Selasa, 11 September 2012

jingga kita

0

Sore ini seperti biasa aku masih saja di kampus. Kampus yang semakin penuh sesak oleh kehadiran mahasiswa baru berjumlah seribu lebih. Sesekali aku menguap, melihat sekilas pada jam yang melingkari tangan kiriku. Jam 5 sore, dan aku masih berdiam di bangku taman ini. Rapat event tahunan kampusku masih satu jam-an lagi. Aku mengamati jingga yang mulai memudar di langit. Sebentar lagi petang datang.

Jingga ini, yang biasanya kunikmati bersamamu. Seketika aku merasakan ada yang hilang, lagi. Beberapa bulan yang lalu, kita masih sering menikmati sore bersama-sama. Kamu bukan aktivis kampus sepertiku, tapi kamu demikian sabar menemaniku. Walaupun itu menungguiku rapat, yang jelas-jelas rapat itu bukan kepentinganmu. Kamu selalu membawakan aku makanan kecil, kamu tau aku selalu suka makan. Tanpa terasa makanan itu akan cepat sekali habis, seiring kita yang suka mengagumi langit senja. Selalu ada cerita yang membuat senja kita berlalu begitu cepat.

Aku suka ceritamu, tentang apapun itu. Kamu itu, orang paling ekspresif yang pernah aku kenal. Kalau bercerita, kamu selalu menggerak-gerkkan anggota tubuhmu, terutama tangan. Seakan-akan kamu ingin menggambarkan apa yang kamu ceritakan itu supaya lebih nyata di hadapanku. Ah iya, dengan mata bulat besar yang hampir setiap saat kurindukan. Ketika bercerita, matamu seringkali membulat lucu, sambil wajahmu menggambarkan ekspresi yang bermacam-macam.

Yah, bagaimana mungkin aku bisa membohongi hatiku sendiri kalau aku begitu merindukan kamu?

Tiba-tiba, aku menangkap sosok yang sepertinya amat kukenal. Rambut yang dikuncir kuda itu bergoyang ke sana kemari, sejalan dengan langkah si empunya kaki. Nindira. Masih saja, kuncir kudamu tak pernah bisa lepas. Kamu paling benci mengurai rambutmu. "Nusuk-nusuk mata lho..", begitu katamu ketika kutanya. Kamu ternyata menyadari keberadaanku di taman. Langkahmu terhenti, agak terlihat kikuk dari sini. Mata kita bertemu. Kita sama-sama terdiam. Lalu kulihat kamu seperti mulai akan berjalan ke arahku. Sontak aku mengemasi tasku, beranjak pergi, entah ke mana. Sambil tak lupa aku tersenyum kecil, untukmu.

Aku tak akan sanggup lagi mendengarkan suaramu, karena bagaimanapun aku tak ingin keputusanku goyah. Tentulah batas kesabaranmu ada kalanya berlaku juga. Masih teringat jelas di benakku, beberapa bulan yang lalu. Hari itu ulang tahunmu ke dua puluh satu, dan aku masih saja berkutat dengan rapat, rapat, rapat lagi. Sampai satu hari itu lewat, jam dua belas malam tinggal sejarah yang tak bisa kuulang. Aku melupakannya, maaf. Aku tahu bukan salahmu jika akhirnya kamu lebih memilih untuk menghabiskan waktumu bersamanya. Ya, dia yang lebih bisa mengingat segala hal spesial tentangmu. Sementara aku begitu pelupa. Aku tidak bisa melupakan ketika kamu memohon maaf padaku, karena pergi dengan lelaki itu tanpa seijinku. Bukan, aku bukannya membencimu. Tapi aku tidak bisa memaafkan diriku sendiri. Aku tak mau melukaimu lagi, Nindira. Cukup sekali itu saja aku harus melihatmu berlinang air mata. Cukup sekali itu saja aku membuatmu sedih. Cukup sekali saja.

Kalau ku ingat-ingat lagi sayang
Hatiku berhenti di kamu
Cerita kita tiada yang bisa gantikan

0 komentar:

Posting Komentar