Rabu, 27 Maret 2013

memilih diam

0

Di sini lagi. Sore ini, aku menemani Aldi jalan-jalan. Lagi, ke sini lagi dan lagi. Di satu taman yang tidak begitu besar di dekat perumahan Andina. Biasanya, beberapa menit lagi, Andina pasti menyusul kemari dengan kaos gombor bergambar kartun dan celana selututnya. Rambutnya akan dibiarkan tergerai. Ah, Andina tahu betul, rambutnya yang uwuwu-able itu menyimpan pesona. Apalagi buat para lelaki yang suka gemas untuk mengusek-usek rambutnya. Jangan dibandingin sama rambutku, deh, rambutku keriting, nggak ada bagus-bagusnya. Berantakan iya.

"Fi, kamu kok mesti mau sih, kalo aku minta temenin kayak gini?"

"Ha? Apa aku perlu alasan?", jawabku sekenanya. Aku paham betul lelaki tidak mahir dengan kode-kodean. Jadi aku tidak suka memberi kode. Jika aku tidak yakin untuk mengatakannya, aku akan benar-benar diam menyimpan. Aku takkan meminta lelaki berpikir keras sampai pada akhirnya pun tetap saja tidak tahu jawabannya.

"Yaa.. Nggak juga, sih.. Cuma heran aja, kamu selalu ada waktu buat aku. Padahal yaa cuma buat ke sini, nemenin aku ngobrol sama Andina.."

"Yaudah lah yaa, sekarang Andina-nya mana? Kok nggak biasanya nih, lama banget nggak muncul-muncul?", tanyaku tak sabar. Sudah setengah jam lebih dan Andina belum menampakkan batang hidungnya.

"Katanya bentar lagi nyampe sini."

"Mana sih? Dia lagi pergi?"

Tampaknya pertanyaanku segera mendapatkan jawaban. Tak sampai 5 menit, Andina muncul. Tapi, bersama seorang lelaki. Siapa?

"Maaf ya, lama. Aku habis jalan sama Rio. Hehe. Kenalin, Fi, Al, ini Rio, cowok aku. Kita baru jadian seminggu yang lalu..", terangnya sambil tersenyum bahagia dan seperti enggan melepas gelayutan manjanya di lengan Rio.

Kami bersalaman satu sama lain. Tapi setelah itu, Aldi langsung mengajakku pulang.

Di mobil..

"Fi, cariin aku cewek, dong..."


Namun kenyataannya parah..
Dirimu, tak pernah untukku..

0 komentar:

Posting Komentar