Rabu, 18 April 2012

Nyanyi dalam Diam

0

Secangkir teh sore ini, menemani hangatnya senja di hadapan kita. Matahari mulai turun, tapi entah degupan jantung kita. Rasanya sudah sejak lama aku lupa rasanya duduk berdua seperti ini. Aku bahkan tidak bisa menahan diriku untuk tidak tersenyum. Ini bukan di tepi pantai yang sunsetnya indah, dengan angin sepoi dan beberapa batang lilin yang meromantiskan suasana. Ini hanya teras rumahku. Dan di sebelah tanganmu hanya gitar butut yang demikian kau sayangi, gitar pertama warisan dari ayahmu. Gitar butut, bukan piano yang elegan. Tapi aku merasa segalanya amat sangat berharga.


Sedari tadi kita terdiam, kau tahu kan? Kau sadar kan? Sesekali menyeruput teh hangat buatanku yang entah bagaimana rasanya, aku sendiri tak berani menyeruputnya. Aku terlalu terkejut melihatmu, dengan satu simpul senyum menggelendot di kusen pintu. Benar, ini sudah hampir limabelas menit dan tidak sepatah katapun keluar dari mulutmu, mulutku juga. Kita terpana dalam diam. Tapi, ah, aku ingat, bukankah dulu seringkali kita berbicara dengan cara seperti ini? Iya. Aku ingat sekarang. Aku memperhatikan semua gerak-gerikmu, dan akhirnya aku paham. Segala ungkapan yang memang lama sudah tidak bisa kubaca darimu.

Kamu tidak perlu mengatakan kamu rindu. Aku sudah melihatnya dengan jelas dari caramu menatapku. Ada yang berbeda, sungguh. Sekalipun aku tidak bisa menjelaskannya padamu, di mana letak perbedaan itu. Pokoknya aku tahu saja. Berkali-kali kamu menengok arlojimu. Tenanglah, aku tahu kamu rindu, kuamini doa di hatimu, biar waktu ini tidak begitu cepat berlalu.

Kamu juga tidak perlu mengatakan kamu cinta. Aku sudah tahu, lewat simpulan senyum setiap kita bertemu. Lebih tepatnya, senyum yang tidak pernah aku tahu alasannya. Otomatisasi yang membuatku menyadari ada kutub magnetku yang menyentuh kutubmu. Jadi selalu begitu, ketika kedua mata ini bertemu, sepertinya ada yang kita bicarakan, kemudian bibir ini seperti saling sepakat untuk tersenyum. Bisa menjelaskannya secara ilmiah? Aku tidak bisa, mungkin kamu juga. Tapi cinta bisa.

"Aku pulang dulu..", akhirnya kamu bersuara. Kalimat pertama yang kamu ucapkan sepanjang sore ini. Aku cuma memandangmu, seakan ingin berkata bahwa ini masih terlalu singkat. Lalu seketika itu juga, kamu tidak jadi melangkah, kembali ke dudukanmu semula.

"Gimana kalo kita nyanyi dulu aja?", tiba-tiba kamu berkata demikian dan mengacak rambutku. Aku tertawa kegirangan, tapi tetap dalam sunyi, hanya mulutku yang bergerak.


Rasakan resahku, dan buat aku tersenyum...


Petikan gitar dan suaramu serasi sekali. Aku hanya melengkapinya dengan senyum. Kamu memang bisa merasakan resahku, kamu juga membuatku tersenyum. Tapi sayang, mungkin aku tidak akan pernah bisa menyandingkan suaraku dalam lagu itu, dan dalam lagu lainnya juga. Tidak bisa. Tapi mencintaimu aku bisa.

0 komentar:

Posting Komentar