Minggu, 27 Maret 2016

Trip to Papandayan Part 3

3


Semalaman aku nggak bisa tidur. Mmm, bisa sih, tapi berkali-kali kebangun. Gara-gara apalagi kalau nggak karena parno babi hutannya nyerang tenda lagi. Tiap ada suara, aku selalu kebangun, sekalipun itu cuma suara kresek-kresek mbak titis yang lagi mbenahi sleeping bag-nya. Nggak cuma itu, aku juga berkali-kali mimpi tasku ditarik-tarik babi. Pokoknya berharap banget segera pagi deh, nggak tenang setiap lihat arloji yang menunjukkan waktu dini hari.

Akhirnya subuh menjelang, aku dan mas imam beranjak ke mushola. Terlihat banyak pendaki yang sudah memulai perjalanannya lagi menuju hutan mati atau mungkin malah ke tegal alun. Barisan cahaya head lamp terlihat beriringan menuju satu jalur yang sama. Padahal hawa masih dingin banget, apalagi selesai wudhu, baaaahh menggigil euy!

Selesai sholat subuh, kami kembali ke tenda, bersiap-siap mau ke hutan mati, lalu lanjut ke tegal alun. Masih mencoba menggenapkan nyawa karena tidur yang nggak pulas semalaman, aku ngobrol absurd sama mbak titis. Mulai ngomongin mimpi babi, sampe tempat-tempat perawatan muka yang nggak ada satupun yang pernah aku jamah. Lagi asik-asik ngobrol, tiba-tiba tenda kami gerak-gerak. Grasak-grusuk. Aku yang pertama kali nyadar.

"Ih mbak, kok gerak-gerak, nih?"

Aku kayak membeku seketika. Mungkinkah babinya kembali?

Refleks aku langsung nutup tenda, dan manggil-manggil mas yogi serta mas imam (manggil siapa lagi coba kalau nggak manggil mereka).

"Mas yog.. Mas yog.. Mas imam.. Duuuh, ada babi nih kayaknyaaa.. Aduuu.."

Terdengar mas imam malah manggil mas yogi juga. Duh, gawat, jadi keinget kejadian di malam harinya, kan, yang kami manggil-manggil mas yogi. Aku makin panik.

Sampai tiba-tiba...

Terdengar suara cekikikan mas yogi, yang perlahan jadi ketawa ngakak.

Baiklah, siluman babi pagi itu dipersembahkan oleh keusilan mas yogi.. -_______-

Dan ketakutanku atas serangan babi di pagi itu jadi bahan ceng-cengan sepanjang jalan menuju hutan mati. Tapi, fakta mengungkap ternyata bukan cuma aku yang mimpiin tuh babi, mas imam juga, hahaha.

"Tega-teganya mas yogi. Aku semaleman mimpi babi melulu, tau!"

"Sama aul, saya juga. Ngeri kalau tiba-tiba babinya masuk tenda, kan bolong itu tendanya," kata mas imam.

"Mimpi sih mimpi mas, tapi kenapa mesti bangunin saya juga?" sahut mas yogi.

Kamipun ketawa-ketawa. Kesimpulannya adalah hanya mbak titis yang tidurnya pules banget malam tadi.

Karena hujan di hari sebelumnya, jalur awal menuju hutan mati jadi becek parah. Jadi kami mencari jalur lain untuk menghindari beletokan tadi, agak melipir ke hutan gitu deh. Memang tetep aja tanahnya becek, tapi nggak seberapa parah. Dalam perjalanan ini juga kami menyadari bahwa suara "krik krik krik" yang terdengar di area camp ternyata adalah suara pipa air.

"Saya kira suara serangga.." kata mas imam menyadari kekhilafannya, wkwkwk :p

Kami start perjalanan dari tenda sekitar jam 6 kurang dikit. Barang bawaan sebagian besar kami tinggalkan di tenda. Mas imam dan mbak titis tetap bawa tas besarnya, mas yogi bawa tas ransum, sementara aku bawa tas kecil berisi barang berharga (uang urunan, red.). Medan menuju hutan mati tidak terlalu berat, sesekali ada tanjakan, tapi lebih banyak landainya. 

menjelang Hutan Mati



Tiga puluh menit berjalan, sampailah kami di hutan mati.

view Hutan Mati


Masya Allah kerennyaaaaa... <3

oranye sunrise nya masih kelihatan <3

Keren!

Berbatang-batang pepohonan yang meranggas nggak menyisakan daun barang sehelaipun, tanah yang berwarna putih (tanah kapur nih sepertinya), guratan warna kuning di kejauhan sisa sunrise, asap dari kawah, dan latar pemandangan gunung-gunung (entah gunung apa) benar-benar membuat mata dan hati ini terpesona. Sudah banyak orang yang ada di sana, mungkin mereka sudah jalan sebelum matahari menampakkan terangnya. Tapi, hutan mati, bahkan seusai sunrise tetap nggak kehilangan eksotismenya.

eksotis

Happy banget rasanya bisa sampai sejauh ini. Kamipun foto-foto di berbagai sisi, berbagai pose, berbagai ekspresi. Setelah puas foto-foto, kami sepakat untuk makan bekal dulu. Makanlah kami beberapa jelly, roti, biskuit, dan minum air mineral. Perut lapar memang, tapi sedikit makan lebih baik daripada kekenyangan. Sambil makan, kami berunding apa mau ke puncak atau nggak. Disepakati bahwa kami akan muncak, biar sah naik gunungnya, hahaha.



entah itu gunung apa :p

kawah di bawah yang selalu berasap

ngeri fotonya

Jam 7.20, kami mengemasi ransum dan memulai lagi perjalanan ke tegal alun. Kami berempat belum ada yang tau jalan ke tegal alun, tapi mengamati beberapa kelompok yang melanjutkan perjalanan, kami mulai bisa "menggambar" jalur menuju tegal alun. Ada beberapa yang lewat jalur nan terjal, ada yang menghilang di balik rimbun pepohonan, sepertinya sih jalur yang lebih landai. Kamipun akhirnya memilih jalur yang landai aja, nyari aman aja lah kalau bawa amatiran mah :p

Setelah berjalan beberapa jauh, kami agak nggak yakin dengan jalan yang diambil. Tapi, begitu melihat akang-akang jualan tahu goreng, legalah kami, pasti jalur ini benar yang dilalui orang-orang yntuk mencapai tegal alun.

jual tahu di situ, bro!

"Kalau ke tegal alun lewat sini ya, kang?"

"Iya, ada dua jalur. Kalo lewat yang kanan, itu yang terjal. Kayak itu tuh yang pada naik.."

Mata kami mengikuti arah yang ditunjuk si akang, lalu terlihatlah jaket dan tas warna-warni di atas sana, naik dengan medan yang curamnya banget-banget. Aku bergidik, ngeri.

"Nah, kalau mau yang agak santai, ini lurus aja, terus belok kiri, situ yang landai. Tergantung kemampuan aja.."

Mas imam langsung menyarankan ambil jalan yang landai aja, mungkin karena nggak tega sama aku dan mbak titis, haahahaha. Kamipun segera pamitan melanjutkan perjalanan.

Jalur lumayan menanjak, sesekali landai. Kemudian, sampailah kami di jalur yang sudah dekat dengan tegal alun (karena papasan dengan banyak orang di sini). Jalur menanjak banget (sampai harus pegangan bebatuan dan tanaman sekitar) kombinasi tanah dan bebatuan. Aku menelan ludah dan membatin "buset kudu naik sini, nih?". Tapi terlalu sayang untuk kembali kan, jadiin aja dah!

salah satu jalur yang bikin jiper, haha

Di jalur yang curam dan nggak seberapa lebar ini, kita kudu sabar berbagi jalan dengan orang-orang yang akan turun, gantian. Tapi senang sih, setiap papasan, selalu saling kasih bantuan dan semangat.

"Aul, kepikiran nggak ntar turunnya gimana?" tanya mas imam tiba-tiba. Seperti bisa baca pikiranku aja nih orang, haha.

"Hahaha, kepikiran sih mas. Ah, tapi nggak usah dipikirin deh. Turun masalah nanti, yang penting sekarang naik dulu," kataku.

"Sip."

Jalur yang lumayan menyiksa itu kami tempuh selama sekitar 10-15 menit. Hingga akhirnya jalur melandai, diikuti pemandangan padang edelweis yang cantik...

tegal alun <3


bunga bunga yang cantik :3

Di situ kami langsung sibuk ngambil foto, foto pemandangan ataupun foto di sendiri alias selpi, hehe. Tak lama kemudian, iseng kami kumat. Gara-gara mas yogi bilang,

"Eh kayak yang di film india ya, joget-joget di rerimbunan gitu.."

Akhirnyalah kami bikin video lucu-lucuan, timbul tenggelam di antara rerimbunan edelweis, hahaha. Kocak abis :D

jurus tendangan angin!



tinggian bunga atau gunungnya?



gerak dikit, cekrek!

Setelah puas foto-foto dan istirahat, kamipun mulai mencari jalan untuk ke puncak. But, we really dont have idea about the track. Kalau lihat peta, semestinya ke arah kanan. Kamioun sempat bertanya ke rombongan yang lagi foto-foto, tapi mereka juga nggak tahu. Akhirnya kami coba-coba cari jalan sendiri. Mas yogi di depan, mencari jalan. Kami mulai memasuki rerimbunan edelweis, mayan juga edelweisnya setinggi aku (berarti nggak tinggi-tinggi amat ya, oke fine).

"Ada jaring laba-laba mas, berarti nggak ada yang lewat sini, nih," tutup mas yogi.

setelah nggak nemu jalan muncak, foto aja dah :p



Baiklah, sepertinya kami harus mengubur niat untuk muncak. Kami kembali ke jalan semula, melanjutkan perjalanan balik ke Pondok Saladah. Sebelum benar-benar turun, kami ketemu mas-mas yang lagi duduk-duduk. Mas yogi yang kayaknya masih penasaran pun menyempatkan bertanya.

"A' kalau puncaknya tuh sebelah mana sih?"

"Puncaknya papandayan?"

Kami mengangguk.

"Kalau puncak papandayan mah nanti ke hutan mati tuh turun, terus naik lagi, itu baru puncak 1. Dari puncak 1 turun, terus naik lagi, itu puncak 2."

Aku melongo, "Balik aja deh, yuk." >.<

sebelum balik, selpi dulu :D

Akhirnya kami lanjut perjalanan untuk turun kembali ke camp. Di jalur yang tadi, jalan turun terasa lebih berat daripada waktu naik. Waktu naik kan tantangannya berat badan sendiri, gimana ngangkatnya. Nah kalau turun, di jalur macam itu, gimana caranya ngelawan rasa takut jatuh, takut kepeleset, karena kalau sampai jatuh nggelundung tuh nggak ada lucu-lucunya. Serem sih yang ada.

Senada dengan waktu naik, kali inipun kami berpapasan dengan rombongan yang baru naik dari bawah. Dari atas, jalur ini nampak lebih curam. Hii.

Ada ibu muda yang nanyain kami, beliau terlihat kelelahan.

"Duh, ini nanjaknya masih berapa jauh lagi ya? Saya mau nanya sama yang cewek aja, deh."

Kami sempet ketawa. "Dikit lagi kok, Bu, beneran deh. Semangaat!" jawabku dan mbak titis.

Setelah sampai dasar jalur, aku nyeletuk, "Ibu tadi nggak mau nanyain kalian yang cowok biar standarnya sama kali, ya. Hahaha"

Celetukan itupun dibalas oleh mas imam dan mas yogi dengan...

"Ketauan tuh pasti sering diboongin laki-laki.."

"Iya, makanya nggak percaya sama cowok-cowok.."

Kamipun ngakak tak terkira.

sebelum lanjut perjalanan, jajan tahu dulu :D

Kami sampai di Pondok Saladah sekitar jam setengah 11 siang. Mbak titis langsung beberes mau mandi katanya. Sementara aku selonjoran sebentar di dalam tenda. Mas yogi dan mas imam dengan baik hatinya malah siap-siap masak untuk makan kami sebelum menempuh perjalanan pulang. Di sini saya merasa gagal sebagai wanita, hahaha.

sibuk, chef? :p

Chef alam bebas alias mas yogi segera menyiapkan peralatan guna memasak ransum kami yang tersisa. Menu kami siang itu adalah, kimbo semur daging, indomie rasa sop buntut, sekaleng ikan sarden, dan buah kelengkeng. Tadaaaaa, makan besaaaarrr!

makanan ini yang membuatku naik sekilo >.<

Kami sepakat untuk turun setelah sholat dhuhur. Rombongan Furqon cs sudah duluan turun sejak tadi, kami kan jadi pakai mobil yang sama untuk balik ke terminal, jadi biar cepet, Furqon nyaranin untuk turun lewat jalur hutan mati belok kiri, alias bukan turun via jalur kami naik ke Pondok Saladah ini. Katanya sih bisa hemat waktu banget.

Finally jam setengah 2 kami cabs dari Pondok Saladah menuju camp David lewat jalur yang disarankan sama Furqon. Tadi kabut udah sempat turun, kami berdoa biar hujan nggak turun dulu seperti sehari sebelumnya. Alhamdulillah cuaca cerah banget malahan. Kami kembali menyusuri jalur ke hutan mati.
foto dulu sebelum meninggalkan hutan mati nan eksotis

Sampai di hutan mati, kami mencari-cari arah, belok kirinya sebelah mana ya? Setelah foto-foto sebentar (hutan mati di siang hari ketika sepi orang tuh suasananya beda banget, jadi senduuu banget deh), kami mengamati beberapa pendaki yang kayaknya mau turun, mereka lewat ujung kiri hutan mati. Jadilah kami mengikuti para pendaki itu.

sebelum menikmati jalur terjal

Dan ternyataaa, jeng jeeeeengg, terjal bro jalurnya! Nggak sempet kepikiran foto-foto deh selama ngelewatin jalur terjal itu. Yang ada di pikiran cuma gimana caranya biar nggak kepeleset kerikil-kerikil dan bebatuan. Beberapa kali aku lebih pilih duduk dan merosot karena takut jatuh (semoga sih nggak ada yang kena reruntuhan kerikil di bawah, haha). Dari jalan itu, kami bisa lihat jalur yang kami lewati kemaren pas naik ke Pondok Saladah di kejauhan. Berarti memang bener, jalur terjal ini memangkas banyak waktu perjalanan jadi lebih singkat. Tapi ya nggak nyantai juga nih, harus ekstra hati-hati biar nggak tergelincir.


Jam menunjukkan pukul 15.45 ketika kami sampai di camp David dan ketemu sama Furqon cs. Dari sana, kami langsung naik mobil menuju terminal. Perjalanan cukup jauh, kami menghabiskan waktu perjalanan dengan tidur. Jam 5 sore kami tiba di terminal, sekaligus berpisah dengan Furqon cs yang masih mau nanti-nanti dulu pulangnya.

Kami berempat memilih rute yang berbeda, yaitu naik bis yang ke Cililitan, bukan Pasar Rebo, karena dinilai lebih dekat dengan tempat tinggal kami yang ada di Jakpus semua. Tidak ada yang bisa diceritakan di perjalanan pulang, karena kami berempat sukses tertidur pulas sampai Jakarta.

Jam setengah 10 malam, bis sampai di terminal Cililitan. Kembali kami memesan uber untuk mengantar kami ke kosan satu per satu.

Trip Papandayan berakhir tanggal 20 Maret, jam 10 malam, di Jakarta.


Terima kasih aku ucapkan untuk mbak titis yang sudah menemaniku di trip kali ini, menjadikanku bukan satu-satunya wanita di rombongan. Makasih ya mbak, bahkan kamu baru aja kelar diklat sehari sebelum berangkat, dan lagi agak nggak enak badan. But, we did it well, mbak! Kita berhasil naik Papandayan!





Terima kasih untuk mas imam yang sudah ikutan trip, menemani mas yogi ngejagain dua orang amatiran naik gunung ini, hehe. Terima kasih sudah paham banget sama aku dan mbak titis yang perlu sering berhenti karena ngos-ngosan capek, dan selalu membantu milihin jalan yang aman dan nyaman buat dilalui. 



Last but not least, terima kasih untuk mas yogi, yang sudah bikin trip ini, nyari info ini itu. Terima kasih sudah sangat multi tasking selama tiga hari ttrip, jadi porter, fotografer, juga koki. Sebagai anak gunung sejati, thanks sudah sabar ngetrip bareng aku dan mbak titis yang masih newbie, hahaha. Akhirnya kamu ke Papandayan juga ya, setelah satu tahun lebih berlalu sejak awal kamu pindah ke Jakarta. Congrats! :D





Terima kasih gaes telah menjadi teman seperjalanan yang hebat karena kesabaran, bantuan, dan lain sebagainya. Ini adalah perjalanan pertamaku naik gunung, dan aku melaluinya bersama partner yang tepat. Banyak kesan dan pelajaran yang bisa diambil selama perjalanan. Kalau ditanya kapok atau nggak naik gunung, Insya Allah sih nggak kapok. Tapi tetep kalau ditanya pilih gunung atau pantai, aku lebih suka ke pantai, hahaha.

Akhir kata,
Setiap destinasi pasti punya cerita, tapi partner seperjalanan-lah yang membuat cerita itu punya makna :)

Sampai jumpa lagi di petualangan selanjutnya :D




Bonus, siapa tahu berguna untuk yang nyari info trip ke Papandayan:
Bis ekonomi AC Jakarta-Garut/Garut-Jakarta Rp 52.000 per orang
Angkot dari terminal Guntursari ke pasar Cisurupan Rp 20.000 per orang plus biaya ngikat tas Rp 5.000 per orang
Mobil dari pasar Cisurupan ke camp David Rp 35.000 per orang (ternyata mobil ini bisa disewa juga dari camp David langsung ke terminal, cuma Rp 45.000 per orang!), ada juga yang pakai pick up dengan biaya yang lebih murah (makin banyak orangnya, makin murah tarifnya)
Uang masuk Papandayan Rp 10.000 per orang
#visitPapandayan

3 komentar:

  1. Pulau harapan fotonya mas asdaeng, itu sebenarnya judul yang tepat Pulau harapan atau pria yang diharapkan, Ul? hehe

    BalasHapus
  2. Aul, kangen jalan-jalan kaya gini lagi..

    BalasHapus