Jumat, 25 Januari 2019

Besarnya Rasa Syukur

0



Pagi tadi, hujan turun di bawah langit abu-abu Jakarta. Rintik hujan yang menderas tercetak jelas di balik jendela. Baru sekitar dua mingguan aku pindah kos di tempat yang sekarang, pindah ke tempat yang jauh lebih baik daripada sebelumnya. Siapapun yang pernah tahu kos lamaku pasti nyaranin untuk segera pindah, karena ventilasi udaranya yang kurang memadai. Selain itu, aku merasa cukup nyaman dengan fasilitas yang sudah ada. Tapi beberapa bulan lalu aku sakit batuk-pilek sekitar satu bulan, dan itu yang bikin aku tergerak untuk pindah kosan. "Aku mau cari kos yang ada jendelanya," itu tekadku. Dan alhamdulillah, info adek OJT mempermudah aku menemukan calon tempat tinggal baru :)

Kembali di pagi tadi, saat aku memandang jendela dan merasakan angin semilir yang menelusup masuk lewat celah yang sengaja kubiarkan sedikit terbuka, tiba-tiba terbesit rasa syukur yang amat dalam. Sederhana saja, aku mensyukuri jendela kamarku. Lalu terpikir pula, "Kenapa coba nggak dari dulu aja aku ngekos di sini". Pagi dan hujan mungkin adalah perpaduan yang sempurna untuk berdialog sejenak dengan diri sendiri. Dialog yang diam-diam menghadirkan pemahaman dalam benak dan hati ini, bahwa...

Jika terlalu cepat menemukan, mungkin rasa syukurku tidak akan sebesar ini.. :)

Lalu ingatan melayang saat berbulan-bulan lalu, saat belum datang sakit batuk-pilek yang panjang itu. Belum begitu merasa butuh adanya ventilasi, adanya jendela kamar. Belum merasa butuh pentingnya sirkulasi udara yang baik, biar kalau sakit virusnya nggak muter-muter di dalam kamar terus. Mungkin, kalau saat itu aku sudah pindah di kos yang sekarang, rasa syukurku akan biasa-biasa saja. Jendela kaca ini nggak akan terasa seperti karunia, tapi sekedar dua bilah kaca untuk menikmati langit senja.

Rasa syukur sepertinya juga beriringan dengan keinginan atau kebutuhan. Bayangkan saja, es jeruk yang tadinya hanya berupa keinginan, ketika terbeli atau didapatkan, ya sudah, paling-paling hanya merasa senang sebagai konsekuensinya. Tapi coba saja ketika es jeruk itu datang ketika kita merasa amat haus, di tengah panas terik, ia telah menjelma jadi kebutuhan. Ketika es jeruk ada di depan kita, masya Allah, pasti setiap tegukan tidak lepas dari rasa syukur yang membuncah. 

Tepat waktu, dan selalu tepat apa yang kita butuh. Bukankah itu janji Allah terhadap umatNya? Menurut Allah, inilah saat yang tepat untuk pindah kos, dengan fasilitas yang pas sedang aku butuhkan juga. Terkesan lebay? Mungkin. Tapi, sekecil apapun hal di dunia ini bisa terjadi hanya karena jika ada izin Allah. Jangan sampai lupa itu.

Maka persoalan jodoh pun bisa dianalogikan serupa. Ketika telah menemukan orang yang tepat, jika dalam hati terbesit mengapa baru dipertemukan sekarang, maka jawabannya adalah..

Jika tidak dipertemukan di saat ini, di saat yang tepat, mungkin kamu tidak akan mensyukuri kehadirannya sebesar ini. Mungkin kamu tidak akan menghargainya sebaik ini. Mungkin kamu tidak akan bertekad menjaganya sehati-hati ini. Mungkin kamu tidak akan menyayanginya setulus ini :) 

0 komentar:

Posting Komentar