Kamis, 26 November 2015

Menyanyikan Luka

0



“Aku nggak bisa ikutan ya, guys. Sorry,” kataku.
Seketika semua mata tertuju padaku, tak terkecuali mata Karin dan Alan. Riuh suara semangat mereka jadi hening sejenak.
“Kenapa, La? Kenapa nggak bisa ikut?” tanya Karin menyelidik. Ah, teman sebelah mejaku itu memang nomor satu kalau soal kepo. Tapi kupastikan dia nggak akan bisa mengorek apapun tentang hal yang satu ini.
“Mmm, aku ada agenda lain hari ini, sorry,” pintaku dengan wajah memelas. Tapi nggak berhasil, karena Karin malah semakin mendesakku.
“Kenapa sih, La, tiap kita ajak karaokean, kamu selalu nggak bisa? Kapan tahun kamu bilang suaramu nggak bagus, kapan hari kamu bilang ada kerjaan yang kudu cepet diselesain, sekarang kamu bilang ada agenda lain. Sampai-sampai aku udah lupa lho, berapa ratus kali kamu nolak ajakan untuk karaoke.”

Gawat deh, kalau Karin mulai ngomel panjang lebar.

“Tau nih, Ola. Tenang, La, kita bukannya mau ke karaoke plus-plus, kok.”
“Hahaha, sembarangan ih, Alan. Enjoy your fun time, guys. I gotta go now, bye!”

Aku nggak mau berpanjang-panjang. Toh aku nggak bohong, aku punya agenda lain malam ini:
Go to bed earlier.
***
Hari ini Jakarta diguyur hujan deras. Setelah terlambat beberapa minggu, tampaknya musim hujan sudah benar-benar datang. Angin kencang dan matahari yang panas menyengat ketika siang rupanya jadi salah satu tanda kalau hujan sudah menanti untuk menghujam bumi kala malam tiba. Aku sendiri bukan pencinta hujan, tapi juga bukan termasuk mereka-mereka yang mengomel tanpa henti ketika hujan turun. Tengah-tengah saja, aku sudah lupa dengan rasa “terlalu”.

Aku suka aroma tanah ketika hujan turun. Aku tahu Jakarta sudah penuh dengan aspal, tapi percayalah, aroma itu masih bisa tercium, kok. Bener deh, aku nggak bohong. Aku juga suka menikmati hujan dari balik jendela kamarku yang ada di lantai dua. Biasanya aku hanya akan memandang keluar jendela sambil menyeruput segelas cokelat panas.

Tapi aku benci hujan yang turun di jam-jam pulang kantor, seperti saat ini. Kemacetan adalah hal yang nggak bisa dipisahkan dari kota Jakarta, mungkin mereka sejenis anak kembar. Lalu, kemacetan juga suatu keniscayaan, sesuatu yang pasti terjadi di jam-jam sibuk macam pagi hari ketika orang-orang berangkat bekerja, dan sore hari ketika tiba waktunya pulang. Terakhir, kemacetan akan berada pada levelnya yang tertinggi ketika kamu berada di jalanan Jakarta, pada jam pulang kantor, dengan diiringi derasnya hujan.

Demi apa, itu juga yang kualami saat ini.

Busway sudah meninggalkan halte Tosari sejak setengah jam yang lalu, tapi menara kantorku masih jelas terlihat. Thamrin ke Kwitang, kantor ke rumah, bisa selesai maksimal empat puluh menit. Tapi itu dulu, waktu motorku masih leluasa membelah kemacetan Jakarta. Beberapa bulan lalu, diberlakukan aturan baru, motor nggak boleh melintasi daerah Thamrin dan sekitarnya. Jadilah begini nasibku sekarang, berdesak-desakan di antara penumpang busway yang kutebak juga baru pulang dari kantornya masing-masing.

Dua jam, lebih sedikit, akhirnya aku berhasil merebahkan diri di sofa ruang tamu. Rencana ‘go to bed earlier’-ku berantakan, karena perutku melilit-lilit kelaparan. Rumah sedang kosong, jadi aku harus masak sendiri. Aku ingat masih ada beberapa telur dan sebungkus mie instan di kulkas. Mie kuah, telur setengah matang, dengan irisan cabe rawit yang banyak. Ah, perutku akan bahagia dengan hal sesederhana itu. Andai hatiku se-gampangan perutku, ya..
***
Malam itu di halte depan kampus, aku mengutuki diri sendiri yang lupa membawa payung, sementara musim hujan sedang berada di puncaknya. Rapat himpunan mahasiwa menahanku pulang sampai jam sembilan malam. Di halte, aku berharap bisa menemukan bajaj, angkot, atau apalah yang bisa membawaku pulang, tapi hasilnya nihil. Aku sudah coba menelepon taksi, tapi semua full. Akupun pasrah menunggu hujan reda, sampai seorang lelaki duduk di sebelahku, membawa payung warna biru tua yang sedang terbuka lebar.


“Hei, kamu tinggal di Kwitang juga, kan? Mau bareng?”
“Sorry, apa kita kenal?”
Lelaki itu tertawa kecil, mungkin menyadari kekonyolannya yang tiba-tiba mengajak pulang orang tidak dikenal.
“Aku Irfan. Kamu Ola, kan? Oke sekarang kita sudah kenal, jadi, mau pulang bareng?”
“Dari mana kamu tahu namaku?”
“Dari burung beo yang ada di teras rumah kamu,” jawabnya santai.
“Hah?! Tahu darimana kalau di teras rumahku ada burung beo?!”

 Dia tertawa lagi.

“Ya ampun, padahal cuma mau ngajakin pulang bareng, tapi kudu melewati serentetan interogasi panjang dulu, hahaha..”

Dia baru diam ketika aku menatapnya dengan mata penuh selidik, penuh curiga jangan-jangan lelaki di sebelahku itu  punya niat buruk.

“Hei jangan gitu dong, ngelihatnya. Aku bukan orang jahat, sumpah! Aku tinggal di kosan Bu Rudi, yang di depan rumah kamu itu, lho.”
“Seriusan? Aku bisa telepon Bu Rudi sekarang, nih, tanya ada anak kosnya yang namanya Irfan atau nggak,” ancamku.
“Silakan, nona,” katanya sambil tersenyum. Senyum yang seketika membuat malam yang dingin berubah jadi hangat.

“Hah? Eh, halo? Iya, Ma, Ola denger, kok. Coba aku bisa ikutan ke Bali juga. Salam ya Ma, buat mas Dodi, mbak Alya, sama ponakan kecilku. Iya, ini udah makan, kok. Oke Ma, bye.”

Siapa yang bisa membendung datangnya kenangan, ya? Bahkan waktu telponan sama Mama, seenak jidat aja bayangan Irfan muncul di kepalaku, memainkan fragmen-fragmen adegan yang dulu pernah sangat manis kami alami.

Ah, hujan selalu membuatku mengingat hal-hal yang seharusnya aku lupakan. Dulu, aku sering nyinyir setiap ada orang yang mengaitkan hujan dengan rasa rindu. Apa hubungannya?
Tapi sekarang aku percaya kalau hujan dan rindu adalah sepasang anak kembar juga, selain Jakarta dan kemacetan. Karena setiap hujan datang, aku selalu ingat Irfan.
***
Satu minggu lagi adalah hari jadi kantorku, dan lomba karaoke ini adalah salah satu dari beberapa kompetisi lucu yang diadakan demi menyambut hari spesial itu. Kali ini aku nggak bisa menolak. Aku bisa menolak untuk ikut lombanya, tapi aku nggak bisa menolak untuk jadi supporter, karena Karin yang jadi perwakilan divisi untuk ikut lomba karaoke.

Jadilah sekarang aku di sini, berada di tengah teman-teman divisi marketing yang riuh bersorak sorai menyemangati Karin. Beberapa hari belakangan, kantor nggak lebih dari tempat kerja rodi, jadi acara semacam ini bisa jadi ajang refreshing sejenak dari target-target yang menyiksa. Sebentar lagi akhir tahun, peak season, musim liburan, dan itulah yang membuat kami dipusingkan dengan tuntutan bos, untuk merancang paket ini itu yang bisa membuat orang-orang tertarik pergi ke tempat-tempat wisata, bukannya menyia-nyiakan hari liburnya dengan tidur di rumah. Aku pulang larut malam hampir setiap hari, badanku butuh istirahat, tapi Karin juga butuh semangat. Aku nggak bisa lupa wajah gugupnya sebelum dipanggil ke belakang panggung untuk briefing.

Aku menyapu pandangan ke sekitar. Sudah berapa lama aku menghindari berada di setting-an tempat macam ini? Panggung (walau ini lebih cocok disebut mini stage, sih), band, mikrofon, sound system di sisi panggung, dan barisan bangku penonton di depannya, yang salah satunya sedang aku duduki sekarang. Semua ini pernah menjadi salah satu hal yang paling aku suka, semua ini pernah menjadi bagian dari hidupku. Tapi waktu berjalan, dan semua nggak akan pernah sama lagi seperti dulu.

Ada rasa nyeri yang nggak bisa kujelaskan, ketika Karin mulai menyanyi di atas panggung. Aku seperti melihat diriku sendiri di sana, aku seperti melihat Ola beberapa tahun yang lalu. Ola yang memutuskan bahwa menyanyi adalah bagian yang tak akan terpisahkan dari hidupnya. Ola yang mengenal dan mencintai musik sejak kecil. Tapi itu dulu, Ola yang sekarang bahkan lupa kapan terakhir kali punya playlist mp3 kesayangan di handphone-nya.

Karin menyanyi dengan sangat indah, dan aku, lagi-lagi, seperti melihat diriku sendiri di sana. Aku melihat Ola yang beberapa tahun lalu pusing memilih-milih baju untuk dipakai tampil di atas panggung. Ola yang selalu berkeringat dingin, nggak peduli sudah berapa banyak kompetisi yang diikuti. Ola yang kadang membawa serta gitar kesayangannya, bernyanyi dan bersinar di atas panggung, memukau setiap mata. Tapi itu dulu, Ola yang sekarang, mendengar kata “karaoke” saja dia jengah.

Empat menit lebih sedikit, aku seperti berbicara dengan diriku sendiri. Tiga tahun berlalu, dan nyerinya masih terasa. Mati-matian aku menahan agar airmataku tidak tumpah di sini, aku nggak ingin mereka tahu alasanku menolak setiap diajak karaoke. Aku nggak ingin mereka tahu kalau aku sedang mencoba untuk ‘sembuh’ di sini. Aku nggak ingin repot-repot menjelaskan, dan terpaksa membuka kembali luka lama yang masih juga sedang sibuk kuobati.

Lalu tiba-tiba semua gelap..
***
“Harusnya kamu nggak perlu, nganterin aku sampai rumah, Rin. Nah, ini malah diantar sampai kamar, pula, kamu nggak akan nungguin sampai aku tidur, kan?” aku mencoba bercanda. Karin malah melotot.
“Nggak perlu gimana? Apanya yang nggak perlu? Kamu tadi itu pingsan, La, pingsan!”
“Iya, tapi kamu denger sendiri kan kata dokternya tadi. Aku cuma kecapekan, tekanan darahku jadi rendah, itu aja.”
Whatever, pokoknya besok kamu jangan masuk kantor. Aku udah minta surat ijin dari dokternya, aku yang bakal bawa ini besok ke kantor. Kamu istirahat aja, cuma dua hari, kok.”
What? Kapan kamu mintanya? Karin, kerjaanku banyak yang harus diselesein, mana mungkin aku nggak masuk?” protesku.

Karin nggak menjawabku. Dia asyik mengamati satu piala yang teronggok di sudut kamar, piala yang jadi pengingat kalau aku nggak akan pernah menyanyi lagi.

“Kamu jago nyanyi, La. Kamu sering ikut kompetisi. Iya, kan? Aku sempat perhatiin sekilas, beberapa foto yang dipajang di lemari kaca ruang tamu. Tapi kenapa sekarang, dengar kata karaoke aja kamu kayak alergi?”

Karin duduk di sisi tempat tidurku, menatapku penuh rasa ingin tahu.

Demi mengingat wajah khawatirnya waktu aku baru bangun dari pingsan, aku nggak tega untuk mengacuhkan pertanyaannya.

“Ceritanya panjang, Rin..”
Then, try to tell me now, Ola. Aku punya banyak waktu, kok. Kecuali kamu mau aku kabarin Mama kamu soal tragedi pingsanmu hari ini?”
“Astaga nih bocah, ngancam segala. Oke aku cerita..”

Aku menarik napas panjang. Perkara kenangan memang tidak pernah sederhana. Aku bingung mau mulai dari mana.

“Waktu kuliah, aku jadian sama cowok yang namanya Irfan. Kami satu angkatan, tapi beda jurusan.”
“Ih, kok kamu nggak pernah cerita? Dia dimana sekarang? Kok nggak pernah kelihatan jemput kamu di kantor?”
“Kariiiin, dengerin dulu, Jangan dipotong-potong! Aku udahan nih ceritanya kalau kamu potong..”

Karin tertawa, lalu memintaku melanjutkan cerita.

“Singkat cerita, hubungan itu bertahan sampai kami lulus kuliah. Dia lanjutin S2 di luar negeri, sedangkan aku pilih langsung kerja. Hubungan kami baik-baik aja di bulan-bulan awal. Mungkin sekitar bulan ke lima LDR-an, dia mulai ilang-ilangan. Dia mulai jarang ngasih kabar. Puncaknya sampai bulan ke enam, aku protes karena dia sering ilang tanpa kabar, nggak lagi mau angkat telepon, pokoknya menurutku saat itu, hubungan kami udah nggak sehat sama sekali.”

Aku merasa ada sesuatu yang mulai menggenang di sudut-sudut mataku.

“Akhirnya, dia minta putus. Empat tahun lebih hubungan kami berjalan, Rin, dan semuanya selesai di hari itu, dia ninggalin aku gitu aja dengan mudahnya. Aku patah hati berat, susah payah aku berusaha ngelupain dia. Macam-macam cara aku coba. Konsentrasi penuh ke kerjaan, ikut kompetisi nyanyi di sana sini. Ah, iya, aku lupa bagian ini. aku memang suka musik sejak kecil, Rin. Mamaku yang ingin aku pintar musik, dan kebetulan aku juga suka. Aku les vokal, sampai beberapa kali menang lomba nyanyi. Musik dan nyanyi adalah pelampiasan patah hatiku saat itu, sampai..”
 “Sampai??”

Aku melihat kedua alis Karin nyaris bertaut, rasa penasarannya pasti sudah sampai di ubun-ubun.

“Sampai dua tahun kemudian, di salah satu panggung kompetisi nyanyi yang aku ikuti, aku dikalahkan oleh seseorang.”
“Siapa?”
“Waktu itu, sambil memegang piala yang kamu lihat di sudut kamar itu tuh, aku sibuk mencari sang juara 1 di belakang panggung. Aku lupa belum ngucapin selamat, gara-gara sibuk pose di atas panggung, Mama lagi ngefotoin aku seperti biasa. Awalnya aku fine-fine aja walaupun kalah. Sampai aku tahu, kalau sang Juara itu nggak hanya memenangkan kompetisi nyanyi itu, tapi juga…”
“Tapi jugaaa??”
“Tapi juga memenangkan hati Irfan. Di backstage, aku lihat dia bersama Irfan, mesra banget. Setelah kuperhatikan baik-baik, ada cincin melingkar di jari manisnya.”
“Astaga..”
“Dua tahun aku berusaha ngelupain Irfan. Dua tahun aku berusaha nyembuhin diriku sendiri dari perasaan nggak berharga, dari rasa kecewa yang nggak habis-habis. Setelah dua tahun berlalu, bahkan ketika aku belum sepenuhnya sembuh dari patah hati, aku harus ketemu Irfan dengan cara yang nyakitin kayak gitu..”
“Itu terakhir kalinya aku nyanyi. Dan piala itu, jadi pengingat kalau aku nggak akan nyanyi lagi,” lanjutku.

Kamarku sunyi, kami berdua terdiam. Entah sudah berapa lembar tisu yang kuambil untuk menyeka airmataku yang turun semaunya. Aku sudah berjanji pada diriku sendiri untuk nggak akan pernah lagi menangisi Irfan, tapi kali ini aku melanggarnya. Hari ini aku gagal.

“Untuk apa aku menyanyi lagi, Rin, kalau setiap kali menyanyi aku jadi ingat Irfan? Untuk apa lagi aku menyanyi, kalau aku nggak bisa lagi merasa bahagia ketika melakukannya?”

Aku melihat Karin menghela napas panjang.

“Ola, apapun itu kamu menyebutnya, patah hati, sakit hati, atau apalah, yang jelas Irfan udah ngecewain kamu, kan. Apa kamu rela, dia juga menjauhkan kamu dari sesuatu yang sebenarnya kamu cintai banget? Deretan piagam, piala, foto-foto.. Kamu cinta musik, La, kamu suka nyanyi. Menurutku, kamu bukannya sengaja benci dan nggak lagi suka nyanyi... Kamu hanya sedang takut untuk melakukannya lagi.”

Mataku menatap keluar jendela. Di luar hujan, sementara bayangan Irfan berkali-kali muncul. Diam-diam aku membenarkan kata-kata Karin, mana mungkin aku benci sesuatu yang sudah aku tekuni sejak kecil. Mana mungkin aku benci dengan sesuatu yang membuat Mama selalu tersenyum bangga dan bahagia.

Karin mengemasi tasnya, bersiap untuk pulang.

“Mungkin kamu memang harus nyanyi lagi, La. Nyanyi lagu yang mellow aja sekalian kalau perlu, nangis aja kalau memang pengen nangis. Mungkin dengan begitu, kamu bisa meluruhkan sakit yang ada di hati kamu, lewat sesuatu yang kamu cintai.. ”

Karin pulang, tinggal aku sendiri dalam senyapnya kamar. Hujan menyisakan bekas-bekas air di jendela, meluruhkan debu-debu yang menempel seharian. Aku bangkit dari tempat tidur, menghampiri satu foto yang kupajang di dekat pintu kamar. Di foto itu, aku sedang mengangkat piala berbentuk mikrofon vintage, sementara Mama yang memelukku sambil tersenyum bangga.

Sekali lagi aku menatap ke jendela.

Aku akan membuat hujan versiku sendiri. Aku akan menyanyi lagi, kataku dalam hati.


Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti Writing Project #DanBernyanyilah yang diselenggarakan oleh Musikimia, Nulisbuku.com dan Storial.co

0 komentar:

Posting Komentar