Senin, 10 Oktober 2016

Umpan Lambung

0

pict taken from asfanforever.wordpress.com

Sebagai stasiun besar di Ibu Kota, Gambir tidak pernah sepi dari hari ke hari. Barisan orang lalu lalang dari loket satu menuju loket lainnya. Suara mesin pemanggil antrian otomatis menggema di ruang tunggu pintu utara. Stasiun bukan hanya tempat orang-orang yang bergembira karena pulang, tapi juga tempat dimana wajah-wajah yang digelayuti rindu mencoba tetap tegar. Sesekali pun bisa dijumpai rona yang penuh semangat karena pertama kali menjejak tanah rantauan.

Di salah satu bangku melingkar, seorang lelaki duduk dengan satu koper hitam berukuran tanggung di depannya. Tangannya menggenggam bungkusan kertas berisi roti rasa kopi. Sesekali matanya diarahkan ke luar, memandang jam tangannya sebentar, lalu kembali sibuk mengisi rongga mulutnya. Di tengah kesibukannya mengunyah, ada sorot gelisah yang tampak di kedua matanya. Seperti menunggu sesuatu yang tak kunjung datang.

“Rendi!”

Belum sempat lelaki itu menelan rotinya, orang yang sedari tadi ditunggunya itu sudah menepuk-nepuk pundaknya lumayan keras.

“Astagaa, biarlah saya telan dulu rotinya, bro. Jangan main peluk saja kamu ini. Lagian kita kan sama-sama laki-laki, nggak enak juga dilihat orang.”

“Soriii, bro! Ndak kira lah saya masih sempat ketemu kamu.”

“Bukan main. Sudah berapa lama kamu di Jakarta?”

“Hmmm, kira-kira hampir empat tahun saya di sini, Ren, kenapa memang?”

“Nggakpapa, saya kira kamu bakal nyapa saya pakai lu-gua, hahaha”

Lelaki bernama Rendi itu pun menggeser tempat duduknya, memberi tempat untuk orang yang sudah dinantikannya sejak tadi.

“Saya boleh lama di rantauan, tapi logat sepertinya lebih kuat melekat, Ren. Sama lah seperti kamu. Ah iya, maaf ya tiga bulan ini saya sibuk sekali, ndak bisa temani kamu keliling-keliling Jakarta.”

“Nggakpapa, saya paham lah kesibukannya anak buah Bu Menteri.”

“Ah, jangan gitu lah. Saya kan cuma remah-remah roti, Ren, kayak yang kamu makan itu. ”

Lalu keduanya tergelak.

“Ah iya, apa kabar si Rania?”

“Kami dah lama putus, Ren. Sudahlah nggak usah dibahas. Kamu sendiri gimana? Masih sama yang dulu?”

“Sama lah nasib kita, bro. Ah iya, saya jadi ingat, kapan hari saya ketemu salah satu spesies perempuan yang unik banget.”

“Unik gimana, Ren?”

“Sejak pertama saya lihat dia di tempat ngopi itu, saya langsung ngerasa ada yang beda sama dia. Pertama, dia selalu sendirian. Ke dua, dia nggak pernah pesan kopi, padahal di situ menu default-nya ya kopi.”

“Ke tiga?” lelaki di sebelah Rendi ini mulai tampak penasaran, kedua alisnya nyaris saling bertautan.

“Yang ke tiga, yang baru saya tahu waktu saya nekad ngajak dia ngobrol.”

“Ngajak ngobrol? Serius, Ren?”

“Saya serius. Hal ke tiga yang bikin dia beda adalah, dia begitu terbuka sama orang asing.”

“Jadi orangnya ramah, gitu?”

Rendi terlihat berpikir sejenak.

“Nggak bisa dibilang ramah juga, sih, bro. Dia itu dingin malahan sebenarnya. Tapi dia bisa bikin saya yang orang asing ini, nyaman ngobrol sama dia.”

“Hmm, aneh.”

“Kita selalu bisa ngerasain kan, kalau orang yang kita ajak bicara itu ngerasa nggak nyaman sama kita? Itu yang nggak saya rasakan ketika ngobrol sama dia.”

“Kok kayaknya kamu terkesan banget sama dia, Ren? Suka ya?”

“Sudah cukup lah saya nggak mau LDR lagi, bro. Nanti putus lagi, gagal kawin lagi lah saya.”

“Jangan galau gitu, lah, Ren!”

“Eh saya nggak galau. Coba lah bro, kalau waktumu luang di hari Jumat malam, kamu pergi ke tempat ngopi di Atrium situ, tuh. Cari perempuan yang duduk di sebelah jendela besar.”

“Kalau ada banyak perempuan yang duduk di sebelah jendela besar?”

“Perempuan ini eye-catching banget, bro. Dia punya dua lesung pipi yang kelihatan jelas banget kalau dia ketawa. Rambutnya pendek sebahu. Kalau kamu cari tipe perempuan yang unik. Saya sarankan sekali kamu coba temui perempuan ini, bro.”

Setelah mengamati jam tangannya beberapa saat, Rendi tampak bersiap-siap. Diikuti teman bicaranya sejak tadi, mereka menuju area parkiran sebelah kiri. Tepat waktu, bus Damri berwarna putih baru saja melewati palang pintu masuk.

“Jam berapa pesawatmu balik Bontang?”

“Masih jam 9 nanti. Mending nunggu daripada ketinggalan pesawat, kan.”

“Tiga bulan di Jakarta, kamu sudah belajar banyak dari macetnya kota ini, Ren.”

Rendi tertawa. Kemacetan Jakarta, sesuatu yang dia benci itu sebentar lagi mungkin akan jadi sesuatu yang dia rindukan suatu saat nanti.

“Saya berangkat, bro. Kapan-kapan mainlah ke Bontang.”

“Beres. Salam buat ibu bapak dan adik-adikmu, ya, Ren.”

“Siap. Oke, sampai ketemu lagi, bro!”

Sekali lagi mereka berdua berpelukan. Salam perpisahan dari dua orang teman akrab semasa kuliah. Rendi yang memilih kembali ke pangkuan kampung halaman, sementara lelaki yang dipanggilnya “bro” ini masih belum lelah berkelana, menjajaki tempat-tempat baru yang belum pernah dia jamah sebelumnya.

Sebelum benar-benar naik ke bus, Rendi menoleh ke arah teman baiknya itu sambil berkata,

“Perempuan itu… Namanya Faya.”

***

Gambir masih penuh dengan hiruk pikuk kesibukannya. Sementara teman baik Rendi juga sedang sibuk menimbang-nimbang.


Besok kan, hari Jumat.

0 komentar:

Posting Komentar