Kamis, 10 November 2011

Bukan Balerina Lagi :)

0



Sore itu hujan turun dengan derasnya. Langit masih menghitam, tidak ada tanda-tanda mentari sore memberikan keindahan senja yang biasa aku nikmati dari jendela kamar. Penuh sendu aku terdiam, memandangi jendela yang biasanya hangat kini berembun. Aku beralih ke rak pialaku. Masih ada di sana, di rak paling atas. Piala yang tidak akan pernah kulupakan seumur hidupku. Piala yang demikian kutunggu-tunggu. Piala yang demikian kudambakan. Tapi ironisnya, piala itu juga mengambil semua yang sudah kumiliki. Ingin sekali rasanya kuraih piala itu dan kulemparkan jauh-jauh.
Jauh dari pandangan ini, jauh dari sakit hatiku ketika melihatnya. Tapi apa daya, berdiri saja aku tak sanggup.

Penuh pedih aku memukul kursi rodaku. Seperti biasa air mataku menetes dengan sendirinya. Kamar ini bisu, hening. Sedang aku berusaha berontak dari apa yang sudah menimpaku. Kehilangan ini begitu berat dan aku belum sanggup menerimanya. Aku begitu mencintai balet. Dan aku juga demikian mencintai Rafa.

Tapi sekarang, yang bisa kulakukan setiap hari hanya terduduk di kursi roda ini. Setiap hari. Merepotkan orang lain. Aku benci diriku yang sekarang. Aku benci Lisa yang cuma bisa duduk diam. Aku rindu menjadi Lisa yang dulu. Aku rindu menari-nari diiringi musik klasik itu. Aku rindu dengan riuh kekaguman penonton ketika aku berada di atas panggung. Aku rindu mengenakan sepatu baletku yang sekarang cuma tergantung layu di belakang pintu. Aku rindu Rafa yang setia mengantar dan menjemputku tiap hari latihan. Aku rindu wangi buket bunganya di tiap akhir pertunjukanku. Aku rindu semuanya.

“Lisa, kamu kenapa sayang ?”, tiba-tiba mama masuk kamarku. Dan seperti biasa, beliau mengkhawatirkanku yang sering menangis sendirian akhir-akhir ini. Lalu akupun seperti tidak mengenali diriku yang sekarang. Aku seperti mati. Mungkin hatiku yang mati.

“Nggak apa kok ma.”, jawabku dingin. Aku sama sekali tidak tertarik membagi beban berat ini ke siapapun. Aku yang cacat ini sudah cukup merepotkan. Aku tidak ingin menambahinya dengan keluhan.

“Cerita aja sayang. Mama tahu ini semua berat buat kamu..”

“Aku nggak apa.”

Selama beberapa menit mama menungguiku di dalam kamar. Berharap aku akan bersedia membagi kesedihan. Tapi aku tak bergeming. Memutar kursi rodaku ke arah jendela. Akhirnya mama menyerah. Tidak dipaksanya aku bicara.

“Ya sudah, mama tunggu makan malem ya, tuh, tumben juga kakakmu udah pulang.. kita makan sama-sama..”

Aku hanya membalasnya dengan anggukan. Sementara air mataku berlomba dengan derasnya hujan.

* * *

Sampai suatu saat kedatangan seseorang membuat semuanya berubah. Namanya Rega, temanku sewaktu SMP. Aku tidak begitu denat dengannya. Bahkan aku mengusirnya ketika pertama kali datang ke rumah. Sungguh aku tidak bisa ramah padanya yang saat itu datang ke rumah bagaikan seorang penceramah. Seperti sok mengenalku. Sok dekat denganku.

Tapi usaha demi usahanya untuk meyakinkanku akhirnya membuat aku luluh.

“Kamu punya hidup yang indah, kamu cuma belum bisa ngeliatnya aja. Percaya sama aku.”

Itu yang suatu saat dia katakan ketika aku nyaris membanting pintu di kedatangannya yang entah ke berapa puluh kali sejak hari di mana aku mengusirnya dengan kasar. Pintu yang tadinya sudah akan kuhempaskan, tiba-tiba kucengkeram kuat lagi gagangnya. Hidup yang indah? Berulang kali frasa itu bergaung di benakku. Hidup yang bagaimana ? Dengan kedua kaki yang tidak bisa bekerja lagi ? Dengan segala ketidakmampuanku saat ini ? Aku memakinya berkali-kali saat itu. Tapi seperti biasa dia hanya tersenyum. Hari itu dia menatap mataku dalam-dalam, memintaku percaya padanya. Dan entah mengapa aku merasa damai karenanya.

* * *
Senja seperti tersenyum padaku dan Rega. Kami duduk manis sore ini. Berdua, di pinggir pantai. Beralaskan empuk dan hangatnya pasir. Mataku menatap jauh ke depan. Ke arah garis khatulistiwa yang menjadi batas laut dan langit yang sama-sama berwarna oranye saat ini. Aku melirik Rega yang duduk sedikit agak maju di samping kiriku. Rambut lurusnya dipermainkan angin. Mata damainya itu masih mengamati laut. Entah apa yang sedang terjadi padaku saat ini.

Semua kekecewaan seakan larut dan hilang.

Satu bulan yang lalu Rega mengajakku berkunjung ke salah satu panti yang menjadi tempat singgah mereka yang kekurangan fisik. Seperti aku, fisiknya. Namun tidak dengan semangat dan tekad kuatnya. Tidak dengan segala prestasi dan kemandiriannya. Aku merasa malu. Dan sejak hari itu aku memutuskan untuk berubah. Lisa harus bangkit. Bagaimanapun caranya.

Sampai Rega menemukan banyak tulisan di laptopku. Ya, aku memang suka menulis. Apapun itu. Tapi aku tidak pernah mempublikasikannya. Entah ide dari mana yang merasuki pikiran Rega saat itu, dia mencetak beberapa tulisanku, lalu mengikutsertakannya dalam lomba. Di luar dugaan, dua cerpenku memenangkan dua kategori. Dari sanalah semua bermula. Perjalanan panjangku menjadi seorang penulis. Hingga kemarin aku mengantongi sebuah kontrak untuk pembuatan novel. Novel perdanaku.

“Hei, ngelamunin apa sih ?”, tiba-tiba mata Rega menangkap mataku yang memandang jauh ke khatulistiwa. Rega telah duduk di hadapanku. Dengan wajah bersihnya. Aku masih tidak habis pikir, wajah ini yang dulu pernah nyaris kutampar. Ah, bodohnya.

“Hehee, nggak kok, nggak ngelamunin apa-apa.”, jawabku sambil tertawa kecil.

“Hmmm,, langitnya bagus ya ?”

“Iya”, sahutku singkat.

“Lisa, sekali lagi selamat ya..”

“Selamat buat apa ?”

“Ya kan sebentar lagi kamu bakal jadi novelis. Aku nggak sabar liat bukumu di rak best seller. Beneran, deh”, nada bicara Rega terdengar antusias.

“Salah”

“Maksudnya ?”
“Aku yang harusnya ngucapin selamat ke kamu”

“Kok bisa gitu ? Maksudnya gimana, Lis ?”

“Selamat, karena kamu sudah menepati janjimu. Selamat karena kamu berhasil meyakinkan aku. Selamat karena kamu memberi aku mata baru, untuk ngelihat indahnya hidup. Makasih ya..”

Mataku berkaca-kaca. Sosok di depanku ini. Dengan keteguhan dan kebaikan hatinya. Sumpah aku tidak ingin kehilangan dia.

Matahari merendah. Sore beranjak menjadi petang. Kelingking kami tertaut manis di pinggir pantai, di ujung senja yang hampir hilang. Hawa di sekitar kami mulai dingin. Tapi hatiku dan Rega tetap hangat.

0 komentar:

Posting Komentar