Hujan belum berhenti sejak pagi tadi. Dari jendela ruangan ini, genangan-genangan di jalan tampak jelas. Rintik air seperti menari-nari saat jatuh ke tanah. Bagiku hujan selalu mendamaikan walau sejenak, selalu menenangkan walau sesaat.
"Mas, Marsya mana?"
"Eh udah bangun, ternyata. Nyenyak banget tidurmu, sayang.."
Aku menghampiri tubuhnya yang masih tergolek lemah itu. Wanita yang kucintai ini, tentulah sedang mengemban beban yang tidak ringan.
"Iiih, Marsya mana?" desaknya.
"Marsya masih dibawa sama Ibu, kamu tenang aja," kataku sambil mengelus rambutnya. Susah payah kutahan air mata agar tidak jatuh, serupa mendung yang berusaha keras menampung hujan, menunggu saat yang tepat untuk tercurah.
"Kan aku kangen.."
"Iya, aku tahu. Makanya, kamu cepet pulih yaa. Jangan banyak pikiran dulu.."
***
Hanya di saat seperti ini aku bisa mencuri waktu. Wanitaku sudah terlelap lagi. Berjingkat kutinggalkan ruangannya. Sebentar saja, bisikku dari kejauhan.
Aku butuh tempat berbagi.
"Nak, bagaimana nanti Ayah akan menceritakan semua ini pada Bundamu?"
Aku berbicara pada pusara Marsya yang basah. Bukan karena hujan, tapi air mataku sendiri.