Kamis, 18 Oktober 2012

Alice Elize

0

Aku merasa asing memasuki tempat ini. Bukan sok suci, hanya saja, rasanya sudah lama sekali, sejak malam itu, aku sudah tidak pernah ke sini lagi. Mataku juga agak tidak terbiasa lagi dengan remang dan kelap-kelip semacam ini, pun musik yang berdentum kencang. Seperti ikut memukul-mukul jantungku rasanya. Semua perpaduan itu membuatku semakin tidak konsen untuk mencari sosok Alice.

Mungkin ada sekitar 15 menit aku mencari-cari, sampai akhirnya aku berhasil menemukan wanita itu. Tidak banyak berubah, batinku. Bahkan tidak berubah sama sekali sepertinya. Aku menghampiri mejanya, lalu segera saja dia menyambutku. Sambutan khas untukku, sejak 3 tahun yang lalu. Alice membentangkan kedua tangannya lebar-lebar dan memelukku erat. Ah tidak, sangat erat, aku sampai bisa merasakan seolah tubuhku mau ambruk ke belakang. Aku berusaha melepaskan pelukannya, dan aku bisa menangkap dengan jelas sorot mata keheranan yang dia berikan untukku. Biasanya, aku memang selalu memeluknya balik, mengelus rambutnya, dan mencium kedua pipinya. Tapi, itu sudah lama, sepertinya. 

Aku lalu duduk di depan kursinya. Aku mengamati setiap inci wajah Alice. Dia masih saja cantik, terlalu cantik untuk riasan-riasan yang kadang terlalu tebal itu. Matanya yang cokelat tua begitu serasi dengan hidung mancungnya. Lalu rambut ikal panjangnya membingkai sempurna wajah putih tirus dengan pipi yang merona. Melihat wajahnya saja sudah melahirkan kekaguman.

Kau bagaikan iblis, iblisku yg manis.

Kau hanya fantasi fetishku yg kini t’lah habis


"Kamu mau minum? yang kayak biasanya ya?", tanya Alice membuyarkan lamunanku, matanya mengerling nakal.
"Nggak, aku nggak minum.."
"Apa? Nggak minum? Nggak salah? Kamu sakit, ha?", sambil menganga dia menyentuh dahiku. Aroma alkohol menyeruak dari mulut mungilnya.
"Nggak, aku nggak sakit.. Udah, duduk lagi sana."
"Bentar, aku mau ambil minum..", ujarnya pendek sambil melenggang ke bar. Alice masih saja suka memakai pakaian sexy seperti ini. Pakaian yang membuatnya dilirik banyak pria normal. Badannya begitu semampai memang, dengan lekuk yang tidak jauh juga dari kata sempurna. Pantas lah aku pernah bertekuk lutut pada wanita ini, membangga-banggakannya pada semua mata, sementara aku sendiri menutup mataku.

Alice kembali ke tempatku. Dia menatapku lekat-lekat. Mata ini yang selalu membuatku rapuh, dulu. Setiap dia pulang dari kebiasaan menghilangnya. DIa selalu menatapku dengan cara seperti ini. Sampai aku luluh, sampai aku bisa memaklumi apa yang sudah dilakukannya berulang kali. Lagi dan lagi.

"Kamu berubah, Vic..", katanya.
"Aku nggak akan bilang nggak. Karena aku memang udah berubah. Aku bukan Vico yang dulu lagi.."
"Tapi, perasaanmu ke aku masih sama kan? Iya kan?"
"Maafin aku, Alice.. Tapi semua udah nggak sama lagi.."
"Bohong. Lalu kenapa kamu mau nerima ajakan aku ke sini?"
"Aku cuma mau nemuin kamu untuk yang pertama kali sejak kamu ngilang 6 bulan yang lalu. Dan mungkin, ini juga pertemuan terakhir kita. Aku cuma pengen tau kabar kamu, aku pengen tau kalo kamu bener-bener baik-baik aja.."
"Oke aku tau aku salah. Aku ngilang lagi, dan kali ini lama banget. Tapi masa iya secepet itu kamu lupain aku?"

Aku terdiam beberapa detik, berusaha mengingat berapa kali dia menghilang tiba-tiba, sejak 3 tahun yang lalu. Tidak terhitung. Tidak terhitung juga berapa kali aku memergokinya sedang mesra bersama lelaki lain, tapi, itulah, sepertinya selama 3 tahun itu aku buta.

"Kenapa diem?", nada bicaranya mulai meninggi.
"Sudahlah, aku nggak mau ungkit yang dulu-dulu. Lebih baik, setelah ini, kamu nggak usah nyari aku lagi.."
"Hah? Apa kamu bilang? Kamu nyuruh aku lepasin kamu tanpa ada alasannya? Aku butuh alasan, apapun itu. Alasan yang bisa aku ngerti. Aku cinta sama kamu, Vic.."
"Aku cuma lelah jadi Vico yang dulu. Jadi Vico yang selalu pulang pagi nemenin kamu clubbing. Vico yang suka mabuk-mabukan. Vico yang hidupnya nggak karu-karuan. Vico yang karena cintanya sama Alice, jadi membutakan matanya sendiri.."
"Jadi kamu nyalahin aku untuk itu semua?"
"Nggak, tentu aja nggak. Bagaimanapun semua itu aku jalani karena memang aku yang pilih. Dan sekarang, ketika aku pilih jalan yang lain, nggak ada yang bisa cegah aku, siapapun."
"Oh gitu. Oke, pergi aja sana. Tinggalin aku sendirian.", mata cokelatnya mulai merebak, akupun iba.
"Kita pulang ya. Aku anter kamu pulang. Berhenti lah sama kehidupanmu yang kayak gini. Kamu harus coba keluar, menikmati udara yang lain. Kamu melewatkan pagi yang cerah, siang, dan sore yang hangat. Yang ada buatmu cuma malam. Ada kehidupan yang jauh lebih indah di luar sana, Alice.."

"Ini aku, ini hidupku. Kalo kamu nggak suka, silahkan pergi!!", keras sekali Alice membentakku sambil menggebrak meja. Beberapa pasang mata melihat ke arah kami. Aku pun tidak ingin lebih lama lagi berada di tempat ini.

Aku segera mengeluarkan mobilku dari parkiran. Sepanjang perjalanan, aku mengingat kembali 3 tahun ku bersama Alice. Tahun-tahun yang manis, sekaligus bodoh.

Cintamu adalah masa lalu!
Cinta yg t’lah habis biarkan berlalu

 Tiba-tiba handphone-ku berdering.

"Halo? Ada apa Nay?"
"Kerjaanku baru selesai, Vic. Bisa jemput Naya? Motor Naya masih di bengkel.."
"Bisa. Aku jemput sekarang, ya. Tunggu, jangan ke mana-mana."
"Oke. Hati-hati yaa, jangan ngebut.. Byee", suaranya terdengar riang sekali, aku bahkan bisa membayangkan dia sedang tersenyum lebar saat ini.

Naya. Gadis manis yang sudah merebut hatiku. Gadis manis, yang 6 bulan lalu kuserempet motornya, sampai dia jatuh. Ajaibnya, dia juga yang akhirnya membawaku ke rumah sakit, karena setelah kejadian itu, aku pingsan di dalam mobil, aku mabuk. Naya, gadis yang memasuki hidupku, membuatnya jadi lebih baik dan indah daripada sebelumnya.

0 komentar:

Posting Komentar