image from bumiaccilong.blogspot.com |
Gerimis tidak mau berhenti sejak sore tadi. Sekarang, langit yang menyala jingga sudah meredup, menggelap pekat dengan gelayut mendung yang muram. Ini kafe favorit Nadia dan Wira sejak dulu. Kafe di mana mereka sering sekali menghabiskan waktu bersama. Entah untuk sekedar menghilangkan penat atau bolos kuliah Pak Dikta yang super duper membosankan. Spot favorit mereka ada di lantai atas, bagian balkon. Balkon ini terlindung dengan atap, tapi tidak ada dinding. Jadi angin bisa bebas menerobos keluar-masuk, pemandangan kota juga tidak terhalang apapun.
Hari ini, Nadia dan Wira tenggelam dalam
diam yang sangat lama. Mereka sudah di balkon ini sejak jam 5 sore. Sekarang
jam setengah 7, dan belum ada bibir yang berniat untuk membuka katup bisunya.
Kemarin, mereka sudah membicarakan masalah itu, masalah yang menggiring Nadia
dan Wira dalam kondisi seperti ini. Masalah yang datang dari masa lalu Wira,
masa lalu yang nyatanya tidak pernah benar-benar hanya menjadi masa lalunya.
“Jadi, keputusanmu sudah bulat, Nadia?”,
Tanya Wira membuka percakapan. Tak satupun dari mereka berdua yang berani
saling menatap. Nadia melempar pandangannya ke depan, lurus, jauh.
“Tidak pernah sebulat ini, Wira.”
“Kamu yakin? Kamu rela lepasin aku buat
dia?”
“Apa keputusan yang jauh lebih tepat
dari keputusanku saat ini? Aku cuma nggak pengen mempersulitmu.”
Mereka terdiam lagi. Nadia menyeruput
kopinya sedikit. Manis, tapi meninggalkan rasa pahit di akhirnya, seperti kisah
mereka saat ini.
“Sudahlah, Wira. Apa yang kamu
khawatirkan? Setelah ini, setelah kita berakhir, kamu sudah menemukan kita
untuk versimu. Sementara aku, yang masih harus berjalan sendirian.”
“Aku khawatir sama kamu.”
Nadia tertawa.
“Wiraaa, Wira.. Kalau kamu memang
khawatir, sejak awal kamu nggak akan menjadikan aku sekedar opsi.”
Dari ekor mata, Nadia tahu Wira sedang
menatapnya.
“Aku sudah nggak cinta, aku sudah nggak
punya perasaan apa-apa lagi sama dia, Nad. Aku juga sudah jelasin ke kamu kan,
kenapa aku nggak bisa sepenuhnya ninggalin dia?”
“Iya, kamu sudah jelasin. Sangat jelas. Tapi kamu juga perlu tahu. Ada
beberapa hal di dunia ini yang bisa dimengerti, tapi tetap tidak bisa diterima.
Aku bisa ngerti alasanmu, tapi aku nggak bisa nerima itu.”
Wira menangkupkan dua telapak tangan ke
wajahnya sambil menunduk. Sejenak
kemudian dia menegakkan badannya, menyandar ke kursi.
“Maafin aku, Nad. Seandainya aku bisa
ngulang waktu, seandainya aku dulu nggak bodoh. Pasti ini nggak perlu terjadi.
Kita nggak perlu pisah dan berakhir kayak gini..”
Nadia menatap Wira dalam-dalam. Ia tahu
ada penyesalan yang tergambar jelas di mata lelaki tercintanya itu. Separuh
hatinya merasa iba, tapi separuhnya lagi marah dan terluka. Mati-matian Nadia
menahan air mata, mati-matian ia menahan dirinya agar tidak terlihat lemah.
“Kamu bener-bener mau ngulang waktu,
Wira? Iya?”
***
“Kenapa tiba-tiba nggak bisa?”
“Maaf ya, Nad, ini tiba-tiba banget mama
sakit, dan aku harus nemenin ke dokter.”
“Mama? Tadi barusan mama kamu telpon Nadia,
lho, nanyain kita jadi pergi ke Malang atau nggak, dan kayaknya suaranya
baik-baik aja. Emang mama sakit apa?”
“Mmm, iya, ini ndadak banget. Barusan
banget, mama belum bilang sakit apa, tapi minta dianterin berobat. Yaudah, aku pergi sekarang, ya. Maaf, ya, Sayang. Lain kali kita jalan-jalan deh. Sampein
temen-temen ya, aku nggak jadi ikutan. Bye..”
Entah apa yang mendorong Nadia untuk
ikut batal berangkat liburan. Dia malah mengikuti Wira diam-diam. Keluar
stasiun, Nadia memanggil ojek, dan segera mengikuti mobil Wira. Sampai di satu
stasiun lain yang jaraknya kurang lebih satu jam perjalanan, ia turun dan
melihat Wira memarkir mobilnya.
Kemudian, pemandangan yang tidak akan
pernah ia lupakan itu terpampang jelas di depan matanya. Wira memeluk perempuan
dengan begitu eratnya, seakan ada kerinduan yang kian lama ditahan lalu
membuncah karena pertemuan. Nadia hanya termangu, ketika mata Wira menatap
matanya, tidak berkedip.
***
“How? Apa yang kamu lakukan?” tanya
Nadia.
“Itu tadi… Apaan??”
“Kamu nggak mengubah apapun, kan, Wira?
Yasudah..”
Nadia mengemasi tas mungil coklat tuanya
di atas meja. Untuk terakhir kali, Nadia mengelus pundak Wira dan berpamitan.
“Entah apa aku masih bisa ngerasain
cinta, setelah kamu nggak ada di sampingku lagi, Nad.”
“Pasti bisa! Tinta yang menyebabkan
titik, bukan titik yang menyebabkan tinta,” jawab Nadia mantap.
“Maksudnya?”
“Cinta yang membuat aku dan kamu sempat
menjadi kita. Maka ketika kita tidak lagi berarti aku dan kamu, cinta itu akan
tetap ada. Kamu akan menemukan kita yang lain, tapi tanpa namaku di dalamnya.”
Gerimis belum berhenti, tapi cerita ini
harus berakhir. Nadia hanya tak ingin semuanya menjadi rumit. Bukankah cinta
harusnya sederhana?
Di langit, bulan sabit masih terlihat
terang sekalipun mendung masih tipis-tipis menutupnya. Bulan sabit di kala
gerimis, waktu di mana Nadia bisa menggunakan kemampuan istimewanya, memutar
waktu.
Nice story...well done
BalasHapuscerita yang menarik :)
BalasHapusmakasih komennya, titis.. :D
Hapus