Selasa, 06 Agustus 2013

Tahu Diri

0

"Selamat ya, Sofiii.. Hasil risetmu bikin klien kita puas banget.."
"Syukurlaah, moga-moga lembaga ini bisa makin berkembang lagi, ya, Rin.. Lagipula, ini kan juga hasil kerja bersama, bukan cuma aku.."
"Tapi kan kamu penanggungjawabnya, sekali lagi selamat yaa.."

Siang itu kantor terlihat dipenuhi hawa bahagia. Yah, mungkin memang keberhasilan riset tim-ku menjadi salah satu penyebabnya. Aku sudah cukup lama bekerja di lembaga riset ini, bulan depan genap 5 tahun. Selama jangka waktu itu, aku turut dalam banyak riset yang kebanyakan berhasil sukses dan sangat memuaskan klien. Spesialisasiku di riset sumber daya manusia, sesuai dengan apa yang serius kupelajari semasa kuliah.

Kawan-kawan seperjuangan seperti tidak lelahnya memberi ucapan selamat dan menyalamiku. Ah, aku benar-benar tidak bisa menutupi rasa bahagiaku juga. Senyumku terkembang sejak tadi pagi.

***

"Selamat pagi, perkenalkan, saya Rendi Suryagani, mulai hari ini, saya akan menjadi kepala divisi sumber daya manusia.."

Aku merasakan kakiku tidak lagi berpijak di bumi. Kalau ini bukan di kantor, mungkin aku sudah segera pergi.

Aku tidak lagi bisa berkonsentrasi dengan pekerjaanku. Semuanya terasa campur aduk. Rendi, pekerjaanku, hal-hal yang aku cintai di lembaga ini. Masa lalu seakan berputar-putar di kepalaku, menciptakan fragmen-fragmen yang seakan ditayangkan kembali di depan mataku. Ya Tuhan, kenapa harus Rendi?

Aku bersyukur ketika jam menunjukkan pukul 5 sore. Waktunya pulang.

"Sofi! Tunggu!"

Seseorang memanggilku dan aku sama sekali tidak asing dengan suaranya. Kalau dia bukan atasanku, aku bisa saja pergi, pura-pura tidak mendengarnya.

"Iya, Pak. Ada apa?"

"Kenapa panggil 'pak' , sih? Panggil Rendi aja. Oh iya, mau aku anter pulang?"

"Tidak usah, Pak. Terimakasih. Saya bisa pulang sendiri."

"Lho? Sejak kapan kamu bisa naik motor?"

"Sejak lama."

"Astagaa.. Masih inget yaa, dulu kamu nggak bisa kemana-mana kalau nggak ada aku. Hahaha. Kamu selalu butuh bareng-an. Eh, tapi kan kita udah lama nggak ketemu, jalan ke mana gitu, yuk, Sof. Ayo.."

Aku memasang helm-ku.

"Permisi, Pak, saya harus pulang."

Motorku sudah melaju beberapa meter. Aku mengamati spion. Rendi mencium pipi wanitanya.

***

"Selamat pagi, Pak, saya mau menyampaikan surat pengunduran diri," kataku sambil menyerahkan selembar amplop cokelat ke hadapan Rendi, ah, maksudku Pak Rendi.

"Mengundurkan diri? Kenapa?"

"Saya, saya merasa tidak bisa berkontribusi maksimal lagi di sini, Pak."

Aku tetap tidak menatap matanya. Aku tidak bisa.

"Ayolah, Sof. Kamu penting di lembaga ini, kamu penting, kamu sudah berbuat banyak untuk lembaga ini. Lembaga ini bener-bener masih membutuhkan kamu."

"Maaf, saya tidak bisa, Pak."

"Sof, kamu harus profesional!"

"Anda yang tidak profesional!", tukasku cepat. Aku berusaha mati-matian menahan air mataku.

"Saya menghormati anda sebagai atasan saya. Tapi apa yang saya dapatkan? Anda selalu saja membahas masa lalu setiap ada kesempatan untuk bicara berdua saja. Sekarang siapa yang tidak profesional?!"

"Oke, oke. Aku minta maaf. Aku janji nggak akan gitu lagi. Tapi tolonglah, tetaplah di sini, Sof. Entah apa kata papa kalau aku nggak bisa mempertahankan kamu di sini."

"Andai kamu sekuat ini mempertahankan aku di sisi kamu."

Aku menghela napas panjang. Rendi tertunduk.

"Sekali lagi, Pak, saya mohon maaf. Saya tidak bisa terus bekerja di sini. Selamat pagi."


sungguh tak mudah bagiku
rasanya tak ingin bernapas lagi
tegak berdiri di depanmu kini
sakitnya menusuki jantung ini
melawan cinta yang ada di hati

0 komentar:

Posting Komentar