Sabtu, 10 Maret 2018

Sebuah Alasan

4

Related image
pict taken from dw.com

Faya dan Marsha turun dari mobil, membawa barang bawaan masing-masing dan langsung menuju resepsionis. Wira mengikuti keduanya, lalu duduk di sofa cokelat dekat jendela. Tak lama kemudian, kedua sahabat karib itu menghampiri Wira.

"Udah selesai check-in nya, kami mau ke kamar dulu. Kamu langsung pulang?" tanya Faya.

"Iya, mau langsung pulang. Sorry ya nggak bisa nemenin, kalau nggak karena ada acara 100 hari kakekku, aku udah ajak kalian keliling Bandung. Tapi kuakui pilihan hotel kalian tepat banget, dekat dari mana-mana. Kalau mau ke alun-alun, museum Asia Afrika, atau foto-foto di Braga, tinggal jalan dikit aja."

"No worries lah kalau pergi-pergi sama traveller macam Faya," kata Marsha sembari menyikut lengan Faya.

*
"Ah, weekend cepet banget berlalu Udah hari Minggu aja. Besok udah senin, huh. Mau kemana nih kita last day ini, Fay?"

"Ummm, ke museum Asia Afrika aja, gimana?"

"Boleh. Yuk."

Bandung bisa dibilang adalah kota kesayangan mereka berdua. Faya yang sering penat dengan hiruk pikuk Jakarta, telah biasa menghabiskan weekend nya di Ibu Kota Jawa Barat ini. Bahkan jika harus pergi sendiri saja, Faya tak keberatan, ia sudah beberapa kali solo travelling ke luar pulau, kalau hanya ke Bandung saja mah, keciiiil. Sedangkan Marsha, tidak akan pernah bisa melupakan tanah kelahirannya. Ia lahir dan sempat bersekolah di Bandung, sebelum kedua orangtuanya dipindahtugaskan ke Sumatera dan memutuskan untuk menetap di sana. Maka pertemuan Faya dan Marsha bukanlah suatu kebetulan, mereka bekerja di kantor yang sama, hanya dipisah beberapa ruangan saja. Dengan hobi yang nggak jauh berbeda, mereka cepat menjadi sahabat. Ah, ya, bukankah memang tak ada yang kebetulan di dunia ini? Semua sudah digariskan, manusianya saja yang tak tahu.

Setelah mengisi buku tamu, mereka mulai menjelajahi museum. Museum Asia Afrika ini mudah sekali ditemukan. Dari alun-alun, tinggal menyeberang dan berjalan kaki sebentar, sampailah di museum yang menyimpan sejarah Konferensi Asia Afrika bertahun-tahun silam. Museumnya pun tak seberapa besar, tapi cukup mampu memberikan gambaran betapa pentingnya penyelenggaraan KAA di masa itu.

Bandung hari itu amatlah cerah, tapi seperti ada mendung yang menggelayut di wajah Faya. Ada bimbang di hatinya. Tapi juga dirasanya tak mungkin untuk menahan pertanyaan-pertanyaan di benaknya lebih lama lagi.

Faya tengah berdiri di depan kotak kaca berisi alat pemutar piringan hitam.

"Masa sih kamu nggak suka sama Wira? Dia tuh baik, lho. Aku lihat kalian sering barengan juga, kan?"

"Kalau menurutku, si Wira ada perasaan deh sama kamu, Fay."

"Cie cieee yang beberapa hari ini diantar jemput sama Wira terus..."

"Eh Fay, Wira sama mbak Nanda tuh emang deket gitu ya? Apa karena emang mereka udah kenal lama?"

"Sebenernya kamu cocok banget lho Fay, sama si Wira"

Perkataan-perkataan Marsha seperti berdengung di telinga Faya. Perempuan berlesung pipi itu mengambil napas panjang, berusaha meredam sesak di dadanya.

"Sha.."

"Ya, Fay?" sahut Marsha sambil menghampiri Faya.

"Perasaan akhir-akhir ini kamu nggak pernah lagi nanya-nanya atau ngecengin aku sama Wira.."

Hening sejenak.

"Mmm, bukannya malah bagus? Kamu kan katanya nggak suka kalau aku cengin sama Wira. Iya kan?"

Faya tersenyum dan merapikan anak rambutnya ke belakang telinga.

"Betul. Kalau gitu, gimana kalau gantian aku yang cengin kamu sama Wira?"

"Maksudnya?" tanya Marsha tak paham.

Faya memandangi wajah teman karibnya itu. Belum lama memang mereka saling mengenal. Tapi cerita-cerita yang dibagi, rahasia-rahasia yang diungkap, membuat Faya merasa Marsha tak menyimpan apapun darinya. Seperti ia tak merahasiakan apapun pada Marsha. Tapi ternyata Faya salah.

Faya melangkahkan kakinya ke galeri foto hitam putih. Tersentak, teringat olehnya satu foto yang akhirnya membuat kepingan-kepingan puzzle itu tersusun rapih hanya dalam sedetik saja. Semua pertanyaan di benak Faya, terjawab sudah dalam satu gambar yang banyak berbicara.

"Sha, menurutmu, orang tuh bikin foto untuk tujuan apa ya?"

"Jelas untuk mengabadikan sesuatu, lah, Fay. Kamu aneh banget sih dari tadi ngomongnya. Ada apa?"

"Mengabadikan, ya? Berarti bisa jadi alat bukti ya?"

"Tau ah, Fay. Nggak jelas banget kamu hari ini. Maksud kamu apa sih? Soal Wira, foto, alat bukti. Ini kita lagi ngomongin apa sih sebenernya?" Marsha mulai kehilangan kesabaran.

Sekali lagi Faya menarik napas panjang.

"Sha, apa yang terjadi sama kamu dan Wira?"

"Mmmaksudmu? Aku sama Wira? Nggak ada. Nggak terjadi apa-apa."

"Sha, please. Aku mau kamu jujur. Sekali lagi aku tanya, ada apa dengan kamu dan Wira?" Faya lebih melembutkan suaranya. Hanya satu yang dia harapkan. Kejujuran.

Marsha tak berani menatap kedua mata Faya.

"Sha, kamu tahu kan, aku kenal baik sama adiknya Wira?"

Kartu As! Marsha sadar ia tak bisa berlari lagi.

"Maafin aku, Fay."

Air mata Faya merebak. Kuat-kuat ditahannya, pantang untuknya terlihat lemah di depan orang yang menyakiti hatinya.

"Kenapa sih? Kenapa tega nyembunyiin ini semua dari aku?"

"Maafin aku, Fay. Aku tahu kamu pasti jadi kayak gini karena gimanapun kamu sempet deket sama Wira.."

"No! Bukan itu, Marsha. Cetek banget kalau kamu pikir aku marah karena kamu yang akan jadi calon istrinya Wira. Bukan itu."

Faya menata napasnya. Kedua sahabat itu berjalan beriringan, tanpa kata yang terucap dari bibir keduanya. Sampai di ruang konferensi, jajaran kursi berwarna merah menyambut mereka.

"Kenapa sih, kamu begitu rapi nyembunyiin semuanya? Kenapa kamu sempet-sempetnya ngecengin aku sama Wira, sedangkan di saat yang sama kamu yang justru lagi deket sama dia? Kenapa kamu kurang kerjaan banget bikin aku ngerasa kalau jangan-jangan Wira itu suka sama aku? Kenapa kamu bilang "nggak" waktu kutanya apa kamu deket sama Wira?"

Marsha terdiam.

"Kenapa, Sha? Karena kamu pengen aku nggak curiga waktu kamu tanya-tanya soal Wira? Iya?"

"Maafin aku, Fay."

"Kamu lihat barisan kursi ini, Sha. Orang yang duduk di belakang, mungkin nggak begitu tertarik dengan apa yang ada di panggung sana. Orang yang duduk di depan, mungkin pengen lihat dengan lebih jelas. Orang yang duduk di sebelah kita, bisa jadi karena terpaksa aja, nggak ada tempat lain yang kosong," Faya berkata panjang lebar sambil menerawang ke arah depan, ke arah puluhan bendera Negara yang tergantung di sebelah gong besar.

"Manusia punya kepentingannya masing-masing, sampai kadang nggak peduli sama perasaan manusia lainnya. Sekarang aku ngerti, kepentinganmu itu sebenernya cuma Wira. Bersahabat denganku itu cuma alatnya," lanjut Faya.

Beberapa menit mereka hanya terdiam. Faya yang masih tak habis pikir, Marsha yang tak tahu harus berkata apa lagi setelah semua rahasianya terbongkar.

"Adik Wira yang kasih tau aku soal semuanya. Termasuk kenapa aku nggak masuk daftar sahabat yang diundang di acara kalian berdua waktu itu."

Faya menggamit tasnya dan berdiri.

"Inilah kenapa aku ajak kamu ke museum, Sha. Biar kamu dan Wira cukup jadi sejarah aku aja. Orang-orang yang ada di masa lalu aku, yang mungkin nggak akan aku lupakan, tapi akan aku jadikan pelajaran."

Faya keluar museum dengan hati lega. Bebannya hilang separuh. Separuhnya lagi, biar waktu yang membantunya untuk luruh.

Sebelum benar-benar melewati pintu keluar, dilihatnya sekali lagi Marsha yang masih terduduk di kursi.

"Maafin aku juga, Sha. Tapi setiap orang berhak melakukan apapun untuk kedamaian hatinya masing-masing, selama nggak merugikan orang lain. Maafin aku harus pergi."

***
Sore di Taman Ismail Marzuki itu terasa panjang ketika Erick menamatkan cerita Faya.

"Karena itulah, tetaplah menjadi orang asing buat saya."

Erick terdiam. Permintaan macam apa ini? Bagaimana ia bisa mendekati Faya, kalau Faya memintanya untuk tetap jadi orang asing baginya.

"Atau..."

"Atau apa, Fay?" Erick seperti mendengar harapan.

"Atau anda bisa buktikan bahwa satu-satunya kepentingan anda itu adalah saya, bukan yang lain."

4 komentar:

  1. Eaa.. Faya kelewat baper ga sih?

    BalasHapus
    Balasan
    1. sebenernya Faya bukan baper, tapi lebih ke kecewa sama Marsha yang bohong ke dia.. heheheh

      Hapus
  2. suka ma ceritanya. pengen baca elengkapya, semoga aja bisa :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. makasih sudah baca.. kalau mau liat cerita selengkapnya, bisa lihat di akun storialku https://www.storial.co/book/bandara-dan-tempat-singgah-lainnya/ .. selamat membaca :D

      Hapus