Senin, 14 Desember 2015

Tempat Pulang Paling Nyaman

4

Jam di tanganku menunjukkan pukul tujuh malam.

“Satu jam lagi,” gumamku. Mataku menengok ke sekitar, Mama belum tampak. Dari tempatku duduk, terlihat dengan jelas suasana di luar, hujan deras. Hawa sendu makin menusuk saja tanpa bisa kulawan.

Aku menerawang, mencoba mengingat-ingat masa kecil, dimana segala sesuatunya masih sederhana. Pagi bangun, dimandikan Nenek, disuapi Mama, main-main sepanjang hari, hingga sore datang. Biasanya, jam setengah 5 sore aku sudah selesai mandi, lalu dengan bedak yang cemong di sana-sini, aku menunggu Mama pulang dari kantor. Kantornya tidak jauh, hanya selisih beberapa rumah saja dari rumahku. Kontraktor yang baru dibangun itu menjadi kantor pertama tempat Mama bekerja. Karena dekat, sering juga Mama menyempatkan pulang ketika jam istirahat, menyuapiku makan siang.

Masa kecil yang tidak bisa dikatakan ideal, tapi aku sangat bahagia. Setiap awal bulan, ketika Mama baru menerima gaji, kami selalu menghabiskan waktu berdua saja. Kalau kata orang-orang kekinian, sih, quality time. But anything you named it, aku selalu menikmati saat-saat itu bersama Mama, walau ritualnya tidak pernah berubah. Hari Minggu pagi di awal bulan, setelah Mama selesai mengerjakan pekerjaan rumah macam menyapu, mengepel, dan lain sebagainya, kami akan pergi ke mall kecil yang tidak begitu jauh dari rumah. Sesampainya di sana, aku akan dengan sangat hapal langsung menuju eskalator, dengan gandengan tangan Mama yang melekat erat. Aku tidak pernah mau digendong kalau naik eskalator, “Aku sudah besar, Ma,” kataku selalu. Mama menurutiku, ia memang tidak menggendongku, tapi ia akan mengangkat tubuhku jika sudah sampai ujung eskalator. “Mama takut kamu kejepit,” begitu katanya sambil tersenyum.

Di lantai dua mall, ada bagian permainan anak-anak. Helikopter, pesawat-pesawatan, kuda-kudaan, sampai robot-robotan besar juga ada. Semuanya dijalankan menggunakan koin, dan aku berani menaiki semuanya sendirian. Mama hanya bertugas membeli koin, dan mengangkatku untuk menaiki beberapa permainan yang terlalu tinggi. Sisanya, aku tertawa-tawa, sementara Mama mengawasi sambil sesekali berkata, “Hati-hati”.

Setelah puas bermain, Mama pasti membawaku ke restoran cepat saji. Di zaman itu, makan di resto cepat saji menjadi salah satu barang mewah yang tidak bisa dilakukan setiap hari, atau  kapanpun kami ingin. Jadi, hanya di awal bulan kami bisa makan di sini, ketika gaji Mama belum terkuras untuk membayar kebutuhan ini dan itu.

Ritual awal bulan itu begitu sederhana, tapi selalu bisa mengundang senyum ketika diingat.

“Hayo, ngapain kok senyum-senyum sendiri?” tegur Mama tiba-tiba.

“Lah? Mama udah selesai sholat-nya?” sahutku gelagapan.

“Udah barusan. Kamu udah bawa minum, belum?”

“Belum, Ma. Nanti aja sekalian beli makan malam.”

“Eh jangan, beli sekarang aja. Yuk, Mama aja yang beliin.”

Mama merangkulku, kami menuju salah satu minimarket yang tampak berjajar di sini.

“Kamu mau minum apa? Air mineral? Susu? Hmm?” tawarnya. Sejenak aku malah teringat masa kecilku lagi, di Minggu pagi, ketika kami pergi ke supermarket di dekat rumah. Aku bukan tipe anak kecil yang suka cerewet minta dibelikan macam-macam, kecuali kalau Mama sudah menawarkan beli sesuatu.

“Air mineral aja, Ma,” kataku. Mama mengambilkannya dan langsung menuju ke kasir. Aku mengikutinya dari belakang.

Akhirnya kami sampai juga di muka peron.

“Alia berangkat dulu ya, Ma,” pamitku sambil mencium tangan Mama dengan takzim. Tangan yang selalu terbuka lebar menyambutku pulang. Tangan yang selalu memelukku erat ketika saat-saat seperti ini datang.

Mama memelukku, “Hati-hati ya, Sayang. Baik-baik di sana, sholatnya dijaga,” kata-katanya terdengar lirih nyaris tak terdengar, tapi pelukannya sudah bicara banyak.

Aku menyerahkan tiketku pada petugas, lalu masuk ke ruang tunggu. Kereta menuju Jakarta akan tiba kurang lebih 30 menit lagi. Ruang tunggu ini berdinding kaca, jadi aku masih bisa melihat Mama di luar. Mama tak pernah pulang sebelum keretaku benar-benar datang, dan memastikan aku sudah duduk manis di dalam kereta. Ah iya, satu kebiasaan Mama adalah tak pernah lupa menanyakan siapa yang duduk di sebelahku. Ya, mungkin saja aku ketemu jodoh di dalam kereta, kan? Hahaha.

Tinggal jauh dari Mama adalah sesuatu yang tidak mudah. Kami pernah sama-sama menangis saling melepas, ketika aku harus bekerja di Jakarta, dan Mama harus tetap tinggal di Surabaya menjaga Nenek. Total 22 tahun aku hidup bersama Mama, dan kini kami harus tinggal berjauhan. Kau tahu bagaimana rasanya? Sulit, sangat sulit.

Tapi tentu tidak lebih sulit jika dibandingkan kondisi Mama menjadi single parent di usia yang masih sangat muda, 20-an. Membayangkannya saja aku tak sanggup, tapi Mama berhasil melewatinya dengan tangguh. Aku, adalah hasil karya nyata dari perjuangan Mama selama ini.

Maafkan jika jarak ini adalah sesuatu yang harus kupilih, kutempuh untuk membahagiakan Mama. Maafkan, jika rasanya sulit untuk Mama, untuk kita berdua. Bukankah hidup harus berjuang, Ma? Maka ini yang aku sebut dengan berjuang.

Ting tong ting tong

Diumumkan kepada para penumpang, Kereta Argo Anggrek Malam tujuan Jakarta akan masuk melalui jalur 1

Aku menatap jam tanganku, “Hmm, tepat waktu”.

Sekali lagi aku menoleh, memastikan Mama masih ada di luar. Dan benar saja, perempuan cantik berkerudung ungu itu masih ada di sana, dengan senyum yang sama tulusnya sejak bertahun-tahun yang lalu, berdiri sambil melambaikan tangan.

Kereta datang, lalu stasiun mulai sibuk. Pramuantar mengemasi kembali tas-tas penumpang yang menggunakan jasanya. Ibu-ibu dengan cekatan menggendong balita-balita yang sedari tadi berjalan kesana-kemari. Sementara di sebelahku, seorang pemuda mengucapkan selamat tinggal lewat handphone yang digenggamnya. Seketika stasiun ini dipenuhi hawa-hawa perpisahan di setiap sudutnya. Akupun bangkit dari kursi.

“Sampai ketemu tiga bulan lagi, Ma, anak gadismu ini merantau dulu,” batinku.

Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti Writing Project #DearMama yang diselenggarakan Nulisbuku.com dan Storial.co

4 komentar:

  1. membuatku terharu mbak. wow single fighter, bener2 pejuang ya mbak. barakallah sehat selalu mamanya mbak

    BalasHapus
    Balasan
    1. Mbak Aul juga masih single sih.
      temen saya Agnee juga masih single deh.
      #edisibermaksudbesanan

      Hapus
  2. Perkenalkan, saya dari tim kumpulbagi. Saya ingin tau, apakah kiranya anda berencana untuk mengoleksi files menggunakan hosting yang baru?
    Jika ya, silahkan kunjungi website ini www.kumpulbagi.com untuk info selengkapnya.

    Di sana anda bisa dengan bebas share dan mendowload foto-foto keluarga dan trip, music, video, filem dll dalam jumlah dan waktu yang tidak terbatas, setelah registrasi terlebih dahulu. Gratis :)

    BalasHapus