Senin, 27 Mei 2013

Cerita Sebatang Pohon Angsana

12

Aku menatap sedih Don dan kedua orang tuanya. Mereka bertiga memandangiku yang masih tegak berdiri. Walaupun rasanya sedih, sangat sedih. Aku bisa merasakan ranting-rantingku yang biasanya tegar jadi mulai melemas perlahan. Hanya saja aku tak punya air mata. Sekian tahun bersama keluarga Don adalah kenangan yang tidak mungkin aku lupakan. Mereka seringkali menghabiskan waktu di akhir minggu bersama-sama. Piknik kecil di bawah rimbun dedaunanku. Biasanya, ibu Don akan memasakkan berbagai makanan dan minuman. Sementara ayah Don menggelar tikar dan menata beberapa bantal. Sedangkan Don, berlari-lari mengitari aku, mencoba mencari-cari kumbang atau kupu-kupu yang kadang menempel di batangku yang kokoh. Aku begitu bahagia menjadi bagian dari mereka. Tapi waktu berlalu begitu cepat. Malam dua hari yang lalu, lewat rantingku yang sedikit menjulur ke jendela dapur, aku mendengarkan pembicaraan mereka. Ayah Don dipindahkan kerjanya di luar kota. Kaupun bisa menebak akhirnya kan?

***

Papan berukuran 2x3 meter ini masih sepi. Dulu, Don sering sekali memanjat ke sini, menghabiskan waktu luangnya dengan menikmati pemandangan dari atas rumah pohon ini. Ya, demikian Don menyebutnya, rumah pohon. Padahal tidak sedikitpun papan ini berbentuk rumah. Ini hanya papan persegi panjang, yang ditempatkan di antara cabang-cabangku. Awalnya, Don masih ringan. Namun, setelah ia bertambah berat, kuputuskan untuk memperkokoh bagian itu, supaya bisa menyangga rumah pohonnya. Jadi aku memerintahkan si pembuluh angkut untuk memperbanyak pasokan makanan ke cabang-cabangku yang menyangga rumah pohon. Setelah sangat-sangat kokoh, ternyata Don harus meninggalkan aku. Meninggalkan rumah pohonnya yang dipeluk cabang-cabang batangku.

Beberapa hari setelah keluarga Don pindah, aku merasa sangat kesepian. Badanku kuyu. Bahkan dedaunanku tidak lagi bersemangat menadahi embun setiap pagi. Sel-sel dalam dedaunanku juga seperti hilang motivasi untuk berfotosintesis, menghasilkan oksigen untuk makhluk hidup di sekitar. Untuk apa? Toh Don sudah tak ada di sini. Tapi suatu hari, entah dari mana semangat itu datang. Aku merasa akan ada sesuatu yang datang. Sesuatu yang penuh kasih sayang. Aku memandangi sekujur tubuhku, tinggal sedikit sekali dedaunan yang melekat. Semuanya gugur, atau kugugurkan? Mungkin yang kedua yang paling benar. Lalu tiba-tiba saja aku ingin keteduhanku kembali. Aku ingin menjadi angsana yang dulu. Angsana yang kokoh dan rimbun. Jadi aku mulai menyemikan lagi daun-daun hijau di sekujur tubuhku.

***



Tidak jelas apa yang membuat wanita ini memandangiku dengan binar mata yang berkilat-kilat. Di sebelahnya ada seorang lelaki, mungkin mereka suami istri, karena di tengah mereka ada seorang gadis kecil lucu. Gadis itu memakai kaos berenda berwarna merah muda dipadu celana jins pendek. Rambut ikalnya dikuncir dua, memperjelas gembul kedua pipinya. Anak ini lucu sekali. Ah iya, aku bersyukur sudah bisa memperbaiki penampilanku sebelum bertemu dengan mereka bertiga. Batang-batangku telah sangat kokoh, dedaunan juga sudah hijau menyemai, siap memberikan keteduhan bagi siapa saja yang ada di bawahku.

"Tuh, kan, bunda bilang apa, di kota juga ada pohon besar kok, nak.."

Kemudian gadis kecil itu melepas genggaman tangan ayah dan ibunya, berlari ke arahku dengan tawa yang lebar. Dia menyentuh kulitku. Ketika kepalanya mendongak, kudapati tawanya mengembang semakin lebar. Mungkin dia juga suka pohon, sama seperti Don. Sentuhan tangannya tadi memberitahuku banyak hal. Sepertinya kami akan akrab.

***

"Hei pohon, namaku indi.. salam kenal, ya..."

Indi? Ah, aku pernah mendengar nama itu. Aku ingat ketika Don membaca-baca buku biologinya dan menemukan nama latinku.

"Namaku juga indi, lengkapnya pterocarpus indicus," bisikku dengan cara menggesekkan dedaunan, membuat suara bisikan yang entah diterjemahkan apa oleh Indi. Tapi sepertinya dia mengerti, karena kulihat dia tersenyum menatapku.

Siang itu Indi menghabiskan waktu denganku. Sampai-sampai ia tertidur bersadar di batang kokohku yang agak cekung ke dalam. Aku berusaha membuatnya nyaman. Tanpa ia tahu, aku mengatur sela-sela cabangku untuk menghalangi panasnya matahari menyentuhnya.

***

Kulihat ibu Indi melompat-lompat ingin menggapai daunku. Apa yang ada di pikirannya? Sesaat kulihat gurat wajahnya menampakkan kekhawatiran. Mungkin tentang Indi. Sejak kemarin dia tidak terlihat keluar rumah sama sekali. Jadi kurundukkan beberapa cabangku agar ibu Indi bisa mendapatkan apa yang dia inginkan. Ternyata dia mengambili beberapa daunku.

"Terimakasih," katanya sebelum pergi masuk ke dalam rumah. Aku masih saja tak mengerti.

Senja menyemburatkan warna kemerahan di langit. Indi berlari-lari kecil ke arahku.

"Halooo.. Makasih ya, karena minum air remasan daunmu dicampur gula aren, ramuan tradisionalnya bunda, demamku udah sembuh. Sekarang udah mau malem, aku masuk rumah dulu, ya. Besok kita main sama-sama lagi..," katanya sambil menepuk-nepuk batangku.

Ah, begitu kah? Aku berguna untukmu, ya? Jadi bagian dari diriku juga masuk ke dalam tubuhmu, ya? Syukurlah aku bisa sedikit menolongmu, Indi..

***

Bunga-bungaku yang berwarna kuning berguguran. Sementara Indi menari berputar-putar di bawahku. Kedua tangannya dibentangkan. Indi seperti menikmati gerimis kecil ini dipadu dengan guguran bunga kuningku, si Angsana.

Pada masanya, bunga-bungaku ini akan gugur, kemudian akan diganti lagi dengan yang baru. Tentu saja melepaskan itu sangat berat. Aku suka bunga-bunga kuning ini melekat di tubuhku. Tapi, aku jauh lebih bahagia ketika menggugurkan mereka, sebab itu berarti mempertemukan mereka dengan orang-orang yang akan memandangi mereka dengan bahagia. Serupa menghadirkan musim gugur di tanah tropis ini, dan aku mencintai pula senyum orang-orang yang tampak gembira dengan suasana yang ditimbulkan guguran bungaku.

Seperti itulah, aku melepaskan Don dengan berat hati. Tapi aku ikhlas, karena aku tahu dia akan hidup lebih baik dengan kenaikan pangkat ayahnya. Dan ikhlas itu akhirnya mendatangkan Indi kepadaku. Entah, suatu saat nanti, mungkin aku juga akan harus melepaskan Indi. Tapi tak apa, aku sudah menikmati waktu-waktu bersamanya.

Yang aku tahu, di usiaku yang masuk bilangan entah ini, batangku semakin mengokoh, dedaunanku semakin meneduhkan, aku telah semakin baik dan memberi manfaat. Kelak, jika aku harus melepas orang yang aku sayangi, Don, Indi, atau entah siapa lagi, aku akan tetap bahagia untuk mereka. Sebab aku tahu, aku telah melakukan yang terbaik untuk mereka, dan kasih sayang mereka untukku akan tetap abadi. Seabadi pola lingkaran batang di usiaku yang semakin menua, menanti-nanti siapa yang Tuhan takdirkan untuk menyentuh batangku dengan sayang, untuk menikmati teduhku dengan senyuman..

12 komentar:

  1. cerpennya bagus. saya menyukainya. kebetulan saya penggemar pohon angsana. hehehe...
    salam kenal. :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. waaah, terimakasih.. ini cerpen pertamaku yg tokoh utamanya tanaman, hehe

      salam kenal jugaa :D

      Hapus
  2. cerita menarik tentang move on-nya si pohon angsana.

    kadang kita juga sebagai manusia perlu mencontohnya. melepas dengan ikhlas mereka yg hendak pergi. yang penting sudah berbagi manfaat dan momen-momen bahagia bersama.

    terus menulis ya

    BalasHapus
    Balasan
    1. waaah, memang itu salah satu pesan yang mau aku sampaikan lewat cerita ini.. makasih sudah mau membaca :D

      Hapus
  3. wahhh.... Setelah sekian lama, nemu jg cerpen yg tokoh utamanya non manusia. Creative! Salam kenal,penulis :))
    cerpennya klasik,tp ga ngebosenin buat dibaca.

    BalasHapus
    Balasan
    1. terimakasih udah mau mampir dan baca :D

      salam kenal jugaaa, gee :D

      Hapus
  4. 'Dan ikhlas itu akhirnya mendatangkan Indi kepadaku.' aku suka banget kalimat itu :')

    semangat juga nulisnya ya :D
    salam kenal :))

    BalasHapus
    Balasan
    1. hehe

      makasih udah menyempatkan mampir dan baca, salam kenal juga mbak Aini :D

      semangat nuliiis :D

      Hapus
  5. Salam kenal... :D
    Cerpennya bagus banget. Menyentuh. :')
    Jadi bisa merasakan perasaan pohon-pohon disekitarku.
    Kadang kita suka lupa kalau tumbuhan itu punya perasaan, kayak si Angsana ini.
    Selain itu Angsana juga mengajarkan tentang rasa ikhlas.
    Ah keren banget deh pokoknya.
    Good job! Happy writing! :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. syukurlah kalau maknanya tersampaikan, hehehe..


      makasih uda menyempatkan baca yaa, salam kenal kenal jugaa mbak Ros :D

      Hapus