Jumat, 02 November 2012

Ini Bukan Aku -- Payphone

0

Aku terpaku, dari tadi kita membisu. Wajahmu, menunduk, memelas, sambil sesekali memandangi mataku. Aku sendiri masih bertanya-tanya dalam hati, bagaimana bisa?

*          *          *

"Arina, kamu ini cantik, tinggi, modal yang lebih dari cukup untuk bisa jadi seorang model. Besok, aku kenalin sama Dido, dia sahabat baik aku, papanya punya agency model.."

"Tapi, Ndre, aku.."

"Aaah, udah deh, sekarang kamu coba baju yang ini, atau yang ini? Eee, mbak, tolong cariin yang pas ya buat pacar saya..", kata Andre pada salah satu pegawai butik. Siang ini aku batal mengirimkan cerpen, Andre mengajakku berbelanja ke sebuah butik besar di kotaku. Sudah kukatakan aku tidak pernah pergi ke butik atau semacamnya, itu bukan gayaku. Tapi, entahlah, akhir-akhir ini, obsesinya menjadikan aku seorang model menjadi lebih menggebu seribu kali lipat. Aku cuma bisa menurut, aku tahu, Andre hanya berusaha membuatku menjadi lebih "wanita". Dan kurasa tidak ada salahnya aku mencoba untuk menjadi model. Iseng saja lah, lagipula aku sudah semester akhir, kesibukanku tidak terlalu banyak.

"Waaahh, kamu cantik banget, Yang.. Sumpah!", Andre menatapku lekat-lekat, matanya seperti mau keluar. Minidress biru muda dengan aksen pita ini memang bagus sekali. Ya, walaupun rasanya ingin sekali kutambahi panjang ujungnya beberapa centimeter.

"Habis ini, kita ke studio foto ya..", Andre memasukkan baju belanjaanku ke mobil, lalu berjalan menuju kursi depan.

"Ngapain?", tanyaku sambil membetulkan sabuk pegaman.

"Ya foto dong, Sayang.. Nanti kamu foto sama baju-baju tadi, biar besok bisa aku kasih ke Dido.."

"Aduh, tapi aku kan nggak bisa make-up-an, ntar fotonya jelek.."

"Gampanglah, nanti bisa minta tolong orang studionya kok. Kamu nggak usah khawatir, ya..", katanya sambil melihat ke arahku, seakan meminta persetujuan. Aku tersenyum dan mengangguk.


*          *          *

"Kamu nggak bisa ngertiin aku banget sih, Rin! Aku bilang nggak bisa ya nggak bisa!", bentak Andre padaku. Malam itu aku mendapat kabar bahwa dua hari lagi, aku akan show di luar kota. Sempat terlintas untuk mengajak Dinar, adikku, tapi dia sedang dalam minggu-minggu UAS. Akupun tak sampai hati minta ditemani mama yang sehari-hari sudah sibuk dengan urusan kerja dan rumah tangga. Aku bisa saja mengajak Nessa, sahabatku untuk ikut, tapi sekarangpun dia bekerja paruh waktu di kantor penerbitan. Aku tentu tak bisa seenaknya menyuruh dia membolos kerja. Pilihan terakhir jatuh pada Andre, toh dia yang biasanya mengurusi show-ku, di manapun itu. Tapi kali ini dia menolak. Untuk yang ke lima kalinya.

"Ya tapi kenapa? Aku belum pernah ke Jakarta sendirian. Show-ku yang kemarin-kemarin kamu selalu bisa, tapi kenapa akhir-akhir ini kamu selalu nolak, sih?", tanyaku penasaran.

"Kamu kan tahu, aku sekarang jadi manajernya Cherryl juga. Dia juga ada show di Jogjakarta. Makanya aku nggak bisa nemenin kamu!"

Deg! Cherryl, perempuan cantik luar biasa, yang bisa membuat lelaki manapun terpesona, tampaknya sudah menancapkan pesonanya di hati Andre. Aku sudah menangkap gelagat mencurigakan dari keduanya. Beberapa kali aku menemukan mereka berdua sedang makan malam di restoran dekat butik langgananku. Tadinya kupikir itu hanya sebatas hubungan kerja. Dan sebenarnya, sampai detik ini, aku masih berharap instingku salah.

"Oh gitu, jadi sekarang kamu lebih prioritasin Cherryl?"

"Aku capek ngomong sama kamu, Rin!"

"Aku nggak pernah minta jadi model. Aku nggak pernah suka dandan dari dulu. Aku emang nggak biasa pake baju-baju yang bagusnya selangit. Aku juga nggak pernah tahan diliatin orang, jadi pusat perhatian, jalan lenggak-lenggok di depan orang banyak. Tapi selama ini aku kesampingkan itu semua. Demi siapa? Demi kamu, Ndre. Aku seneng ngeliat kamu semangat pengen daftarin aku jadi model. Aku suka liat kamu yang seneng banget waktu aku beneran diterima jadi model. Kamu harus tahu, Ndre, selama aku jadi model, yang bikin aku bertahan ya cuma kamu..", panjang lebar aku memuntahkan semua yang aku rasakan. Di tempat ini, tidak ada yang bisa mendengarkan kami. Aku dan Andre sengaja memilih tempat duduk yang ada di balkon. Kami suka restoran ini, karena ada balkon, balkon tempat kami biasa makan beratapkan langit.

"Yaudahlah, nggak usah cengeng gitu. Pokoknya aku nggak bisa nemenin kamu, titik.", Andre tetap saja dingin. Entah apa yang ada di pikiran dan hatinya, dia sama sekali tidak tersentuh sedikitpun dengan apa yang aku bicarakan.

"Aku bukan cengeng, aku cuma.."

"Yaudah, kalo kamu nggak mau berangkat!", cepat sekali Andre memotong kata-kataku. Malam ini aku seperti makan malam bersama orang lain. Tiba-tiba handphone Andre berbunyi.

"Halo. Iya, udah kok. Tunggu ya, bye..", setengah tertawa dia menjawab panggilan itu. Aku bisa mendengarkan dengan jelas, perbedaan nada bicara yang baru saja dia tunjukkan.

"Cherryl?", tanyaku to the point.

"Bukan urusan kamu. Aku pulang duluan.", Andre memakai jaketnya kemudian meniggalkan aku sendiri. Aku memandangi punggungnya yang menjauh. Perlahan aku mendekati tepi balkon, dan melongok ke bawah. Itu Andre, dijemput Cherryl. Dan ya, aku melihat dengan jelas tangan Andre yang melingkar mesra di pinggang Cherryl. Ini sudah terlalu jelas, batinku. Lalu hujan pun turun, dari kedua mataku.

I'm at a payphone trying to call home
All of my change I spent on you
Where have the times gone, baby it's all wrong
Where are the plans we made for two?

*          *          *

"Jadi sebenarnya apa yang bikin kamu ke sini? Apa yang bikin kamu punya keberanian untuk menemui aku lagi?", tanyaku pada sesosok manusia yang sedari tadi mengatupkan bibirnya di depanku. Lelaki itu hanya diam. Mungkin dia merasa bersalah, atau malu?

"Maafin aku, Rin. Tapi, aku bener-bener masih sayang sama kamu.."

"Masih? Lalu ke mana kamu setelah malam itu? Pergi ke mana kamu setelah membentak-bentak aku? Jangan pikir aku nggak tahu.". Gigi-gigiku gemeletuk pelan, aku sedang menahan amarah yang begitu hebat. Amarah yang sudah lama hilang, sebelum pemicunya datang ke rumahku sore ini.

"Aku minta maaf, Rin. Aku mau kita ulang semuanya dari awal lagi.."

"Kenapa? Karena sekarang aku jadi penulis hebat? Karena karirku dulu sebagai model nggak secemerlang karirku pas jadi penulis seperti sekarang? Iya? Udahlah, Ndre, lebih baik kamu pulang. Nggak ada tempat buat kamu di sini. Apalagi di hati aku."

I gave you my love to borrow
But you just gave it away
You can't expect me to be fine

Sekali lagi Andre melihat ke dalam mataku, mencoba menemukan sisa-sisa cinta di sana. Tapi kupastikan dia tidak akan menemukan apapun. Semuanya sudah hilang. Perasaan mendalamku yang dia sia-siakan. Dan aku tidak cukup bodoh untuk mau bertahan untuknya. Akhirnya Andre pulang. Aku menarik napas panjang. Mimpi apa aku semalam sampai-sampai dia berani mendatangiku?

Aku melangkah menuju ruang kerja kecil di lantai 2. Kuambil laptopku di salah satu sisi rak. Selintas aku mengamati buku-bukuku yang sudah menjadi Best Seller. Aku kemudian menyadari kebodohanku selama ini. Bukan sepenuhnya salah Andre, aku yang mengiyakan keinginan Andre supaya aku menjadi model. Hanya saja, dia memperburuknya dengan pengkhianatan.

Tapi aku bersyukur, karena dari sanalah aku menemukan aku yang lama hilang. Aku dengan kecintaanku menulis di waktu senja. Aku dengan kecintaanku pada ketenangan. Aku dan kecintaanku terhadap susunan kata dan diksi, dan permainan perasaan lewat alfabet. Sampai akhirnya aku kembali lagi ke sini.

Aku membuka laptopku dan duduk di kursi. Sebentar aku mengamati diriku sendiri. Celana pendek, kaos oblong kedodoran. Ah, aku mencintai diriku. Dari balkon ini, aku bisa melihat langit yang kemerahan. Senja, aku datang. Jemariku pun mulai menari, gemulai bersama mimpi..

0 komentar:

Posting Komentar