedih. Cukup sekali saja.

Kalau ku ingat-ingat lagi sayang
Hatiku berhenti di kamu
Cerita kita tiada yang bisa gantikan

Senin, 10 September 2012

cinta yang baru :)

0

Aku memandangi jendela, di luar hujan deras sekali. Kilat menyambar di sana-sini. Biasanya, di saat seperti ini, kamu akan meneleponku, menemaniku. Sekedar mengatakan bahwa petir itu tidak akan sampai padaku, sekalipun aku sedang berada di padang yang luas, selama ada kamu di dekatku. Lalu kita sama-sama tertawa, menertawakan kekonyolan kalimatnya. Anak bayi pun bisa tahu kalau hal itu tidak mungkin terjadi, yang ada malah kita bisa gosong bersama-sama.

Tapi kali ini lain, aku hanya bisa mengenang saat-saat itu, dan tersenyum kecil.

Jdar!!

Aku bergidik, kaca jendela kamarku bergetar. Petir barusan besar sekali. Aku segera saja menutup tirai jendelaku. Setelah sebelumnya menghapus jejak-jejak namamu yang aku ukir melalui embunnya hujan. Saat ini, mungkin aku sedang berusaha melewati masa-masa beratku. Kehilangan kamu bukanlah sesuatu yang aku inginkan. Tapi kamu sendiri yang menginginkannya, bukan? Dan aku sebagai wanita yang jelas-jelas mencintaimu selama lima tahun terakhir ini, tentu saja akan memberikan apapun untuk membuatmu bahagia. Termasuk merelakanmu pergi.

Aku tidak akan membohongi hatiku sendiri bahwa kamu pernah memintaku kembali. Kamu telah mengakui semua kesalahanmu. Kamu mengakui bahwa kamu sempat bersenang-senang dengan cinta lain di luar sana, selama kita berjauhan. Aku telah memaafkanmu. Sungguh aku memaafkanmu. Namun, aku ragu ketika kamu katakana untuk berusaha menumbuhkan cinta lagi untukku. Apa bisa? Sementara menjaga yang sudah tumbuh dan memekar saja nyatanya kamu gagal.

Jadi aku memutuskan untuk membiarkanmu mencari cinta yang baru saja. Aku memintamu untuk menumbuhkan cinta yang lain, bukan cinta milikku dulu. Yang sudah mati, biarlah saja mati. Aku yakin masih banyak reranum di luar sana yang ingin menancapkan akarnya pada relung-relung jiwamu. Aku hanya berpesan padamu untuk menjaganya kelak. Menjaga seseorang yang akan menjadi penggantiku. Jagalah apa yang sudah tumbuh dan merekah. Mencari bunga lain bukan meperindahnya, tapi hanya akan membuatnya semakin mati. Karena hara cintamu sudah terbagi. Tak utuh.

Mungkinkah kembali, segala rasa yang t’lah hilang
Walau hati kecilmu masih mencintaiku
Tak ingin kubertahan..

Minggu, 09 September 2012

Seyummu, itu saja :)

2

“Aku capek, Ndra.. Ini, entah sudah yang ke berapa kali. Tadi siang, aku mergokin dia lagi jalan sama cewek. Aku nggak tau cewek itu siapa, aku juga nggak tau cewek itu siapanya dia. Tapi yang jelas mereka mesra banget..”, urai Feli panjang lebar di teras rumahku. Sore tadi dia menelepon, mengabari bahwa dia harus bertemu denganku, hari ini juga. Kebetulan saat itu sedang tidak ada kendaraan nganggur di rumah, jadi Feli memutuskan untuk bertandang saja ke rumahku.

“Terus, kamu nggak nyamperin mereka?”, tanyaku.

“Nyamperin? Terus kalau udah nyamperin aku mau apa? Mau kenalan sama cewek itu?”, sahutnya agak kesal.

“Ya nggak gitu maksudku. Paling nggak, kamu bisa langsung minta penjelasan sama Bona, cewek itu siapanya..”

“Aku males Ndra. Aku takut, Bona ntar ngejawab kalau cewek itu pacarnya. Mau ditaruh di mana mukaku nanti?”

“Ya udah, kalau gitu kamu sekarang telpon Bona, atau ajak ketemu sekalian. Terus, kamu bilang, tadi siang kamu pergokin dia lagi jalan sama cewek. Dari situ kan nanti kamu bisa tau dia jalan sama siapa tadi”, aku berusaha memberi saran. Feli masih saja sama seperti sejak aku mengenalnya. Gadis polos blak-blakan yang suka bingung sendiri dengan apa yang harus dilakukannya ketika meghadapi sebuah masalah.

“Terus, kalau aku dibilang salah lihat, gimana? Aku harus jawab apa? Kalau aku tetep ngotot, terus dia marah, terus aku diputusin? Gimana dong? Aku sayang banget sama dia, Ndra..”, rajuknya.

“Ya terus sekarang mau kamu gimana?”, aku menghela napas panjang. Feli yang seperti ini, yang membuatku terus bertahan berada di sampingnya.

“Nggak tahu..”, katanya pelan. Air mata perlahan mulai membayang bening di mata bulatnya. Aku benci melihat wanita menangis. Terlebih itu Feli.

“Fel, kita ke Cozy Ice, yuk..”

“Ngapain?”

“Ya beli es krim lah, masa mau beli STMJ.. Ayo, aku yang traktir deh..”, aku menjitak kepalanya pelan.

“Beneran yaa? Ayo..”, selengkung senyum tersungging, hingga lesung pipit yang manis itu terlihat. Aku dan Feli masuk ke mobilnya. Aku menyetel radio, dan entah kenapa lagu yang sedang diputar di sana mengingatkanku dengan keadaan hatiku sendiri.

Karena separuh aku, dirimu..

Sepenggal lirik saja dari Noah, dan itu menggambarkan jelas alasan keberadaanku di sebelah Feli sekarang. Ya, aku ini separuh dirinya. Entah aku berguna atau tidak di matanya. Yang jelas, aku hanya ingin berada di dekatnya. Membuatnya tersenyum. Sekalipun nyatanya aku tidak pernah berhasil membuatnya menyadari, bahwa aku, orang yang sedang duduk menemaninya di sini, adalah orang yang akan memberikan apapun untuknya. Apapun.

Jumat, 07 September 2012

aku akan siap

0


Gerimis menyambangi jendela kamarku. Lalu kacanya berembun. Aku rindu. Sekejap saja namamu sudah terukir di sana. Tapi perlahan hawa dingin menghilangkan jalur-jalur pembentuk namamu di sana. Membuatnya kembali dipenuhi embun.

Hari ini, genap sudah satu tahun kita dipisahkan jarak. Bandung-Surabaya, memang masih dalam pulau yang sama. Transportasi pun tersedia. Hanya saja, seringkali waktu yang tidak bersahabat dengan kita. Kebersamaan yang sangat minim. Kepercayaan dan kesabaran saja yang selama ini bisa membuat kita bertahan.

Kemudian aku mulai meraba-raba. Bagaimana jika saat ini juga aku mendapatimu sebagai harapan jua. Ya, bagaimana jika ternyata selama ini aku hanya ditemani harapan akanmu? Harapan akan esok-esok yang ingin kulalui denganmu. Bagaimana jika itu semua hanya tinggal angan semata..

Perlahan aku menata-nata hatiku lagi. Kamu yang tak bosan-bosannya mengingatkan aku, “jangan mencintaiku dengan berlebihan”. Dan tak terhitung pula aku berkali-kali menggumamkan “sesungguhnya segala sesuatu adalah titipan, bahkan rasa cinta itu sendiri” dalam hatiku. Membuatnya meresap benar-benar ke jiwa. Salah satu persiapan yang benar-benar kujaga, agar aku siap jika DIA tidak menakdirkan kita berjodoh.

Tapi nyatanya, aku belum tahu, apakah aku siap? Apakah aku ikhlas? Sementara cinta ini semakin jauh tertanam. Tapi, syukurlah, mencintainya membuatku semakin mencintai Tuhan. Jadi aku tersenyum saja, mencoba lebih bersahabat dengan kata entah serta ketidakpastian yang dijagaNYA rapat. Supaya aku semakin mendekatkan diri padaNYA, supaya cinta ini bersandar dan mengalir pada arah yang benar.

Tapi hari ini aku seperti merasakan mendung lebih kelabu dari biasanya. Hujan juga lebih deras, angin berhembus demikian kencang. Ponselku juga tidak bordering sedari pagi tadi. Padahal biasanya, setiap pagi, kamu selalu mengirimiku pesan singkat. Sederhana, cuma ucapan selamat pagi, tapi bisa membuat mood-ku naik dan tersenyum sepanjang hari.

Kuputuskan segera mengakhiri lamunanku di sisi jendela ini. Aku memalingkan diri pada televisi yang sedari tadi kuacuhkan, aku lebih memilih bercengkrama dengan gerimis. Acara berita, sepertinya kecelakaan. Lalu mataku terbelalak, aku mendekat, dadaku tercekat.

Wajahmu tergambar di sana.
Kupercaya alam pun berbahasa
Ada makna di balik semua pertanda
Firasat ini
Rasa rindukah ataukah tanda bahaya

….
Cepat pulang, cepat kembali jangan pergi lagi
Firasatku ingin kau ‘tuk cepat pulang

Kamis, 06 September 2012

teruntuk pangeran hatiku :)

4

Teruntuk pangeran hatiku,

Jangan kamu datang dengan kuda putih, karena bukan dengan itu kelak kita mengarungi jalan kehidupan bersama-sama. Datanglah dengan kepantang-menyerahanmu. Karena dengan kendaraan itulah kamu dan aku berjalan di muka bumi. Menghadapi semua halang rintang, kamu pasti tahu, hidup tidak pernah selalu mudah. Pasti akan ada kerikil kecil di simpangan jalan.

Jangan kamu berlagak sebagai lelaki yang paling kuat, lelaki yang serba kuat. Karena nanti aku bingung di mana bisa menempatkan diriku. Ketahuilah, wanita memang pada tempatnya harus dilindungi. Tetapi, aku juga ingin menjadi sosok yang bisa menguatkanmu. Memberimu semangat dan membantumu melalui hari-hari beratmu. Aku juga ingin menjadi sosok yang kamu butuhkan untuk sekedar mendengarkan keluh kesahmu. Wanita yang kuat untuk sama-sama saling menguatkan.

Jangan kamu memperlakukan aku bak seorang putri. Aku sungguh tidak menginginkan kamu meletakkan bunga mawar di samping bantalku setiap pagi. Aku juga tidak menginginkan puisi indah yang kamu bacakan untuk mengantarku tidur setiap malam. Aku hanya ingin kamu mencintaiku karena Allah. Mencintai hidupmu denganku, karena Sang Pencipta telah mempertemukan kita..

Selasa, 04 September 2012

kamu (selalu) berhasil

0

"Aku suka lagunya sheila on 7 yang buat aku tersenyum..", kataku di senja itu. Rapat himpunan menahanku pulang, padahal kuliah sudah selesai sejak jam 12 siang tadi.
"Oh ya? kenapa?", tanya Ian.
"Mmm, dulu, lagu itu yang pertama aku coba buat belajar main gitar, hehee.."
"Lho, kamu bisa main gitar?"
"Enggak, lagu itu juga cuma bisa intronya doang.. "
"Berarti aslinya bisa, tuh.."
"Enggak bisaaa.."
Dan senja itu aku dan Ian terus saja membicarakan lagu-lagu sheila on 7. Banyak sekali persamaan antara aku dan kamu. Kita sama-sama menyukai musik, menulis, menyanyi, dan beberapa hal lainnya. Mungkin kegemaran yang sama membuat kita cepat sekali dekat. Berawal dari didaulat untuk berduet akustikan di satu acara kampus, kita membicarakan banyak hal. Kita berbagi, dan menjalani banyak cerita.

*               *               *

Bulan ini, sudah sekitar satu tahun aku dekat denganmu. Tidak, kita tidak punya tanggal khusus anniversary. Beberapa kali bahkan aku dan kamu suka tertawa-tawa sendiri kalau sedang membicarakan kedekatan kita, karena sama-sama bingung untuk menetapkan dari mana awalnya. Kita dekat, kita paham dengan apa yang kita jalani, meskipun tidak semua orang bisa mengerti.

Aku dan kamu memang sama-sama sibuk. Aku, sekalipun sudah pensiun dari himpunan, masih saja suka berkutat dengan event-event kampus. Tidak jauh berbeda, kamu yang masih memegang peran di himpunan juga memiliki banyak tanggung jawab. Sekalipun satu kampus, aku dan kamu juga sangat jarang bertemu. Bisa saling bertemu di akhir minggu saja sudah bersyukur. Biasanya, di tiap pertemuan itu, kita akan saling bercerita tentang kegiatan selama seminggu, tentang rapat-rapat dan kegiatan yang kamu jalani. Kadang kamu juga menyempatkan waktu beberapa menit untuk menemaniku menunggu jemputan. Begitulah kita menikmati sempitnya waktu, membuat setiap detik menjadi sangat berarti untuk dilewatkan bersama-sama, walaupun sebentar.

Malam meninggi, dan aku sudah sekitar satu jam-an berada di balkon kamar. Memandangi bintang, mengingat-ingat lagi apa yang sudah kita jalani selama ini. Sukanya, dukanya, cerita-ceritanya. Ada satu malam yang sangat aku ingat selama hampir satu tahun ini. Malam itu, ada satu kalimat yang kamu kirimkan melalui pesan singkat.

"Aku pengen jadi orang yang selalu bisa bikin kamu senyum. Aku nggak mau senyum kamu sampai ilang dari wajah kamu. Aku usahain meskipun susah.. :)"

Sejauh ini kamu telah selalu berhasil membuatku tersenyum. Entah kamu sadari atau tidak, sengaja atau tidak sengaja. Ya, kamu selalu berhasil.

Angin malam menyesapi rongga-rongga kulitku. Dingin mulai kurasakan, tapi dalam hati ini tetap saja terasa hangat. Mengingatmu, mengingat cerita kita, selalu bisa membuatku nyaman. Selama aku bisa, selama Tuhan mengijinkan aku untuk membuatmu bahagia. Detikan jam menyadarkan lamunanku, jam setengah dua belas malam. Aku segera masuk kamar, menutup pintu menuju balkon. Aku membuka jendela untuk yang terakhir kalinya malam ini, menikmati kilauan-kilauan indah yang kecil di atas sana.

Kutarik selimut, kuselipkan headset di telingaku. Malam ini aku sangat rindu kamu, entah kenapa. Jadi aku memutuskan untuk memutar satu rekaman kita, lagu favoritku yang telah otomatis menjadi lagu favorit kita.

bila ku lelah tetaplah di sini
jangan tinggalkan aku sendiri
bila ku marah biarkan ku bersandar
jangan kau pergi untuk menghindar

Minggu, 02 September 2012

fase buntu

2

Akhirnya datang lagi, fase ini. Setelah sekian lama berkutat dengan tugas-tugas semacam prapos, proposal, dan lain sebagainya yang memerlukan keterampilan mengarang yang sangat tinggi, datanglah fase ini. Fase yang amat sangat kubenci. Kuberi nama fase buntu.

Fase ini dikarakteristikkan dengan mood yang aneh. Bukan bad mood, tapi mau ngapa-ngapain kayak nggak ada passion sama sekali. Dibilang good mood juga nggak bikin rajin ngerjain segala sesuatu yang mestinya dikerjain. Bingung pokoknya. Biasanya, di waktu-waktu senggang, aku suka nulis ini itu. Entah itu puisi, cerpen, atau lainnya. Tapi ini liburan satu bulanan malah cuma menghasilkan beberapa tulisan. Mungkin ini dikarenakan otak yang terlalu lama dibiarkan bersantai ya.

Seperti malam ini, sebenarnya banyak rencana di pikiranku. Pertama mau nyari jurnal, lalu ke dua pengen bikin artikel buat project nulis salah satu akun twitter favoritku, terus pengen bikin artikel di kompasiana tentang kegagalan (bahkan udah kepikiran judulnya). Tapi ya itu tadi, kembali ke biang kerok si fase buntu.
Laptop udah dengan kekuatan penuh habis dicharge, modem yang lumayan cepet, semua terfasilitasi, tab penting juga sudah terbuka semua. Tapi jari ini seakan kaku tak bergerak, mau mulai dari manaaa..

Yah, inilah sedikit coretan, mm, oke ketikan, yang nggak penting, di tengah fase buntu-ku..