Senin, 31 Desember 2012

Hadiah Terindah dari Tuhan

0


Alana membuka pintu dan melihatku terbaring. Tebakanku benar, ekspresi wajahnya tidak pernah berubah. Mata yang sayu miliknya mengguratkan sendu yang semakin mendalam karena alis matanya membentuk garis yang menurun. Ekspresi khasnya jika melihat sesuatu yang membuatnya merasa iba dan khawatir. Ia membuka jaket warna merah mudanya. Jaket yang kuhadiahkan untuknya satu tahun yang lalu. Ia lalu mendekati tempat tidurku.

“Gimana rasanya? Sudah enakan?”, tanyanya sambil mengelus rambutku.
“Lumayan. Kok tumben kamu jam segini udah pulang?”
“Hari ini aku nggak ngajar, sayang..”, Alana kemudian membuka plastik putih berisi sekeranjang penuh buah-buahan. “Kamu mau yang mana?”, lanjutnya.
“Yang mana aja, asal kamu yang nyuapin..”, jawabku sambil nyengir. Alana hanya tertawa kecil, memamerkan lengkungan bibirnya yang semakin indah dengan lesung pipi di kedua sisinya. Seketika ingatanku seperti melayang ke tahunan yang lalu, ketika pertama kali aku melihat Alana tertawa, dan aku jadi langsung jatuh hati padanya.
“Eh, kenapa kamu nggak ngajar hari ini?”
“Hari ini kan mulai UAS, sayang, jadi nggak ngajar. Syukurlah, akhirnya aku bisa nemenin kamu..”, jawab Alana sambil mengupas apel, membelahnya menjadi beberapa bagian, lalu menyuapkannya padaku.
“Makanya, kamu jangan sampe kecapekan. Kan tahu sendiri, tiap kali kamu kecapekan dan makan nggak teratur, pasti typhus-mu kumat..”
“Hehe, iya, maaf ya..”
“Bandel, sih, kamunya.. Sejak awal aku khawatir kamu pilih jadi reporter. Aku tahu passion-mu di dunia jurnalistik, tapi kan bisa kamu pilih yang kerjanya di satu tempat aja, jadi editor misalnya.”
“Udah, tenang aja, aku nggak apa-apa, kok.. Jangan cemberut gitu, dong, sayang..”
“Hhhh, emang nggak pernah bisa marah ya, aku ini..”
“That’s why I love you, honey..”, kataku sambil meraih tangannya. Alana hanya menatapku dan tersenyum. Senyuman bidadari yang membuatku merasa jadi lelaki paling beruntung sedunia.

Jam menunjukkan pukul 9 malam. Alana kemudian berkemas.

“Selamat istirahat ya, sayang.. Besok aku ke sini lagi..”, kata Alana sambil mengelus rambutku lembut.

Aku memandanginya sampai Alana menghilang di balik pintu. Alana, perempuan sempurna yang secara ajaib bisa melabuhkan hatinya padaku. Siapapun yang mengetahui bahwa Alana itu kekasihku, pasti segera membelalakkan matanya, atau bahkan tertawa mengira bahwa aku bercanda. Yeah, aku bisa memaklumi mereka. Alana yang pintar, Alana yang cantik, Alana yang penyabar, Alana yang begitu baik dan disukai semua orang. Sementara aku, lelaki yang saking sukanya dengan jurnalistik, seringkali mengabaikan banyak hal, khususnya penampilan. Terlebih kisahku dengan Alana bukanlah kisah manis yang penuh dengan romantisme, sampai saat ini, aku masih saja merasa bahwa mencintai dan dicintai Alana adalah mimpi paling indah yang menjadi kenyataan.

And every time I think of it
I pinch myself 'cause
I don't believe it's true
That someone like you
Loves me too

Esoknya, Alana menepati janjinya. Pagi-pagi, dia sudah berada di kamarku, mengupaskan jeruk dan menyuapkan sarapanku. Selesai makan, aku minta jalan-jalan sebentar di taman rumah sakit. Alana membantuku bangun, dan berjalan menuju taman. Sampai di bawah pohon besar, Alana mengajakku duduk di bangku, kemudian membenarkan letak tiang infusku. Hawa pagi yang segar. Sudah tiga hari aku dirawat, mungkin besok aku baru boleh pulang.

“Sayang, kamu nggak kedinginan?”, Tanya Alana. Angin memang berhembus cukup kencang, sekalipun mentari pagi juga berusaha menghangatkan semesta.
“Nggak kok, kan ada di sebelahmu..”
“Aku serius, kamu nggak kedinginan? Kalo kedinginan, kita masuk lagi aja ke kamar kamu, ya?”
“Hahahaha, enggak kok, aku nggak kedinginan..”, jawabku. Namun tetap saja Alana berusaha menyelimutiku dengan jaket tebalnya.
“Na, aku boleh tanya sesuatu?”
“Boleh, mau tanya apa memangnya?”
“Kenapa kamu masih bertahan sama aku yang doyan sakit-sakitan kayak gini?”, tanyaku sambil menoleh ke arahnya. Aku melihat matanya mendelik, alisnya mengerut.
“Kok tanya gitu, sih?”
“Ini bukan ke dua atau tiga kalinya aku opname gara-gara typhus, udah sering banget. Kamu juga yang selalu ikut ngerawat aku. Apa kamu nggak capek? Apa nggak pernah terbersit sedikit di pikiran kamu untuk ngerasa lelah dan berpikir buat ninggalin aku?”
“Capek ya? Pernah sih, tapi….”
“Tapi apa?”, sahutku penasaran. Alana lalu tersenyum.
“Tapi, aku terus-terusan bertanya sama Tuhan, apa rasa lelah itu jadi pertanda kalau aku harusnya ninggalin kamu..”
“Lalu?”
“Lalu aku dapet jawabannya..”
“Apa?”
“Rasa lelah itu justru jadi pertanda kalau sesungguhnya aku nggak pernah beristirahat untuk selalu peduli sama kamu. Aku sayang sama kamu, dan aku nggak perlu alasan untuk itu. Aku nggak bisa menjanjikan waktu yang aku nggak tahu sampai kapan akhirnya. Aku nggak bisa menjanjikan perasaan yang bukan aku penguasanya. Aku Cuma memohon satu hal sama Tuhan..”
“Memohon apa?”
“Aku memohon supaya Tuhan nggak berhenti menjadikan aku perantara untuk kebahagiaan-kebahagiaan kecil yang diberikan Tuhan sama kamu..”

Perempuan di sebelahku ini memang bidadari yang dikirimkan Tuhan untukku. Aku kehabisan kata-kata mendengarkan jawabannya barusan. Aku hanya tersenyum, dan menggenggam tangannya erat.

Girl, I think that you're truly somethin'
And you're, you're every bit of a dream come true
With you baby, it never rains and it's no wonder
The sun always shines when I'm near you
It's just a blessing that I have found somebody like you

*                                                                      *                                                                      *
Siang itu mendung masih menggelayut di langit. Sementara hujan turun deras di wajah Alana. Setelan hitam-hitamnya masih belum terlepas. Napasnya masih tersengal-sengal, bahunya sesekali terlihat berguncang karena sesenggukan. Di tangannya yang bergetar, ada selembar surat.

Dear Alana-ku..

Mungkin ketika kamu membaca surat ini, aku sudah berada di alam yang berbeda. Sungguh aku tidak ingin melihatmu bersedih, apalagi menangis. Maafkan aku karena tidak pernah menurutimu untuk tidak menjadi seorang reporter. Maafkan aku yang selalu membuatmu khawatir karena pekerjaan yang menuntutku untuk kerapkali memforsir tenaga ini masih saja kugeluti. Maafkan aku.

Aku ingin kamu tahu bahwa aku cinta sama kamu. Mungkin aku sudah pernah bilang, tapi aku selalu ingin mengatakannya lagi dan lagi. Terimakasih untuk selalu peduli, merawat, menjaga, dan banyak hal yang terlalu banyak untuk aku sebutkan di sini.

Ketika aku menulis surat ini, ingatanku melayang ke 10 tahun yang lalu, waktu kita pertama kenal di SMA dulu. Sampai kita lulus, aku mengungkapkan perasaanku, lalu kamu kuliah di Inggris selama 4 tahun. Selama itu aku berusaha mencari penggantimu, seperti yang kamu sarankan, karena kamu tidak menjanjikan apapun untukku saat itu. Namun selama itu pula aku sampai pada kenyataan bahwa, aku tidak pernah ingin mencari orang lain selain kamu. Aku memutuskan untuk menunggu, dan entah dari mana datangnya, aku yakin kalau menunggumu pulang bukanlah sesuatu yang sia-sia pada akhirnya. Dan ternyata aku benar.

Terimakasih untuk segalanya, Alana. Tetaplah menjadi bidadari untuk banyak orang, karena sungguh aku percaya Tuhan akan selalu menjadikanmu salah satu perantaraNYA dalam memberi kebahagiaan untuk orang-orang di dekatmu. Dan sekali lagi, maafkan aku.

Selamat tinggal Alana..
                                                                       
                                                                                                            Yang mencintaimu,
                                                                                                           
                                                                                                            Evan

Alana menangis, air matanya tidak bisa berhenti mengalir. Ditatapnya selembar surat kabar di atas meja di samping tempat tidurnya. Seorang reporter meninggal dunia, dialah Evan. Evan sedang bertugas di suatu pulau terpencil, meneliti kebudayaan di sana, sampai typhus kembali menyerang sistem imunnya. Tapi ia mengabaikannya, hingga typhus itu menjalar ke liver, dan membuatnya tidak tertolong lagi.

Alana melangkah mendekati jendela. Hujan sudah berhenti, iapun menyeka airmata di ujung matanya. Ia menatap pelangi yang ada di langit, dan seperti mendapati Evan di sana. Alana menerawang jauh, ingatannya juga melayang ke tahun-tahun terakhir yang dilaluinya bersama Evan.

Girl, it's been a long, long time comin'
But I, I know that it's been worth the wait
It feels like springtime in winter
It feels like Christmas in June
It feels like heaven has opened up it's gates for me and you

And every time I close my eyes
I thank the lord that I've got you

Lagu everytime I close my eyes mengalun pelan dari radio yang belum dimatikannya sejak malam kemarin. Alana memejamkan matanya.

“Kamupun adalah hal terindah yang pernah dikirimkan Tuhan untukku, Evan..”

0 komentar:

Posting Komentar