Rabu, 13 November 2013

cinta tanpa suara

2

"Langitnya bagus ya, Sya?"

"Pelanginya yang bagus, Ndra."

"Langitnya lebih bagus. Nggak tiap hari lah bisa dapet pemandangan langit sebagus ini! Liat, awannya nggumpal-nggumpal putih, tapi kena semburat warna oranye dari matahari yang hampir tenggelam. Bener-bener maha karya.."

"Iya, tapi pelanginya lebih bagus! Pokoknya pelanginya lebih bagus!" kataku sambil menjulurkan lidah ke Andra. Andra cuma tertawa.

Ini, entah senja ke berapa. Entah pelangi ke berapa. Entah gumpalan awan yang mana yang sedang menertawakan aku dan Andra berdebat lucu mengenai hal-hal kecil. Taman belakang rumahku adalah tempat favorit. Kami biasa berbicara tentang apa saja, bertengkar karena apa saja, berdebat hal apapun yang terlintas tanpa rencana.

"Sya.."

"Apa?"

Kami berpandangan sejurus kemudian, beberapa detik.

"Menurutmu aku masih harus ngomong, kah?"

Aku tersenyum.

"Harus!"

"Sepenting itukah untuk dikatakan? Aku yakin kamu udah tau apa yang bakal aku bilang. Biasanya juga gitu, kan. Kita liat-liatan beberapa detik, dan langsung sama-sama tau, kita lagi ngetawain orang yang sama."

"Tapi aku maunya kamu tetep bilang, Ndra.." mataku menerawang ke angkasa, sembari berdoa. Semoga semu merah ini ditutupi jingganya senja.

"Marsya, cinta akan tetap cinta walaupun nggak dikatakan, kan?"

Lalu tangan kami saling menggenggam.

"Iya, cinta akan tetap jadi cinta, kok.." sahutku dengan beberapa gerakan tangan, berisyarat.


suara hati kita bergema melantunkan nada-nada
melagu tanpa berkata






inspired by:  Setapak Sriwedari-Maliq N D'essentials

2 komentar: