Senin, 26 Maret 2018

Pembicaraan tentang Kanaya

0

Image result for galeri nasional indonesia
pict from betraveler.wordpress.com

Matahari belum bersinar begitu terik ketika Haikal memarkir motornya. Dibukanya helm, kemudian dirapikannya masker dan kedua sarung tangannya di dalam jok. Haikal memutar badan, dipandangi sejenak Gedung A Galeri Nasional Indonesia yang sekarang hanya berjarak beberapa puluh meter saja dari tempatnya berdiri. Dulu setiap ada pameran, Haikal tak pernah absen datang ke sini. Tapi itu sudah lama, sebelum komunitas sepeda mengambil jatah waktunya mengagumi karya seni di Galeri ini.

Haikal melangkah santai menuju pintu masuk. Pukul sembilan, harusnya sudah buka, sih, gumamnya dalam hati. Benar saja, sudah ada petugas di bagian pendaftaran. Seperti biasa, acara di sini selalu gratis, ia hanya diminta untuk mengisi buku tamu dan menitipkan barang-barang yang tidak diperlukan. Hari ini, bukan karya seni yang membawa langkah Haikal kemari, tapi ada satu dan lain hal yang harus ia bicarakan dengan sahabatnya. Haikal menarik napas panjang, seperti mencoba melepaskan sesuatu, atau sekedar mencoba meyakinkan dirinya sendiri?

Galeri Nasional Indonesia ini terdiri dari 3 bagian bangunan. Gedung A, yang paling besar, nampak seperti bangunan utama, letaknya di tengah-tengah. Kemudian, di samping kiri adalah gedung B dan gedung C, bersebelahan. Di bagian belakang, adalah gedung D, cukup luas jika dibandingkan dengan gedung C dan D yang sebenarnya lebih cocok disebut ruangan, karena ukurannya yang tak seberapa besar.

Hari ini ada pameran untuk komunitas-komunitas seni yang ada di Jakarta. Otomatis karya-karya yang dipamerkan adalah milik anggota komunitas-komunitas itu yang sebelumnya sudah diseleksi terlebih dahulu oleh panitia. Dan seperti yang sudah bisa Haikal tebak, Vero berhasil lulus seleksinya.

"Vero!" kencang Haikal menepuk bahu sahabatnya.

"Wah, datang juga lu, bro!" raut wajah Vero tak bisa menyembunyikan kegembiraan. Senang sahabatnya mau datang dan berbagi rasa bangga dengannya.

"Datang lah, kapan sih gua pernah langgar janji sama lu? Hahaha. Eh, mana nih, maha karya lu?"

"Hehe, sini sini gua tunjukin."

Dua sahabat itu berjalan beriringan. Haikal memperhatikan lukisan-lukisan yang berjajar di dinding. Di bawah masing-masing lukisan, tertera judul dan nama pembuatnya. Haikal jadi penasaran, lukisan seperti apa yang dibuat Vero. Sambil berjalan, Haikal teringat tujuan utamanya ke tempat ini.

"Ver, lu masih pengen ketemu lagi sama Kanaya?"

Tiba-tiba Vero menghentikan langkahnya, kaget. Sudah beberapa minggu berlalu sejak pembicaraan tentang Kanaya tak pernah lagi dibahas. Lalu tak ada angin tak ada hujan, Haikal menyebut lagi nama itu. Nama yang punya kesan tersendiri untuk Vero.

"Kenapa emangnya?"

"Gapapa. Lu udah nemu cara belum untuk ketemu dia lagi?"

"Belum, Kal," Vero menunduk sebentar dan mulai berjalan lagi.

"Gua mau bantuin lu."

"Serius lu, Kal?" mata Vero terbelalak.

"Iye, tapi jangan seneng dulu. Ada syaratnya. Syaratnya tuh, lu ha--"

"Yaelah, syarat apaan sih? Lu ama temen baik sendiri kok gitu amat. Pelit."

"Setdah! Jangan suudzon dulu. Ini syaratnya bukan buat gua, tapi bu--"

"Hah? Kanaya ngajuin syarat apaan?" sergah Vero tak sabar.

"Ver, lu jangan asal motong omongan gua melulu dong. Mau denger nggak sih sebenernya?"

"Hehe, sori, Kal. Gua penasaran."

"Syaratnya, lu harus sabar."

"Sabar? Itu doang?"

"Bukan 'doang', Ver. Gua serius dengan kata-kata gua, lu harus sabar. Lu harus mulai semua dari awal, dari nol banget. Lu harus memulai semuanya sebagai teman. Lu lupain dulu kalau lu ngerasa tertarik sama Kanaya. Posisikan lu sebagai teman aja, teman yang ingin kenal sama dia, nggak lebih."

Vero berhenti melangkah, dibentangkannya tangan kanannya ke sebuah lukisan.

"Ini, hasil karya gua, Kal," katanya bangga.

Di hadapan mereka, nampak lukisan kampung nelayan. Rumah-rumah di tepi laut, pijakan-pijakan kayu, serta cahaya matahari yang membuat permukaan air laut berkilat-kilat semacam kristal. Ada dua nelayan di dua kapal yang berbeda. Nelayan pertama sedang membuang sauh, sedangkan nelayan kedua nampak akan pergi melaut. Haikal memandangi lukisan itu lekat-lekat. Sejurus kemudian, dia malah bertanya.

"Lu yang mana, Ver?"

"Kenapa lu bisa tau kalau salah satu nelayan itu ngegambarin gua?" tukasnya cepat, malah balik bertanya. Haikal tertawa.

"Heh, kita nggak baru sehari dua hari kenal. Udah cepet jawab, lu yang mana?"

"Gua yang pegang sauh, mau nurunin sauh."

"Oooh, udah capek berlayar rupanya, pak nelayan?" ditinjunya pelan bahu Vero.

"Gua mau nyari tempat berlabuh, Kal, bukan lagi sekedar tempat bersandar."

"Ada banyak hal yang terjadi sampai bikin Kanaya susah banget percaya sama orang baru. Itu juga yang bikin dia selalu abai sama orang-orang yang bilang tertarik sama dia walau baru beberapa hari kenal."

Vero mengangguk-anggukkan kepalanya tanda mengerti. Tapi jadi ada satu hal yang mengganggu pikirannya. Tiba-tiba Haikal berjalan menuju satu lukisan abstrak di dinding seberang lukisan Vero. Dipandanginya lukisan itu lamat-lamat.

"Lu lagi nyoba ngartiin lukisan ini, Kal?" tanya Vero.

"Kagak. Gua lagi mikir, bahkan lukisan semrawut gini, pasti punya arti. Pelukisnya pasti punya maksud dan tujuan nih ngelukis kayak ginian," kata Haikal dengan mimik serius.

"Semrawut lu bilang? Sembarangan lu, Kal!"

Haikal nyengir. Sadar kata-katanya tadi bisa berbahaya kalau didengar si pembuat lukisan.

"Eh, perasaan tadi di awal-awal, lu bilang mau bantuin gua. Lu mau bantuin apaan, Kal?"

"Lah, kan gua udah bantuin kasih tau kalau lu harus sabar. Itu tips deketin Kanaya, lho. Gimana sih, lu," jawab Haikal sambil membungkuk mengamati satu karya tiga dimensi. Patung, lagi-lagi bentuk abstrak, seabstrak dirinya.

"Cuman itu? Lu nggak pengen ketemuin gua sama Kanaya, gitu?"

Haikal menegakkan badannya lagi dan menatap Vero.

"Kanaya suka datang ke sini. Kalau lu beruntung, lu akan ketemu dia hari ini. Gua bilang ke dia, ada pameran bagus di Galeri Nasional. Lu pantengin tuh semua pengunjung, jangan sampe ada yang kelewatan. Kalau perlu, lu tukeran tempat aja sama yang jaga buku tamu di depan! Hahahaha."

"Sialan lu!"

Keduanya tergelak, tapi tak lama. Banyak pengunjung yang kemudian menatap ke arah mereka berdua. Berisik.

"Kal, sedekat itu, dan se-ngerti itu lu sama Kanaya. Kenapa nggak lu gebet aja sendiri sih, si Kanaya?"

Haikal menghela napas, mengulur waktu mencari kata-kata yang tepat.

"Gua nggak bisa sama Kanaya," hanya itu yang muncul dari mulut Haikal.

"Kenapa?" tanya Vero.

Haikal terdiam. Diingatnya peristiwa dua tahun yang lalu. Peristiwa yang membuat Haikal yakin, bahwa pada suatu titik, keberadaannya hanya akan menjadi air mata untuk Kanaya.

Peristiwa yang selalu diingat Haikal, dan akan ia tutup rapat-rapat sebisanya.

0 komentar:

Posting Komentar