"Lalu selama pantinya direnovasi, anak-anak mau tinggal di mana, sayang?"
"Tenang aja, Bu, Elia sudah kontrakkan rumah yang cukup besar buat kita sementara waktu, nggak jauh dari sini juga, jadi anak-anak tetep bisa sekolah," kataku menjelaskan rencana yang sudah lama ingin kuwujudkan ini.
Mata Bu Elvina berkaca-kaca mendengarkan aku. Tangan lembutnya membelai kedua pipiku. Tangan ini yang selalu memberikan aku kehangatan di malam-malam ketika aku rewel tak karuan. Tangan ini yang memeluk dan mendekapku penuh cinta ketika aku sedang gundah. Dia memang bukan ibu yang melahirkan aku melalui rahimnya. Tapi cintanya begitu besar untukku, bahkan untuk ibuku, ibu kandungku, yang tidak pernah aku tahu bagaimana wujud rupanya. Begitu juga Bu Elvina yang tidak pernah mengetahui siapa wanita yang telah mengorbankan nyawanya untuk mengantarku ke dunia. Aku ditemukan begitu saja di teras, berselimutkan jarit berwarna cokelat tua. Jarit itu masih ada di lemariku, sampai sekarang. Bu Elvina yang menyimpankannya untukku, dan tidak lelah mengingatkanku untuk senantiasa mendoakan ibu kandungku--yang entah siapa.
"Halooo! Ah, ada apa ini kok pada haru biru? Aku ketinggalan berita penting ya?," tiba-tiba Khiar muncul dari balik pintu ruang tamu.
"Kebiasaan deh, nggak salam dulu kalo mau masuk rumah!"
"Hehe, maaf ya, Bu.. Ibu apa kabar? Maaf ya, Bu, akhir-akhir ini jarang kemari. Lagi banyak kerjaan di kantor..," Khiar mencium punggung tangan Ibu.
"Nggak apa, yang penting kamu sehat aja Ibu udah seneng. Yaudah, Ibu mau ke dapur dulu ya, mau masak buat makan siang"
Akhirnya tinggal aku dan Khiar di ruang tamu. Panti ini lumayan sepi di siang hari, karena sebagian besar adik-adik sedang bersekolah. Aku melihat wajah Khiar, ada rona yang berseri-seri, seperti ada yang akan dia ceritakan padaku.
"El, aku mau cerita.. Menurut kamu, cewek ini cantik nggak?," tanyanya sambil memperlihatkan foto seorang perempuan di layar ponselnya.
Benar saja, kan, Khiar yang ada di hadapanku, seorang editor di perusahaan penerbitan yang dirintisnya sendiri, penerbitan yang mulai memperlihatkan taringnya di media cetak nasional, nyatanya masih saja Khiar yang dulu. Khiar yang memang sangat suka dengan perempuan cantik. Kalau saja aku bukan saudara se-panti-nya sejak kecil, mungkin aku tak akan bisa sedekat ini dengannya. Karena aku tidak cantik, sama sekali tidak.
***
Aku membantu Elia membawa koper-koper dari dalam mobil. Adik-adik sudah berlarian keluar dengan bersemangat memasuki gedung panti barunya. Melihat tawa di wajah mereka, seperti merasakan guyuran embun di pagi hari. Sejuuuk sekali.
"Kenapa kamu nggak tinggal di rumah sendiri ja, El?," tanyaku.
"Buat apa? Keluargaku di sini. Beda sama kamu, kan kamu punya keluarga baru," jawab Elia sambil tersenyum.
Selesai mengangkut koper-koper, aku dan Elia duduk-duduk di depan kolam ikan. Elia suka sekali duduk-duduk di sini, sejak kecil. Padahal di kolam ini juga dia pernah celaka. Aku mengamati wajah Elia di sampingku. Tampak sekali kebahagiaan terpancar dari wajahnya. Elia tidak banyak bicara, tapi aku sudah terbiasa menangkap isyarat-isyarat yang sangat tipis itu. Aku mengenal Elia sejak kecil, bahkan sejak bayi. Aku mengikuti Ibu yang membuka pintu karena mendengar tangisan bayi. Aku anak panti yang pertama melihat sosok bayi Elia yang dibalut jarit warna cokelat.
"Kamu benar-benar jadi peri, jadi malaikat buat panti ini..," kataku.
"Ah? Malaikat? Kamu berlebihan, Khiar.."
"Nggak berlebihan, kok. Kamu benar-benar sama seperti namamu. Elia, peri yang cantik. Peri karena kamu menghadirkan banyak keajaiban buat panti ini. Membangun panti, mendampingi Ibu, menjadi kakak sekaligus Ibu untuk adik-adik di sini. Banyak yang sudah kamu lakukan, El.."
"Elia, peri yang cantik. Tapi aku nggak cantik, Khi," Elia terkekeh sejenak. Matanya menerawang ke dalam kolam.
Aku terdiam. Aku punya andil dalam ucapannya barusan. Dulu, ketika kami masih sama-sama kecil, aku pernah tidak sengaja mendorongnya hingga jatuh. Wajahnya terjerembab ke batu-batu tepian kolam ini. Rahang kirinya retak atau bagaimana lah saat itu aku masih tidak terlalu mengerti. Yang kemudian aku tahu adalah, rahang kiri dan kanannya tidak lagi simetris. Aku sedih dan takut. Tapi Elia sama sekali tidak menaruh benci padaku.
"Oh iya, El, aku habis jadian lho minggu lalu! Nih, fotonya, namanya Jelita.. Gimana menurutmu?"
"Cantik.."
Lalu sejenak kuperhatikan pendar matanya perlahan meredup. Sepertinya aku melakukan hal yang salah, yang baru kusadari sekarang.
***
Aku mempersiapkan mental. Beberapa jam lagi semuanya akan terjadi. Terbayang wajah Khiar. Wajah lelaki yang sejak dulu aku cintai, tapi sejak dulu pula tak bisa kumiliki hatinya. Karena aku tidak cantik. Khiar tidak tahu hatiku seperti diiris setiap kali dia menceritakan perempuan-perempuan yang mencuri perhatiannya. Dahi proporsional, kulit putih, hidung mancung, bibir tipis, lekuk wajah yang sempurna. Kesemuanya tidak aku miliki. Aku semakin memantapkan hati. Mimpiku merenovasi gedung panti sudah terpenuhi. Ada sedikit sisa, dan aku rasa, keputusan ini keputusan yang tepat untuk menggunakan sisa anggaran itu.
Sementara itu, di tempat yang berbeda..
"Bu, Elia mana?"
"Lho, dia nggak ngasi tahu kamu?"
"Ngasi tahu apa, Bu?"
"Dia ke Singapur, operasi plastik untuk beberapa bagian wajahnya, doain lancar aja ya.. Tapi kalau kamu sempat sih, jenguklah dia di sana sehari atau dua hari."
"Operasi plastik? Buat apa, Bu? Buat apa? Kok Ibu biarin dia?," aku kaget setengah mati. Apa-apaan Elia ini?!
"Dia jatuh cinta, Khiar, dia ingin punya wajah yang cantik. Dia bilang, lelaki yang dicintainya itu hanya tertarik dengan wanita yang cantik. Ibu nggak tega mau mencegahnya.."
Aku diam mematung. Aku membuat kesalahan, lagi.
Karena kau tak lihat
Terkadang malaikat
Tak bersayap, tak cemerlang, tak rupawan...
0 komentar:
Posting Komentar