Tampilkan postingan dengan label daretowrite. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label daretowrite. Tampilkan semua postingan

Selasa, 25 Maret 2014

t(c)inta

3

image from bumiaccilong.blogspot.com


Gerimis tidak mau berhenti sejak sore tadi. Sekarang, langit yang menyala jingga sudah meredup, menggelap pekat dengan gelayut mendung yang muram. Ini kafe favorit Nadia dan Wira sejak dulu. Kafe di mana mereka sering sekali menghabiskan waktu bersama. Entah untuk sekedar menghilangkan penat atau bolos kuliah Pak Dikta yang super duper membosankan. Spot favorit mereka ada di lantai atas, bagian balkon. Balkon ini terlindung dengan atap, tapi tidak ada dinding. Jadi angin bisa bebas menerobos keluar-masuk, pemandangan kota juga tidak terhalang apapun.

Hari ini, Nadia dan Wira tenggelam dalam diam yang sangat lama. Mereka sudah di balkon ini sejak jam 5 sore. Sekarang jam setengah 7, dan belum ada bibir yang berniat untuk membuka katup bisunya. Kemarin, mereka sudah membicarakan masalah itu, masalah yang menggiring Nadia dan Wira dalam kondisi seperti ini. Masalah yang datang dari masa lalu Wira, masa lalu yang nyatanya tidak pernah benar-benar hanya menjadi masa lalunya.

“Jadi, keputusanmu sudah bulat, Nadia?”, Tanya Wira membuka percakapan. Tak satupun dari mereka berdua yang berani saling menatap. Nadia melempar pandangannya ke depan, lurus, jauh.

“Tidak pernah sebulat ini, Wira.”

“Kamu yakin? Kamu rela lepasin aku buat dia?”

“Apa keputusan yang jauh lebih tepat dari keputusanku saat ini? Aku cuma nggak pengen mempersulitmu.”

Mereka terdiam lagi. Nadia menyeruput kopinya sedikit. Manis, tapi meninggalkan rasa pahit di akhirnya, seperti kisah mereka saat ini.

“Sudahlah, Wira. Apa yang kamu khawatirkan? Setelah ini, setelah kita berakhir, kamu sudah menemukan kita untuk versimu. Sementara aku, yang masih harus berjalan sendirian.”

“Aku khawatir sama kamu.”

Nadia tertawa.

“Wiraaa, Wira.. Kalau kamu memang khawatir, sejak awal kamu nggak akan menjadikan aku sekedar opsi.”

Dari ekor mata, Nadia tahu Wira sedang menatapnya.

“Aku sudah nggak cinta, aku sudah nggak punya perasaan apa-apa lagi sama dia, Nad. Aku juga sudah jelasin ke kamu kan, kenapa aku nggak bisa sepenuhnya ninggalin dia?”

“Iya, kamu sudah jelasin. Sangat  jelas. Tapi kamu juga perlu tahu. Ada beberapa hal di dunia ini yang bisa dimengerti, tapi tetap tidak bisa diterima. Aku bisa ngerti alasanmu, tapi aku nggak bisa nerima itu.”

Wira menangkupkan dua telapak tangan ke wajahnya sambil menunduk.  Sejenak kemudian dia menegakkan badannya, menyandar ke kursi.

“Maafin aku, Nad. Seandainya aku bisa ngulang waktu, seandainya aku dulu nggak bodoh. Pasti ini nggak perlu terjadi. Kita nggak perlu pisah dan berakhir kayak gini..”

Nadia menatap Wira dalam-dalam. Ia tahu ada penyesalan yang tergambar jelas di mata lelaki tercintanya itu. Separuh hatinya merasa iba, tapi separuhnya lagi marah dan terluka. Mati-matian Nadia menahan air mata, mati-matian ia menahan dirinya agar tidak terlihat lemah.

“Kamu bener-bener mau ngulang waktu, Wira? Iya?”
***
“Kenapa tiba-tiba nggak bisa?”

“Maaf ya, Nad, ini tiba-tiba banget mama sakit, dan aku harus nemenin ke dokter.”

“Mama? Tadi barusan mama kamu telpon Nadia, lho, nanyain kita jadi pergi ke Malang atau nggak, dan kayaknya suaranya baik-baik aja. Emang mama sakit apa?”

“Mmm, iya, ini ndadak banget. Barusan banget, mama belum bilang sakit apa, tapi minta dianterin berobat. Yaudah, aku pergi sekarang, ya. Maaf, ya, Sayang. Lain kali kita jalan-jalan deh. Sampein temen-temen ya, aku nggak jadi ikutan. Bye..”

Entah apa yang mendorong Nadia untuk ikut batal berangkat liburan. Dia malah mengikuti Wira diam-diam. Keluar stasiun, Nadia memanggil ojek, dan segera mengikuti mobil Wira. Sampai di satu stasiun lain yang jaraknya kurang lebih satu jam perjalanan, ia turun dan melihat Wira memarkir mobilnya.

Kemudian, pemandangan yang tidak akan pernah ia lupakan itu terpampang jelas di depan matanya. Wira memeluk perempuan dengan begitu eratnya, seakan ada kerinduan yang kian lama ditahan lalu membuncah karena pertemuan. Nadia hanya termangu, ketika mata Wira menatap matanya, tidak berkedip.
***
“How? Apa yang kamu lakukan?” tanya Nadia.

“Itu tadi… Apaan??”

“Kamu nggak mengubah apapun, kan, Wira? Yasudah..”

Nadia mengemasi tas mungil coklat tuanya di atas meja. Untuk terakhir kali, Nadia mengelus pundak Wira dan berpamitan.

“Entah apa aku masih bisa ngerasain cinta, setelah kamu nggak ada di sampingku lagi, Nad.”

“Pasti bisa! Tinta yang menyebabkan titik, bukan titik yang menyebabkan tinta,” jawab Nadia mantap.

“Maksudnya?”

“Cinta yang membuat aku dan kamu sempat menjadi kita. Maka ketika kita tidak lagi berarti aku dan kamu, cinta itu akan tetap ada. Kamu akan menemukan kita yang lain, tapi tanpa namaku di dalamnya.”

Gerimis belum berhenti, tapi cerita ini harus berakhir. Nadia hanya tak ingin semuanya menjadi rumit. Bukankah cinta harusnya sederhana?


Di langit, bulan sabit masih terlihat terang sekalipun mendung masih tipis-tipis menutupnya. Bulan sabit di kala gerimis, waktu di mana Nadia bisa menggunakan kemampuan istimewanya, memutar waktu.

Minggu, 29 September 2013

Mencintai Aku yang Lain

0

Aku mengenalnya pertama kali kurang lebih setengah tahun yang lalu. Saat itu, aku sedang menunggu bus, sepulang kuliah. Aku yang paling tidak betah menunggu, memang selalu menyiapkan sesuatu. Entah itu mp3 player atau novel, pasti bisa selalu ditemui di dalam tasku. Rasanya, mending aku ketinggalam bawa buku kuliah daripada harus nganggur ketika menunggu bus setiap hari. Bukannya aku tak bisa naik kendaraan pribadi, hanya saja, aku sudah memutuskan untuk naik kendaraan umum kalau ke kampus, sejak tahun lalu, saat di mana parkiran kampus sudah sangat penuh sesak dan seringkali mengharuskan aku parkir di fakultas lain.

Ah iya, jadi, sore itu, ketika aku sedang menunggu bus, tiba-tiba, ada seseorang yang menyentuh bahuku. Akupun menoleh, terlihatlah olehku sesosok laki-laki berbadan tinggi, berambut lurus dengan poni yang agak berantakan seperti habis dijamah angin karena berlari-lari. Dan sungguh aku tidak bisa melupakan matanya. Matanya indah sekali. Mata bulat, berwarna cokelat, dinaungi sepasang alis tebal dan tersembunyi di balik kaca matanya.

Dia menanyakan suatu alamat padaku, yang ternyata alamat itu juga dilewati oleh bus yang akan kutumpangi. Jadilah hari itu, untuk pertama kalinya, aku memasukkan novel ke dalam tas dan melepas earphone-ku ketika menunggu bus-ku datang.

Hari inipun sama. Aku dan dia sedang duduk di halte, menikmati gerimis dan menunggu kedatangan bus yang sama. Entahlah, waktu selalu terasa menyenangkan ketika bersamanya.

Sampai tiba-tiba gerimis berubah menjadi hujan deras, bus tak kunjung datang.

"Rin, kamu bawa payung?"

"Bawa, kenapa?"

"Tiba-tiba jadi pengen ngopi bentar di Circle K, ke sana yuk.. Kan nggak jauh dari sini", ajaknya. Aku mengangguk dan mengeluarkan payung berwarna biru dari dalam tas. Aku mengulurkan tangan, memberikan padanya.

"Mmm, bukannya kamu pernah cerita kalo kamu suka hujan, ya, Ar??"

Arman diam, dia membuka payung dan menggamit tanganku menembus hujan. Dengan payung.

***

Ada hari lain di mana matahari bersinar lebih terik dari biasanya. Maka penghuni halte ini berganti perilaku. Sama dengan ketika hari hujan, payung dibentangkan. Kertas, buku, map, apa saja dipakai untuk melindungi kepala dari sengatan sinar. Sinar dari matahari yang begitu berjasa.

Bus-ku belum datang, Arman juga belum nampak batang hidungnya. Ah, aku berbohong. Sebenarnya, bus-ku sudah datang, tadi, tapi aku sengaja tetap duduk di sini. Berharap Arman muncul dan langsung duduk di sampingku seperti biasanya. Tak ada sms-ku yang dibalas, entah apa yang dilakukannya sekarang. Mungkin ada kuliah pengganti, entahlah.

Tiba-tiba seseorang menyenggol lengan kananku. Refleks aku memelototinya, berani-beraninya, batinku.

Lalu lelaki itu membuka topinya sambil tertawa.

"Arman! Sejak kapan kamu di sini?", tanyaku kaget. Aku bahkan tidak melihatnya lewat di depanku.

"Hahahaa, serius amat sih baca novelnya.."

"Kamu sih, tumbenan juga pake topi segala. Kemarin-kemarin juga panas tapi kamu nggak pake topi.."

"Hari ini panas banget, Rinda.. Kamu ngerasa nggak sih?"

"Mmm, iya juga, sih.. Tapi kan.."

"Tapi apa?"

"Nggak jadi, hehehe.. Nggak papa.. Eh, itu bus-nya dateng! Yuk!"

Aku terdiam sambil mencoba mengingat-ingat. Seingatku, dia pernah bilang kalau dia cinta matahari, pemberi kehidupan, katanya.

***

Rumah megah ini begitu berbeda dengan rumahku yang hanya tipe standar. Ada dua pilar besar di kanan dan kirinya. Ada garasi mobil yang ukurannya hampir menyamai rumahku. Ada pagar yang sangat tinggi di depan rumah. Semua ini semakin membuatku bertanya-tanya, apa yang membuat Arman lebih memilih untuk naik bus tiap hari.

Hari ini aku diajak Arman berkunjung ke rumahnya. Aku kehabisan kata-kata. Seketika aku merasa ada jurang pemisah yang amat jauh antara aku dan Arman.

Kami mengobrol banyak hal di taman dekat ruang keluarganya.

Tapi tidak lama, sampai angin berhembus sedikit lebih kencang dari biasanya.

"Rin, masuk aja, yuk.. Anginnya kenceng.."

"Ah, nggak kenceng-kenceng banget, kok, Ar. Di sini aja nggakpapa.."

"Nggak ah, kita masuk aja. Yuk.."

"Bukannya kamu kalo duduk di bus selalu minta di pinggir jendela? Biar kamu kena angin? Kan kamu suka angin?"

Arman lagi-lagi hanya menggamit tanganku, mengajakku duduk di ruang keluarga.

***

"Aku cinta sama kamu", kata Arman padaku.

Hari itu, seperti biasa, kami sedang dalam perjalanan menuju halte. Aku terdiam beberapa menit. Bingung.

Sampai kami duduk di halte, aku baru berani membuka mulut dan bicara padanya. Syukurlah halte sedang sepi, mungkin karena ini jam nanggung, jadi halte ini sepi tanpa penghuni. Kecuali kami.

"Aku.. Aku takut, Ar.."

"Hah? Takut apa??"

"Kamu bilang cinta hujan, tapi kamu menggunakan payung saat berjalan di bawahnya.
Kamu bilang cinta matahari, tapi kamu mencari tempat teduh ketika ia bersinar.
Kamu bilang cinta angin, tapi kamu tutup jendelamu ketika ia berhembus.
Itulah mengapa aku takut ketika kamu bilang kamu cinta aku."

Arman terdiam, seperti tak paham.

"Aku takut, kamu tidak bisa mencintai sisi lainku yang tidak sesuai dengan harapanmu. Sama ketika hujan turun lebih deras daripada yang kamu mau. Sama ketika matahari bersinar lebih terik dari yang kamu perkirakan. Sama juga, ketika angin berhembus lebih dingin dari batas toleransimu."

Arman memandang ke dalam mataku. Dia tak berbicara sepatah katapun.

Aku mencoba tersenyum. Ada yang pedih di hati ini. Ketakutan. Ketakutan jika orang yang aku cintai, tidak bisa mencintai sisi lainku yang mungkin belum dia ketahui.

Aku menggenggam handphone-ku yang bergetar-getar sejak tadi. Aku tahu, pasti Dokter Ilham mengingatkan aku untuk pergi check-up hari ini.