Jumat, 05 April 2013

Nikah Muda: Ketika Wanita Komunikasi dan Manajemen Bertemu

1

Hari ini aku nganterin seorang temen paketan (disebut paketan karena apa-apa mesti barengan sama dia sejek semester 1, hahaha) untuk ketemu temen SMA di fakultas sebelah. Niatnya ya, nyari info mengenai dunia industri kreatif. Jadi, ceritanya, si temen paketan, namanya Redha, topik skripsinya berkaitan sama kreativitas dan lagi butuh obyek penelitian. Jadilah kubawa dia menemui temen SMA-ku, namanya Vita di fisip. Awalnya perbincangan ya masih sesuai topik, lama-lama ya melenceng juga, hahaha. Gara-garanya ngebahas temen-temen yang udah pada nikah, tunangan, lamaran, dan sebagainya.

Vita kuliah di jurusan komunikasi yang pelajarannya sangat-sangat dekat dengan dunia kita sehari-hari. How to interact with people, and many more. Nah, salah satunya yaa mengamati fenomena menikah muda. Kalo mau diceritain keseluruhan percakapan sih mungkin nggak cukup di satu postingan aja. Maka dari itu, di postingan ini, aku cuma mau membagi sekelumit hal menarik yang tadi jadi pembicaraan kami bertiga. Di tengah obrolan, Vita cerita tentang wejangan dosennya yang sudah senior, dan sekarang sudah pensiun. Beliau pernah kasih wejangan begini "Heh, kalian pikir nikah itu isinya bahagia terus? Nikah itu tanggung jawabnya besar, nggak main-main.."


Nah, ini bener banget. Nikah di usia muda, ketika individunya sudah siap secara iman, materi, dan mental memang sah-sah aja, dan harus disegerakan malah. Tapi, lain lagi kalau individunya masih menye-menye, masih suka nggalau, masih mikirin yang indah-indah aja, yang manis-manis aja tentang jalannya pernikahan.. Hmmm.. I think they're not ready enough.. Umm, sorry, not they, but we, include me, hehe :p

Hayo ngakuuu, siapa yang masih sering melting-melting nggak jelas kalo tau kalimat-kalimat tentang manisnya pernikahan? Siapa yang punya keinginan tinggi buat nikah tapi belum siap untuk menghadapi tantangan-tantangan di dalamnya? Hehe, persiapkan diri dulu aja, yuk.. :)

Apa yang diwejangkan sama ibu dosennya Vita tadi emang bener. Pernikahan, jangan dibayangkan menjadi satu stage kehidupan di mana hidupmu bakal happily ever after kayak yang ada di dongeng-dongeng cinderella dan semacamnya. When we talk about marriage, we're talking about a commitment, a responsibility, antara laki-laki dan perempuan yang memutuskan untuk hidup bersama. Pernikahan bukan pacaran yang kamu bisa ngambek semaunya dan pacarmu bakal mohon-mohon biar kamu nggak ngambek lagi. Pernikahan bukan tempatmu leyeh-leyeh, bermanja-manja SELALU sama pasangan. Bukan itu..

Yang namanya hidup ya sama aja, ada seneng ada susah, ada ketawa ada nangis. Begitu juga dengan kehidupan setelah menikah. Maka dari itu, everyone needs preparation. Ya fisik, mental, materi, dan yang paling penting ya itu, iman. Karena iman yang akan menjadi bekal utama manusia menjalani hidup di dunia.

Postingan ini nggak bertujuan untuk menghancurkan impian bahagiamu tentang pernikahan. BUKAN. Melalui postingan ini, aku cuma pengen introspeksi, syukur-syukur kalo ada yang jadi bisa ikutan introspeksi juga. Introspeksi mengenai kesiapan kita.

Remember, be realistic. Melihat dari beberapa sudut pandang. Jika hanya bersiap untuk bahagia, tentu akan tidak siap untuk yang sebaliknya. Padahal kita butuh kekuatan dan keimanan ekstra, untuk bertahan dan menyelesaikan kerikil-kerikil kecil supaya bisa selalu bersyukur dan mengambil hikmah atas semua yang terjadi dalam hidup.

Lepas dari itu semua, don't worry, Tuhan sudah menyiapkan jodoh buat kita, kok. Entah kapan akan datang, yang pasti, akan dipertemukan pada saat yang tepat. Wallahu'alam :)

Dan ingat,

Kita bahagia karena bersyukur, bukan sebaliknya :)

1 komentar:

  1. Alloh SWT memang sudah menyiapkan jodoh buat umatnya, namun kalau tidak berusaha mengambil atau terlalu memilih, ya ... jangan menyalahkan Alloh SWT, karena hidup adalah pilihan dan ujian untuk kita semua.

    BalasHapus